Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banjir merendam lebih dari dua pertiga wilayah Jakarta pada Februari lalu. Rumah sakit pun ikut kebanjiran pasien, yang pada umumnya terserang diare atau demam berdarah. Dalam tempo singkat, cadangan obat di gudang-gudang rumah sakit melorot, tak terkecuali persediaan infus. Masalah jadi kian rumit ketika pada saat yang bersamaan infus juga langka di pasar.
"Kami pontang-panting mencari infus tambahan," kata Silvana Rizal, Kepala Farmasi Rumah Sakit Pasar Rebo, Jakarta Timur. Biasanya mereka memesan infus dari PT Merapi Utama Pharma, distributor infus buatan PT Otsuka Indonesia. Celakanya, stok Merapi pun menipis karena pesan-an berdatangan, sebaliknya pasokan dari pabrik Otsuka malah terhenti.
Silvana kemudian mengontak pemasok lain. Beberapa punya persediaan infus menumpuk, salah satunya produksi Sanbe, tapi harga infus ini terlalu mahal. Silvana pun akhirnya menyabet infus impor, Euromed. Padahal, Euromed biasanya dibuat khusus untuk tentara. Itu pun jumlahnya masih jauh dari cukup. "Kami sampai harus menjadwal ulang operasi," kata Silvana.
Kesulitan serupa menimpa Rumah Sakit Fatmawati. Saat itu RS Fatmawati berniat menambah stok obat, termasuk infus. Ternyata pemasok infus mereka, PT Widatra Bhakti-anak perusahaan Otsuka-juga kehabisan stok. Beruntung, persediaan infus Fatmawati masih cukup untuk beberapa pekan. "Sehingga kami tidak sampai defisit infus," kata Maria, Kepala Farmasi RS Fatmawati.
Kelangkaan infus itu terjadi hingga sebulan. Selain belasan rumah sakit pemerintah dan swasta di Jakarta, beberapa rumah sakit daerah di Sumatera bahkan sudah mengalami krisis sejak Januari. Setidaknya empat rumah sakit di Bengkulu, Palembang, dan Padang mengaku kekurangan cairan dasar untuk program asuransi kesehatan (Askes) keluarga miskin.
Data yang diperoleh Tempo menunjukkan infus yang langka kebanyakan jenis sterile water for irrigation (SWI), normal saline (NS), dan ringer lactate (RL). Ketiga jenis infus ini biasanya dipakai untuk pasien yang kekurangan cairan tubuh seperti pada pasien demam berdarah dan diare. Dari salinan surat yang diperoleh Tempo, para apoteker rumah sakit itu menanyakan kepada distributor Otsuka, mengapa pasokan terhenti.
Johanes Chandra, Presiden Direktur Otsuka, mengakui kesulitan memenuhi kebutuhan rumah sakit. Alasannya, sejak pertengahan Desember 2006 pabrik Otsuka di Lawang, Malang, Jawa Timur, mengurangi produksi tiga jenis infus itu. Bahkan sebulan kemudian pabrik tersebut berhenti berproduksi. "Ini perintah Badan POM," katanya.
Badan Pengawas Obat dan Makanan itu memang sedang menggalakkan aturan baru produksi obat, termasuk infus. Mulai akhir 2007, semua pabrik obat dan alat medis sudah harus menyesuaikan pembuatan obatnya dengan Harmonisasi ASEAN. Kesepakatan ini sebetulnya baru akan berlaku pada 2008, tapi Indonesia mendahuluinya setahun. Selama masa sosialisasi, pabrik obat diminta sudah menyesuaikan teknologinya.
Nah, tiga jenis infus Otsuka itu dibuat dengan metode bioburden. Metode ini berupa pemanasan pada suhu 102 derajat Celsius selama 45 menit. Menurut Kepala Badan POM, Husniah Rubiana Thamrin Akib, suhu sepanas itu belum sesuai dengan standar pemanasan di ASEAN kelak. Menurut Badan POM, pemanasan itu paling rendah 106 derajat selama 253 menit.
Badan POM kemudian memberikan kesempatan kepada pabrik infus Jepang ini untuk memperbaiki cara pemanasannya selama tiga bulan. Gara-gara tak kunjung dipatuhi, pada November 2006 Husniah memerintahkan tiga jenis infus itu dihentikan produksinya selama tiga bulan.
Namun Otsuka baru menghentikannya pada 13 Januari 2007. "Kami tak bisa langsung berubah, mesti dipersiapkan dulu," kata Chandra. Kebijakan Badan POM itu kemudi-an telak memukul pasar. Sebab, selama 30 tahun terakhir, Otsuka merajai pasar infus Indonesia. Dari konsumsi nasional 68 juta botol per tahun, 80 persennya dipasok Otsuka dan Widatra Bhakti.
Sisanya diperebutkan oleh pabrikan Indonesia yang lain, Sanbe Farma. Seperti Otsuka dan Widatra Bhakti, Sanbe juga memiliki pabrik di Indonesia, yakni di Padalarang, Bandung. Sebagian yang lain diisi oleh sejumlah produk infus impor seperti Euromed yang dibuat di Filipina atau B Braun, infus Jerman yang diproduksi di Penang, Malaysia. Tapi total penjualan mereka tak sebanding dengan Otsuka.
Otsuka memang seperti tanpa pesaing di Indonesia. Selain sudah lama masuk ke pasar Indonesia, harga infus Otsuka jauh lebih murah terutama jika dibandingkan dengan Sanbe, yang baru pada Januari tahun lalu membuka pabriknya di Indonesia. "Harga infus Sanbe terlalu mahal," kata sejumlah apoteker rumah sakit daerah yang memilih Otsuka atau Widatra.
Mari kita bandingkan. Otsuka menjual ringer lactate Rp 6.926 per botol, setengah harga infus Sanbe. Begitu juga dengan infus normal saline. Sanbe menjual infus jenis ini dua kali lebih mahal dari Otsuka, yang cuma Rp 6.348. Dengan perbedaan harga mencolok itu, tidak mengherankan jika hampir semua rumah sakit memilih infus Otsuka untuk pasien Askes dan Askeskin.
Harga Sanbe ternyata juga lebih mahal dibandingkan Euromed atau B Braun. Harga infus dari dua pabrik ini di tingkat distributor setara dengan produk Otsuka, sekitar Rp 6.000 per botol. Itu sebabnya ketika terjadi kelangkaan infus pada awal tahun ini, hampir semua rumah sakit berpaling ke produk impor ketimbang membelinya dari Sanbe.
Harga Sanbe lebih mahal antara lain karena dalam produksinya menggunakan metode overkill, sedangkan produsen lainnya masih memakai bioburden dengan kemasan dari plastik (polyethylene). Metode over kill yang baru pertama kali dipakai di ASEAN ini menggunakan pemanasan 121 derajat Celsius selama 15 menit. Selain itu, Sanbe juga memakai kemasan softbag, yang harganya memang lebih mahal.
Dengan kemasan softbag, infus Sanbe terlihat mewah. Softbag Sanbe dibuat perusahaan Cryovac Sealed Air-USA menggunakan bahan campuran polyethylene, polypropylene, dan polyester. Sifatnya yang lentur dan tahan hingga suhu 121 derajat membuat wadah infus tidak mudah bocor atau pecah saat jatuh.
Menurut Steven Huang, wakil dari Cryovac, pemakaian softbag membuat infus lebih mahal 15 persen dibandingkan kemasan lain yang memakai bahan polyethylene. "Tapi mengapa beda harganya jauh sekali? Saya tidak tahu," katanya di pabrik Sanbe di Cimarema, Padalarang, Jawa Barat.
Marius Widjajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, mengkritik pemakaian plastik dalam kemasan infus. Dia melihat bahkan Sanbe, yang sudah menggunakan softbag, masih memakai bahan plastik untuk bagian kepala infus. Infus Otsuka, kata Marius, lebih parah lagi karena seluruh bahan kemasan memakai plastik.
Bahan plastik itu jika dipanaskan akan menjadi pirogenik atau bisa meracuni darah. Menurut Marius, pasien bisa mendadak panas tanpa diketahui penyebabnya. "Bahan ini dipakai karena harganya murah," katanya. Tetapi harga murah tak boleh menjadi alasan jika taruhannya keselamatan pasien. "Apakah harga kesehatan orang Indonesia lebih rendah ketimbang orang Jepang?" dia bertanya.
Johanes Chandra membantah menggunakan stan-dar ganda. "Kami memang punya produk dalam wadah softbag," ujar Chandra. Tetapi, katanya, sebagian besar, seperti juga di Indonesia, menggunakan plabottle atau dari plastik khusus yang memang dirancang tahan terhadap panas. Metode yang dipakai juga sama, yaitu bioburden dengan pemanasan 102 derajat.
Manajer Produksi Sanbe, Setio Budiprajitno, tak bersedia menjelaskan mengapa harga produknya dua kali lipat lebih mahal dibandingkan produk Otsuka. Dia juga menolak menyebutkan angka pasti produksi Sanbe. Padahal, jika harganya sama-sama murah, konsumen bakal punya banyak pilihan. Namun, gara-gara harganya yang mahal, rumah sakit memi-lih berpaling ke Filipina atau Malaysia.
Kini krisis pasokan infus sudah berakhir. Pada Maret lalu, Badan POM menyatakan Otsuka sudah memenuhi persyaratan pemanasan sesuai dengan kesepakatan Harmonisasi ASEAN.
Siapa Lebih Suci
Kitab obat tidak mendiktekan metode tertentu untuk mensterilkan infus. Buku yang disebut farmakope ini hanya mewajibkan produk infus memenuhi Tingkat Jaminan Sterilitas alias Sterility Assurance Level (SAL). Ini adalah ambang ketika peluang satu mikroba hidup dalam bahan yang sudah disterilisasi dibatasi pada tingkat 10-6 (10 pangkat -6).
Produk infus dapat memenuhi tingkat jaminan sterilitas dengan aneka cara. Metode yang lazim dipakai adalah dengan pemanasan infus melalui dua pendekatan: overkill dan bioburden. Cara yang satu tidak lebih baik dari yang lain dan produsen menetapkan pilihan berdasarkan daya tahan bahan infus dan kemasan terhadap panas. Berikut ini cara sterilisasi yang dipilih produsen infus di berbagai negara:
Sama-sama mengandalkan panas, overkill, dan bioburden menyapu mikroba dengan teknik berbeda. Pada overkill, mikroba dihabisi pada akhir proses dengan pemanasan 121 derajat Celsius selama 15 menit. Pada bioburden, mikroba dientaskan dengan mengendalikan jumlahnya pada setiap tahap pembuatan infus dan diakhiri dengan pemanasan pada suhu 102-112 derajat Celsius selama satu jam. Berikut ini cara kedua pendekatan bekerja pada proses produksi infus:
BAHAN BAKUBahan baku untuk meracik infus harus memenuhi standar kimia tertentu. Bioburden: Jumlah mikroba dan endotoksin pada bahan baku dipantau. Jika populasinya melampaui batas, bahan diapkir.Overkill: Jumlah mikroba tidak perlu dipantau.
AIR
Infus menggunakan air yang disiapkan dengan cara khusus: dimurnikan dengan metode osmosis, disuling berkali-kali, dibebaskan dari ion (deionisasi). Prosesnya berlangsung pada suhu 121-140 Celsius.
- Stainless steel untuk mencegah rusaknya air.
- Suhu 80 Celsius.
PENCAMPURAN
Air dan bahan baku dicampur dalam tangki khusus dengan diaduk.
Pengujian:
- Analisis kimia
- Analisis fisika
Suhu 80 Celsius. Pemanasan dimaksudkan agar bahan gampang larut, selain untuk mematikan mikroba.
KEMASAN
Pembuatan botol/kantong infus menjadi bagian dari lini produksi infus. Botol/kantong dibuat pada suhu tinggi. Untuk kemasan berbahan dasar polietilena, misalnya, botol dibuat pada suhu 185 derajat Celsius. Dengan cara ini, sterilitas kantong terjaga.
Pengujian:
- Visual (bentuk kemasan dan kebersihan).
- Fisik (berat kosong kemasan, ketebalan, dan volume).
Bioburden: Jumlah mikroba pada kantong harus dipantau. Jika populasinya melampaui batas, kantong diapkir.
Overkill: Jumlah mikroba tidak perlu dipantau.
PENYARINGAN
Tahap ini dimaksudkan untuk menyingkirkan pirogen (material yang dihasilkan selama proses produksi), mikroba dan racunnya (endotoksin), dan partikel.
Kontrol: Kualitas filter 0,45 dan 0,22 mikron.
PENGEMASAN
Larutan infus dimasukkan ke dalam botol/kantong infus dan ditutup. Untuk mencegah kontaminasi mikroba, proses dilakukan otomatis di bawah kondisi udara terkontrol.
Pemantauan: Volume larutan.
STERILISASI
Sterilisasi dilakukan dengan metode panas basah di dalam wadah bertekanan (otoklaf). Pemantauan: Suhu, Tekanan, Waktu.Bioburden: OverkillSuhu: 112C121CTekanan: 1 atmosfer1 atmosferWaktu: 65 menit15 menit
PENGUJIAN
Produk infus menjalani pengujian tahap akhir sebelum dipasar-kan. Pemeriksaan mencakup:
- Kemasan
- Sterilitas, keberadaan pirogen, analisis kimia, dan uji partikel.
DISTRIBUSIHanya infus yang lolos pengujian akhir yang dipasarkan.
Lebih Murah, Lebih Laku
Indonesia mengonsumsi infus 64 juta unit senilai Rp 519,3 miliar pada 2006. Sebagian besar berupa infus dasar, yakni normal saline dan ringer laktat. Inilah penguasa pasar infus di dalam negeri.
Infus Normal Saline
Infus dasar yang melulu berisi larutan garam fisiologis. Infus ini diberikan untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh, biasa diberikan pada pasien demam berdarah, muntah berak, atau penyakit yang berpotensi membuat penderita kehilangan cairan tubuh.
PENJUALAN (dalam unit) | HARGA (Rp/unit) |
---|---|
Widatra (generik): 5,3 juta | Rp 3.690 |
Widatra (bermerek): 9,4 juta | Rp 6.835 |
Otsuka: 10,4 juta | Rp 6.348 |
Sanbe: 110 ribu | Rp 11.400 |
B Braun: 113 ribu | Rp 4.284 |
Total: 25,323 juta |
Infus Ringer Laktat
Infus ini berisi larutan garam fisiologis yang dicampur dengan senyawa antiasam (laktat). Infus ini berfungsi menormalkan kadar asam/basa (pH) tubuh pada pasien yang mengalami asidosis (tubuh menjadi lebih asam). Asidosis biasa terjadi pada pasien yang mengalami kehilangan cairan tubuh parah.
PENJUALAN (dalam unit) | HARGA (Rp/unit) |
---|---|
Widatra (generik): 12,9 juta | Rp 4.382 |
Widatra (bermerek): 4,7 juta | Rp 7.417 |
Otsuka: 3,2 juta | Rp 6.926 |
Sanbe: 398 ribu | Rp 11.700 |
B Braun: 460 ribu | Rp 5.117 |
Total: 21,658 juta |
Pilih Botol atau Kantong?
Salah satu penyebab infus jenis yang sama berbeda harga adalah kemasannya. Ada dua jenis kemasan untuk infus dasar di dunia, termasuk di Indonesia, yakni plabottle (botol) dan softbag (kantong). Berikut ini studi kasus biaya pemakaian kedua kemasan ini.Kasus: Diare akut dewasaJenis infus: Normal Saline, minimal 6 botol @ 500 mililiter
BOTOL Keunggulan: MurahPemakai: Widatra (generik/branded), Otsuka, B Braun, Euromed
KANTONGKeunggulan: Darah tidak masuk ke selang infusPemakai: Sanbe
PASIEN REGULERB BraunRp 25.704(6 x Rp 4.284)SanbeRp 68.400(6 x Rp 11.400)Selisih harga: Rp 42.696
PASIEN ASKIN/ PELAYANAN KESEHATAN DASARWidatra (generik)Rp 22.140(6 x Rp Rp 3.690)SanbeRp 68.400(6 x Rp 11.400)Selisih Harga: Rp 46.260
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo