Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
J.J. Rizal
Setelah menelusuri perjalanan panjang sejarah Jakarta, Susan Abeyesekare dalam Jakarta: A History (1987) menyimpulkan bahwa nyamuk adalah salah satu masalah yang terus menghantui kota ini sepanjang umurnya yang lima abad. Kesimpulan jitu. Sekarang di Jakarta nyamuk masih sering mengamuk. Bikin cemas dan takut karena si belang kecil ini sejak akhir Maret hingga April ini telah meminta korban melebihi batas toleransi.
Sampai minggu pertama April, korban meninggal sudah 41 orang. Diperkirakan, sampai akhir Mei, dengan cuaca yang tak tentu sebagai efek pemanasan global, si belang kecil akan makin hebat mengamuk. Karena itu Gubernur DKI Jakarta sekali lagi kudu memencet alarm tanda Jakarta dalam KLB demam berdarah.
Kalau memcermati data sejak 2003, kasus nyamuk terus meningkat berkali lipat. Dari 5.750 pada 2002 melonjak jadi 24.266 pada 2006. Dalam lima tahun ini, penduduk cemas karena dari hari ke hari yang terjangkit bertambah menurut deret ukur. Pertanyaan, sebenarnya sejauh apa kita bersungguh-sungguh dengan nyamuk.
Selain buaya, penghuni tertua Jakarta adalah nyamuk. Tapi malapetaka yang diakibatkan nyamuk diriwayatkan pertama kali seabad setelah J.P. Coen mendirikan Batavia pada 1619. Saat itu banyak orang yang sakit dan mati akibat Anopeles sundaicus, sumber remiterrende rotkoorsten (demam maut), febres ardentes, malignae et putridae mort de chien (demam parah, jahat dan busuk dan mati mendadak).
Batavia tak berdaya. Pasien membanjiri rumah sakit yang telah ada di Batavia sejak 1622. Tapi kematian terus melaju. Penduduk menjuluki rumah sakit De Moordkuil atau lubang kubur, sebab yang datang berobat bukan sembuh, malah mati. Angka kematian yang ekstrem itu membuat Batavia pada abad ke-18 dinobatkan menjadi kota yang paling tak sehat di dunia. Keindahan dan kenyamanan Batavia yang dipujikan serta mendapat gelar mentereng Koningen van het Oosten alias Sang Ratu di Timur pun berubah. Para penghuninya dengan mengutuk menyebut Jakarta tak lebih dari Kerkhoven van het Oosten atau Kuburan di Timur.
Serangan nyamuk mahahebat di Batavia bukanlah malapetaka yang berdiri sendiri. Dalam kasus ini pejabat Kompeni menyalahkan arsitektur kota dan alam rawa-rawa tropis Batavia. Juga kepada Gunung Salak yang meletus pada 1699, sehingga kanal-kanal penuh lumpur. Tetapi sejarawan Leonard Blussé dan Peter H. van der Berg menunjukkan bahwa perkembangbiakan nyamuk yang luar biasa di Batavia sesungguhnya berkait erat dengan pembusukan sistem serta kelembagaan politik, ekonomi, dan hukum akibat si-fat serakah Compagniesdieren alias pegawai VOC.
Selama 1680-1720, abdi-abdi Kompeni berlomba menginvestasikan dana yang digelapkan dari kas VOC untuk menyabet keuntungan besar dari budidaya dan industri gula. Pejabat Kompeni yang kaya jor-joran membuka perkebunan tebu di Ommeladen (daerah pinggiran kota benteng Batavia), tapi ekspor gula tiba-tiba kena krisis. Akibatnya bukan saja terjadi defisit ekonomi di Batavia, melainkan juga lahan-lahan industri gula ditinggalkan begitu saja.
Ini membuat perubahan penting dalam sistem irigasi alamiah tanah datar dan akhirnya mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Hutan binasa dan daerah tropis yang biasanya sangat imbang menjadi tandus sebab digarap secara ngawur. Lantaran terletak di dekat sungai, pabrik-pabrik gula mencemari air bersih yang mengalir ke Batavia. Dari sanalah berawal bencana ekologi berupa krisis air bersih, banjir, udara berbau busuk, dan nyamuk.
Selain itu, menurut Berg, bencana ekologi juga karena para abdi Kompeni begitu bernafsu meraup untung dari bisnis ikan di Batavia. Dipelopori oleh F.J. Coyet, superkaya Batavia, sejak 1729 mereka berlomba menanamkan dana haramnya untuk membuat tambak di bagian utara Kota Batavia. Tambak itu juga dianggap dapat menjadi benteng pelindung serangan musuh yang datang dari arah laut.
Sebelum 1733, menurut Berg, di Batavia sudah ditemukan malaria-cachexie, tapi belum stabil dan tingkat penularannya rendah. Ketika itu penyakit tersebut masih dapat diatasi karena terbatasnya jumlah sarang Anopeles sundaicus. Keadaan alamiah dan sehat ini terusik oleh tambak-tambak yang luasnya setara dengan sepertiga Batavia.
Tambak yang sekaligus tempat pembudidayaan rumput laut pun menjadi sarang ideal Anopeles sundaicus karena memberikan perlindungan dari gerakan air pasang dan surut yang merusak atau menyeret telur nyamuk ke laut. Tapi sebaliknya itu jadi malapetaka bagi penghuni Kota Batavia. Sebab, begitu malam tiba, merajalelalah para betina Anopeles sundaicus menyebarkan racun mematikan.
Karena usaha medis gagal, pada 1734 diumumkan satu hari pembacaan doa dan puasa untuk memohon kepada Tuhan agar menyingkirkan wabah itu dari Batavia. Tapi penyakit malah menghebat, bahkan merenggut nyawa Gubernur Jenderal Dirk van Cloon (1732-1735).
Kematian orang nomor satu di Batavia ini mengakibatkan terjadinya konflik di Kompeni ihwal siapa yang pantas menggantikan almarhum. Dewan Hindia tak dapat bersepakat, sehingga terpaksa dilakukan undian yang dimenangkan Abraham Patras (1735-1737). Tapi dia pun mati akibat nyamuk. Lantas Valckenier naik menggantikannya sampai 1741, ketika Batavia benar-benar menghadapi krisis.
Nyamuk membuat VOC gagal mempertahankan kekuatan militernya di Asia. Banyak serdadu sakit atau mati. Kekurangan serdadu itu membuat Kompeni tidak berdaya, tapi mereka toh tak kehilangan satu benteng pun. Dalam konteks itu bisa dikatakan bahwa peristiwa pembantaian orang Cina pada Oktober 1740 di Batavia banyak juga didorong oleh perasaan tidak aman karena ketika serdadu Kompeni kritis diserang nyamuk, jumlah orang Cina makin besar.
G.W. van Imhoff (1743-1750) yang menggantikan Valckenier bukan saja menangkap Valckenier yang tangannya berlumur darah, melainkan juga berusaha keras meningkatkan kesehatan kota selama 1740-an. Imhoff banyak mengeluarkan dana untuk pelbagai usaha perbaikan, rehabilitasi, atau pemulihan agar VOC tidak tenggelam. Ia pun digelari De Hersteller atau ”Sang Pemugar”.
Tapi segala usaha tak berpengaruh karena sifat atau penyebab penyakit belum juga diketahui. Situasi Batavia kian buruk setelah 1750-an. Ada 85 ribu personel VOC mati dan membawa akibat finansial yang parah dan kemerosotan hebat pada kekuasaan Kompeni di Asia. Saban tahun di masa tak sehat itu Kompeni rugi 1,2 juta gulden. Pada 1780, utang Kompeni naik jadi 25 juta gulden. Pembayaran dividen pun sering minus dan Kompeni menghadapi suasana tanpa harapan.
Secara bergelombang pada windu terakhir abad ke-18 penduduk kota mengungsi ke pedalaman yang lebih sehat. Tujuannya Gambir yang disebut Weltevreden. Di Weltevreden, kota baru yang disebut Nieuw Batavia muncul dan kota benteng tinggal jadi Oud Batavia. Yang menyedihkan, kota lama itu dihancurkan Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808-1811). Kenyataan bahwa Jakarta kini hampir tak ada monumen dari zaman Oud Batavia sebagian besar akibat nyamuk belaka.
Meskipun penduduk telah pindah, nyamuk tetap menghantui Batavia. Apalagi pada 1900 tambak kembali dibangun di utara Batavia. Serangan nyamuk memang tak sehebat di zaman Oud Batavia. Tapi, di masa M.H. Thamrin menjadi anggota Gementeraaden atau Dewan Kota Batavia (1919–1941) berkoarlah anak Betawi ini: ”Batavia masih tetap seperti lukisan dengan pigura bagus, dihiasi de-ngan vila yang luas dan jalan yang lebar, tapi ratusan ribu penduduk sehari-harinya hidup dalam bahaya di kampung-kampung tempat berbiak nyamuk.”
Thamrin mendesak Dewan Kota dan Gemeente Batavia dalam merealisasikan idenya tentang Kampong verbatering (perbaikan kampung) menjalankan pula program melawan nyamuk yang disebut Malaria Bestrijding. Baginya menangani masalah kampung tidak ada artinya jika daerah itu dibiarkan menjadi sarang nyamuk. Pemberantasan nyamuk juga tak akan mulus tanpa diikuti program perbaikan kebersihan kampung dan penegakan hukum atas perusakan hutan alam pinggiran Jakarta.
Meskipun Thamrin sohor paling getol dan serius memerangi nyamuk dengan program lintas sektoralnya itu, ia kalah. Pada awal 1941, ia diserang demam tinggi. Disinyalir ia terkena malaria dan meninggal pada Jumat, 10 Januari 1941.
Einmalig, masa lalu tetap masa lalu. Dan Jakarta, yang kata pengamat perkotaan Marco Kusumawijaya selalu tunggang-langgang mengejar mimpi-mimpi metropolis, tiada waktu sejenak berhenti untuk menengok ke belakang. Padahal, Jakarta memerlukan kesadaran dan kearifan bahwa selain ada perubahan, juga ada persambungan antara masalah kini dan di masa silam. Sangat terasa Jakarta sering lari maju tanpa juntrungan, bahkan salah arah dan berkali-kali terantuk masalah yang sama. Selain nyamuk, masih ada banjir, krisis air bersih, sampah, perusakan lingkungan.
Ironi jadi terasa sekali dalam situasi itu karena tak ada lagi figur seperti Imhoff dan Thamrin yang menunjukkan komitmen politik dan kepemimpinan yang kuat untuk memeranginya. Tak pernah lalai, lengah berusaha, dan membimbing masyarakat agar kota mereka memenuhi apa yang disebut Aristoteles, bapak perencana kota dalam Politics bahwa kesehatan adalah salah satu syarat kota layak huni.
Mereka tidak melihat nyamuk sekadar soal rutin atau—meminjam Thamrin—”soal dubbeltjes (10 sen alias sepele) yang dapat dianaktirikan”. Disadari betul perlu penanganan lintas sektoral karena banyak faktor yang membuat nyamuk membludak. Perlu perhatian serius karena nyamuk dapat membuat metropolis impian tinggal jadi miseropolis alias kota yang lebih banyak memberikan penderitaan, ketakutan, dan ketidakamanan.
Tapi kini, dengan makin bertambahnya korban, jelaslah bahwa yang terus terdengar dari pemerintah hanya oratio pro domo, permainan kata-kata untuk menyenangkan rakyat belaka. Apakah ini berarti pemerintah menye-rah bahwa Jakarta dan nyamuk adalah garis nasib yang tak bisa ditanggulangi? Jika benar, gelar Jakarta tempo doeloe sebagai Kuburan dari Timur pantaslah kini disandang kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo