Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Lobi di Balik Selang Infus

Krisis infus melanda sejumlah rumah sakit di Jakarta dan Sumatera. Gara-garanya, Badan Peng-awas Obat dan Makanan menghentikan produksi Otsuka karena dinilai tidak steril dan berbahaya. Padahal, perusahaan Jepang itu menguasai 80 persen pasar infus Indonesia. Pada saat yang sama, Sanbe Farma meluncurkan infus baru dan mengklaim produknya yang paling steril. Farmakolog senior, Iwan Darmansjah, mengatakan, "Ini perang dagang dalam bisnis yang korupsinya triliunan rupiah". Tempo menemukan jejak lobi-lobi infus di berbagai lembaga terhormat di negeri ini.

23 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dokter di sebuah rumah sakit di Jawa Te-ngah, sebut saja Rudi, terkejut pada sebuah siang Februari lalu. Seorang sales obat menunjukkan foto kopi surat edaran Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan, Farid W. Husain. Surat itu berisi imbauan agar rumah sakit menggunakan infus yang dipanaskan pada suhu 121 derajat Celcius selama 15 menit. Rudi bingung. Tak biasanya Pak Dirjen mengurusi soal pembelian obat.

Sebelumnya, pada pertengahan Januari 2006, Sanbe Farma meluncurkan pertama kalinya produk cairan intravena satu-satunya di Indonesia-bahkan di Asia Tenggara-yang disterilkan dengan metode overkill, dengan suhu persis yang disebutkan dalam surat Farid. Rudi langsung mengartikan surat itu adalah perintah untuk memakai infus Sanbe. Tapi setelah melihat harganya, dia menampik. "Terlalu mahal," katanya.

Surat itu juga membuat penasaran Direktur Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, Cissy B. Kartasasmita. Dia langsung menghubungi Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. "Dia protes mengapa Depkes mewajibkan mereka membeli infus yang mahal?" katanya saat ditemui Tempo, akhir Maret lalu. "Saya langsung jawab, boleh kok (memakai infus merek lain)."

Surat imbauan itu makin membuat bingung para dokter dan rumah sakit. Karena dalam beberapa bulan terakhir, media massa tiba-tiba gencar memberitakan infus yang tidak steril, bahkan membahayakan pasien yang menggunakannya. Infus yang disebut bisa mematikan itu dibuat dengan pemanasan di bawah 121 derajat Celcius.

Pada awalnya memang tak jelas ke mana juntrung-an berbagai kabar itu. Tapi, ketika Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) menghentikan produksi infus PT Otsuka Indonesia selama tiga bulan sejak 13 Januari 2007, mulailah terkuak arah se-gala urusan ini. Rupanya, Otsukalah yang jadi sasaran tembak karena masih memakai teknologi sterilisasi bioburden di mana infus hanya dipanaskan pada suhu 102 derajat selama 45 menit.

Urusan jadi runyam karena produsen infus asal Jepang itu merupakan penguasa pasar infus dalam negeri. Bersama anak perusahaanya, PT Widatra Bhakti, mereka menguasai 80 persen pasar infus di Indonesia. Begitu produksinya distop, infus langka di pasar. Apalagi, pada saat yang bersamaan, Indonesia tengah dilanda bencana dan banjir.

Rumah sakit pun penuh dengan pasien, sebagian besar karena demam berdarah dan diare. Pengelola rumah sakit pun dihadapkan pada pilihan sulit. Stok Otsuka menipis karena produksinya distop, sementara infus yang ada di pasar harganya dua kali lipat. Mereka kemudian berpaling ke produk impor yang murah. (Baca: "Berpaling ke Negeri Jiran")

Investigasi ini menemukan sebuah kronologis yang sangat teratur. Ada perusahaan dengan metode bioburden yang dicibir tidak steril hingga produksinya harus disetop. Sementara itu, ada produsen lain yang sedang mengkampanyekan infus mereka paling steril karena dibuat memakai overkill. Perang dagang menandai sebuah politik farmasi yang merasuk ke kamar-kamar rumah sakit hingga gedung parlemen.

l l l

Gendang perang mulai terdengar ketika pada 8 Februari 2006, Farid mengeluarkan surat imbauan tadi. Dia merujuk berita di harian Suara Pembaruan empat hari sebelumnya. Koran sore itu mengutip ahli farmakologi Universitas Indonesia, Prof Iwan Darmansjah, bahwa sterilisasi yang benar memakai pemanasan 121 derajat Celcius selama 15 menit.

Farid mengaku surat edaran itu cuma peringatan. "Ada ahli yang bicara, sebagai pembina rumah sakit, ya... saya minta mereka berhati-hati," katanya. Apakah hal itu dilakukan atas permintaan Sanbe? Farid mengakui Direktur Utama Sanbe, Jahja Santoso pernah memintanya membantu agar infus Sanbe dipakai di rumah sakit, tapi dia menolak dengan alasan soal obat wewenang Dirjen Pelayanan Farmasi.

Toh, Farid telah menulis surat yang mengheboh-kan itu, sebulan setelah dia menghadiri acar peluncuran perdana infus Sanbe. "Surat itu tidak ada kait-annya dengan Pak Jahja."

Repotnya, rujukan yang dipakai Pak Dirjen amatlah sumir. Tempo menghubungi Iwan untuk mengetahui lebih banyak proses pembuatan infus yang steril dan yang tidak steril. "Lo, bidang saya obat-obatan. Soal infus saya tidak tahu," katanya.

Iwan tidak heran namanya dicatut dalam surat itu. "Saya nggak pernah bilang begitu. Ini politik pabrik obat saja," katanya. Dia memang pernah ikut meninjau pabrik Sanbe di Bandung. Saat ada yang berta-nya proses yang baik dalam membuat infus dia menjawab, "Badan POM sudah mengatur, ikuti saja itu."

Sepanjang pengalaman 50 tahun menjadi dokter, dia melihat pabrik obat makin sering bermain kotor dalam bisnis obat. "Bisnis ini korupsinya triliunan, ini soal perang dagang saja," katanya.

Ketika Tempo menelusuri jejak Sanbe di lorong-lorong gedung Departemen Kesehatan, pejabat tinggi di sana mengaku pernah memergoki Jahja menemui Menteri Kesehatan. Benar saja, Menteri Siti mengakuinya. Saat Jahja mengundang Ibu Menteri meresmikan rumah sakit yang baru dibangunnya, dia meminta bantuan agar rumah-rumah sakit menggunakan infusnya. "Saya jawab, nggak. Itu wewenang rumah sakit memilih sendiri," kata Siti.

Bahkan saat itu sempat muncul per-mintaan Jahja agar Depkes menarik infus tidak steril. Permintaan itu kembali ditolak. "Saya bilang, kamu punya bukti nggak, ada infus tidak steril yang beredar?" kata Menteri Siti Fadilah menceritakan kembali pertemuannya dengan Jahja. Menurut Menteri, dia membatalkan peredaran surat Farid itu keesokan harinya.

Tempo mencoba mengkonfirmasi pertemuan itu ke Jahja, tetapi dia menolak. "Saya tidak mau diadu dengan Ibu Menteri," katanya. "Lagipula untuk apa saya melakukan itu? Tahun 2007 ini infus Sanbe sudah masuk dalam daftar Askes kok."

l l l

Drama lain terjadi di Senayan, 5 Maret lalu. Ruang rapat Komisi Kesehatan DPR RI seolah berubah menjadi ruang sidang. Sebagai pesakitan, duduk berderet pejabat Badan POM yang dipimpin ketuanya, Husniah Rubiana Thamrin Akib.

Interupsi, suara keras, bahkan tudingan pedas terlontar dalam rapat sepanjang empat jam. Ketua Komisi Kesehatan Ribka Tjiptaning mempertanyakan alasan Badan POM tidak menarik infus Otsuka dari pasar. "Cairan itu bisa membahayakan pengguna-nya," kata politisi PDI Perjuangan ini.

Koleganya dari Golkar, Mariani Akib Baramuli bahkan memaksa Badan POM merekomendasikan hanya satu merek cairan infus, yakni Sanbe. "Kalau memang ada yang lebih baik, kenapa tidak diguna-kan?" katanya.

Husniah menjadi bulan-bulanan. Beberapa kali dia menjelaskan bahwa bioburden sama sterilnya de-ngan overkill. Karena infus Otsuka juga steril, tidak ada alasan Badan POM menarik produknya di pasar.

Suasana memanas. Ardi Muhammad dari Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi curiga ada permainan antara Badan POM dengan Otsuka. Dia meminta Husniah mundur dari jabatannya. "Saya mengingatkan saja, sudah ada tiga orang dari tiga fraksi berbeda yang meminta Bu Ance (panggilan Husniah) mundur," kata Ardi dalam interupsinya.

Sebelumnya, pada Oktober 2006. Ribka berbicara kepada pers, hanya infus yang dipanaskan pada suhu 121 derajat yang steril. Yang lain tidak steril, dan berbahaya. Pemanasan itu sesuai aturan baru Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan farmakope Indonesia.

Persoalan ini lalu diangkat sebagian besar anggota Komisi Kesehatan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Badan POM, 16 Januari lalu. Mereka memaksa Badan POM mencabut ijin produksi Otsuka yang dinilai tidak steril dan menariknya dari pasar.

Saat banjir di Jakarta, Komisi Kesehatan mengunjungi Rumah Sakit Koja, Jakarta Utara. Di sana me-reka menemukan infus yang sudah mereka blacklist, masih dialirkan ke tubuh pasien. Ini membuat Ribka meledak. "Kenapa infus yang tidak steril masih digunakan?" katanya di depan para wartawan.

Kepada Tempo, Ribka mengaku punya staf ahli yang telah melakukan riset lengkap untuk mendukung pendapat mereka. "Saya punya farmakope Indonesia, Amerika Serikat, Jepang, WHO," katanya.

Sulit dipercaya. Dr Rudy Mantik, farmakolog yang juga konsultan Badan POM dan pernah bekerja sama dengan WHO, mengatakan, WHO tak pernah mengurusi soal teknis sterilisasi infus. Badan dunia itu ha-nya menetapkan standar cara pembuatan obat yang baik dan terbaru (current Good Manufacturing Practices/GMP). Soal teknis, menjadi wewenang setiap negara yang lalu mengaturnya melalui farmakope.

Farmakope Indonesia termutakhir yang terbit 12 tahun lalu mengatur soal pemanasan uap pada suhu 121 derajat. Disebutkan, boleh memakai suhu lebih rendah asal waktu pemanasan lebih lama. Yang penting infus harus mencapai tingkat sterilisasi (sterility assurance level) sepuluh pangkat minus enam. Artinya, hanya boleh ada satu mikroba dalam sejuta unit.

Pernyataan serupa disampaikan ahli mikrobiologi Dr. Pratiwi Sudarmono. "Overkill bukan satu-satunya metode sterilisasi yang diizinkan," katanya. Farmakope Amerika yang terbit tahun ini, juga menyebut metode bioburden atau campuran keduanya.

Mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Kartono Muhamad, tidak kalah herannya. Dia resah mengikuti pemberitaan infus yang menyesatkan masyarakat. "Saya mencium bau busuk," katanya.

Berdasar pengalamannya, infus Otsuka sudah dipa-kai sejak lama. Mereka mengikuti standar di Jepang, dan di negeri itu tak ada masalah. Begitu juga di Indonesia. Dia menyayangkan perilaku Sanbe yang tidak berubah sejak Orde Baru.

Kondisi ini diperparah komentar DPR yang terlalu masuk ke hal-hal detil yang menjadi ruang lingkup para ahli. Anehnya anggota dewan tidak mau membaca ataupun mendengar pendapat para pakar mikrobiologi. "Apakah mereka itu ahli soal infus?".

Sumber Tempo membisikkan, kisruh di Gedung Dewan ada kaitannya dengan tiga kali kunjungan beberapa anggota Komisi Kesehatan ke Sanbe pada tahun lalu. "Ada deal besar, kalau Otsuka berhasil dibuat hengkang, mereka dijanjikan 20 persen dari pemasaran infus Sanbe," ujarnya.

Sebuah tuduhan yang berat. Tapi sejauh ini Tempo tak menemukan dokumen, atau transfer berkaitan isu itu. Ribka pun membantah keras. "Saya tidak terima apa-apa dari Pak Jahja," ujarnya. Jahja, me-lalui telepon, menolak berkomentar. "Terserah orang bilang apa, saya nggak mau ngomong," ujarnya.

l l l

Sebenarnya, Badan POM sudah meminta Otsuka menaikkan suhu pemanasannya sejak Maret 2006. Ketika itu Badan POM masih dipimpin Sampoerno. Alasannya, regulator obat di ASEAN sepakat mene-rapkan Harmonisasi ASEAN.

Kebijakan ini dilanjutkan Husniah. "Seperti menanak nasi, ada yang memakai dandang, ada yang pake rice cooker," ujarnya. Keduanya menghasilkan nasi yang sama baiknya. "Tapi karena ASEAN sepakat memakai cara yang sama, Otsuka kami minta menyesuaikan," kata Husniah.

Otsuka belum juga melakukan perubahan hingga Mei 2006. Terjadi negosiasi ulang, Badan POM memberi waktu enam bulan. Ternyata mereka tetap bandel. Badan POM akhirnya menyetop produksi tiga jenis infus Otsuka pada 28 November. "Ini tak ada kaitannya dengan Sanbe atau DPR," kata Husniah.

Anehnya, Harmonisasi Asean yang acap disebut Husniah belum mengungkit soal suhu pemanasan. Harmonisasi itu baru mengatur stabilitas penyimpanan, strandarisasi formulir, dan waktu kadaluarsa. "Makanya Malaysia tak menegur kami," kata Putty Kartika, Wakil Presiden Direktur PT B Braun Medical Indonesia. Perusahaan Jerman itu memiliki pabrik di Malaysia dan mengekspor tiga juta botol infus setahun ke Indonesia.

Husniah mengakui Jahja pernah minta bantuan Badan POM agar produk infusnya bisa diterima pasar. "Saya bilang saya tak punya wewenang, coba saja ke Menteri Kesehat-an dan Dirjen Bina Pelayanan Medik," ujarnya.

l l l

Pertengahan Maret lalu, Badan POM mengijinkan PT Otsuka Indonesia kembali berproduksi. Infus terbaru mereka kini dipanaskan pada suhu 112 derajat selama 65 menit, tetap menggunakan metode bioburden. Menurut Badan POM perubahan ini sesuai de-ngan farmakope Indonesia dan Harmonisasi Asean.

Tetapi nyawa Otsuka belum tentu aman. Sejak awal, Komisi Kesehatan hanya mengakui satu cara sterilisasi infus, yaitu pemanasan pada suhu 121 de-rajat. Saat ini DPR RI masih reses hingga Mei.

Apapun bisa terjadi, nanti. Seperti kasus infus kali ini. Farmakope yang menjadi acuan sudah berumur 12 tahun, tapi baru sekarang metode bioburden dipersoalkan, bersamaan dengan munculnya sebuah produk infus baru.

Januari 2006

BPOMPertengahan Januari, Kepala Badan Peng-awas Obat dan Makanan (POM), Sampoerno, mengunjungi pabrik baru Sanbe di Padalarang, Jawa Barat, dan menyatakan dukungannya kepada Sanbe yang menerapkan sistem sterilisasi dengan pemanasan pada suhu 121 derajat. Celsius.

Departemen Kesehatan12 Januari, Dirjen Bina Pelayanan Medik, Farid Husain menghadiri soft launching infus Sanbe di Cimamere, Padalarang, Jawa Barat.

Februari

Otsuka4 Februari, Suara Pembaruan merilis berita tentang infus yang steril, mengutip ahli farmakologi Iwan Darmansjah. (Kepada Tempo Iwan membantah pernah menyatakan hal ini).8 Februari, Farid mengeluarkan surat edaran, mengimbau rumah sakit agar menggunakan infus yang dipanaskan pada suhu 121 derajat Celsius selama 15 menit. Dia merujuk berita Suara Pembaruan empat hari sebelumnya.9 Februari, Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menghentikan peredaran surat Farid.

Mei

BPOM17 Mei, Husniah Rubiana Thamrin Akib menggantikan Sampoerna sebagai Kepala Badan POM.31 Mei, memberikan sertifikat cara produksi obat yang baik kepada PT Otsuka Indonesia karena sudah sesuai dengan standar terkini Good Manufacturing Practices (GMP) dan peraturan Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Otsuka31 Mei, mendapatkan sertifikat cara produksi obat yang baik sesuai dengan GMP dan WHO dari Badan POM.

Agustus-Oktober

BPOM30 Agustus, mengingatkan Otsuka karena belum juga melakukan perubahan teknologi sterilisasi sesuai dengan kesepakatan.

Departemen Kesehatan12 Oktober, di sebuah media kesehatan Farid mengatakan akan kembali membuat surat edaran kepada rumah sakit kalau masih ada perusahaan infus yang tidak memanaskan infusnya hingga 121 derajat Celsius.

Komisi kesehatan DPR1 Oktober, kepada wartawan Ketua Komisi Kesehatan Ribka Tjiptaning mengatakan bahwa WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) telah mengeluarkan standar baru sterilisasi infus, yakni dengan pemanasan 121 derajat Celsius. Dia meminta Badan POM menindak tegas perusahaan infus yang belum memenuhi standar.

November

BPOM28 November, memerintahkan Otsuka menghentikan sementara produksi tiga jenis infus: normal saline (NS), ringer lactate (RL), dan sterile water for irrigation (SWI), selama tiga bulan.

Departemen Kesehatan4 November, Menteri Kesehatan meresmikan pembukaan Santosa Bandung International Hospital, dan mengunjungi Pabrik infus Sanbe di Padalarang. Farid Husain turut hadir.

Komisi kesehatan DPR4 November, beberapa anggota Komisi ikut dalam peresmian Santosa Bandung Internasional Hospital, dan kunjungan ke Pabrik infus Sanbe di Padalarang.

Desember

BPOM19 Desember, secara resmi menghentikan total produksi NS, RL, dan WI oleh Otsuka.

Otsuka19 Desember, menghentikan produksi tiga jenis infus: RL, NS, dan WSI atas perintah Badan POM.12 Desember, Presiden Direktur PT Otsuka Indonesia, Johanes Chandra, kepada pers mengatakan merasa dirugikan oleh persaingan yang tidak sehat dan mengancam akan memindahkan perusahaannya dari Indonesia.

Januari 2007

Komisi kesehatan DPR16 Januari, melakukan rapat kerja dengan Badan POM. Salah satu poinnya mendesak Badan POM untuk mencabut izin produksi dan izin edar produk infus yang tak sesuai dengan Farmakope Indonesia. Dalam hal ini DPR menunjuk infus PT Otsuka.

Februari

Departemen Kesehatan21 Februari, Menteri Kesehatan mengunjungi RSUD Koja, dan menegaskan bahwa tidak ada infus yang tidak steril di Indonesia. Soal isu infus berbahaya, menurut dia, hanya isu yang ditiupkan oleh para pesaing bisnis.

Komisi kesehatan DPR20 Februari, Ribka melakukan inspeksi mendadak ke RSUD Koja, Jakarta Utara. Dia marah ketika menemukan rumah sakit masih memakai infus produksi PT Widatra Bhakti, anak perusahaan Otsuka, yang menurut dia tidak steril. Kepada wartawan dia menegaskan yang memenuhi syarat adalah infus Sanbe. Dia juga menyesalkan Badan POM yang tidak merekomendasikan infus tersebut.

Maret

Komisi kesehatan DPR5 Maret, kembali rapat kerja dengan Badan POM. Komisi mempertanyakan mengapa infus Otsuka belum ditarik. Rudianto Tjen dari PDIP mengancam akan melaporkan Badan POM kepada polisi jika infus Otsuka tak segera ditarik.

BPOMMaret, mengizinkan Otsuka kembali memproduksi dan menjual infus NS, RL, dan WI, karena telah melakukan penyesuaian teknologi.

OtsukaMaret, selesai melakukan penyesuaian teknologi sterilisasi tiga jenis infus dari pemanasan 102 derajat selama 45 menit, menjadi 116 derajat selama 60 menit.20 Maret, kuasa hukum Otsuka, Amir Syamsuddin, Subani, dan S Hardina, membuat pengumuman di beberapa koran, akan menuntut pihak-pihak yang sengaja mendiskreditkan infus Otsuka dengan mengatakan tidak steril.Maret, mendapat izin Badan POM untuk kembali memproduksi dan memasarkan infus jenis RL, NS, dan WSI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus