Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini berita yang bisa-bisa menerbitkan liur praktisi teknologi informasi di negeri ini. Upah direktur program sebuah proyek sistem informasi pelanggan (customer information system) nyaris membentur angka Rp 150 juta. Itu yang terjadi dalam proyek Customer Information System Rencana Induk Sistem Informasi (biasa disebut CIS RISI) Per-usahaan Listrik Negara (PLN). Proyek dua tahun senilai Rp 137 miliar ini diberikan tanpa tender sejak April 2004 kepada PT Netway Utama, satu perusaha-an konsultan informasi teknologi yang berbasis di Jalan Medan Merdeka Ti-mur, Jakarta Pusat. Netway memberikan upah Rp 149,9 juta kepada James Griffin, seorang peker-ja asing yang dikontrak untuk posisi Direktur Program Proyek CIS RISI.
Gaji jumbo ini bahkan mengucur hingga ke level bawah: Rp 7 juta pada tahun pertama untuk seorang pelayan kantor (office boy) dan Rp 8 juta di tahun kedua. Anda tergiur? Tunggu dulu! Angka-angka ini sempat menerbitkan wasangka keras. Kewajaran biaya proyek pembuatan sistem informasi pelanggan PLN Distribusi Jakarta Raya dan Ta-ngerang (selanjut-nya kita sebut Disjaya) dipertanyakan sejumlah kalangan—termasuk dari inter-nal PLN sendiri: Tim Satuan Pengawas Internal (SPI) PLN.
Pemeriksaan Tim SPI terhadap proyek CIS Rencana Induk Sistem Informasi (selanjutnya akan kita sebut CIS Rencana Induk) menemukan, PLN sejak pagi-pagi telah menabrak rambu: melepaskan proyek senilai Rp 137 miliar kepada Netway tanpa tender. Padahal, berdasarkan keputusan direksi PLN tahun 1998, pengadaan jasa di atas Rp 50 juta harus melalui tender terbuka.
Bujet Rp 137 miliar dialokasikan Netway dalam dua model pembiayaan. Yang berkaitan dengan gaji karyawan disebut biaya langsung personel (BLP) senilai Rp 101,2 miliar. Sisanya Rp 35,8 miliar menjadi biaya penunjang pekerjaan karyawan, disebut biaya langsung non-personel (BLNP).
Angka ini jauh melebihi harga kontrak antara PT PLN Disjaya dan Politeknik Institut Teknologi Ban-dung (ITB) senilai Rp 3,85 miliar untuk proyek serupa selama lima tahun pada September 1991. Ke-betulan Direktur Utama Netway Gani Abdul Ga-ni juga pernah menjadi dosen Politeknik ITB.
Proyek ini mulai menimbulkan kepuyengan pada Tim SPI ketika investigasi mereka menyentuh kejanggalan bujet proyek. Dalam negosiasi biaya langsung personel dan non-personel untuk proyek CIS RISI dengan Netway pada November 2003, disepakati bahwa Disjaya akan membiayai 192 personel, termasuk lima ekspatriat (lihat tabel 1). Tapi dalam kontrak Disjaya-Netway ada kenaikan 15 persen pada biaya langsung personel di tahun kedua. Kok bisa?
Disjaya ternyata sangat murah ha-ti kepada Netway. Kenaikan 15 persen itu dibuat oleh Tim Penun-juk-an Disjaya dengan dalih antisipasi kenaikan biaya pada tahun berikutnya. Ketidakwajaran lain da-pat di-lihat pada perhitungan har-ga perkiraan sendiri (HPS) yang men-jadi dasar perhitungan proyek. Tim Satuan Pengawas Internal PLN menemukan, Tim Penunjuk-an Langsung kurang maksimal dalam mencari re-fe--rensi saat mengevaluasi harga, terutama dalam per-hitungan biaya personel per kepala per bulan (man-month).
Misalnya, Tim Penunjukan tak menganalisis lagi hasil audit Kantor Akuntan Pajak (KAP) Rodi Kar-tamulya terhadap gaji personel Netway. Bela-kangan, kredibilitas KAP Rodi Kartamulya juga di-ragukan oleh Tim Satuan Pengawas Internal ka-re-na beberapa waktu yang lalu kegiatan mereka di-bekukan oleh Menteri Keuangan. Tapi, menurut Direktur Utama Netway Gani Abdul Gani, pem-be-kuan itu tidak ada kaitannya dengan proyek CIS-RISI-Net-way. Sebab, mereka meminta audit pay-roll pada tahun 2002, sementara pembekuan ter-jadi pada 5 Januari 2005. ”Jangan salahkan ka-mi, dong,” ujarnya kepada -Tempo (lihat wawanca-ra dengan Gani Abdul Gani.)
Nah, dari penawaran bujet yang diajukan Netway, Tim Penunjukan merancang HPS. Hitungannya berdasar-kan surat edaran bersama Badan Pe-rencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Departemen Keuangan pada 2002. Dengan pedoman itu, biaya langsung personel didefinisikan sebagai jumlah gaji kasar ditambah beban biaya sosial, beban biaya umum, tunjangan penugasan, dan keuntung-an. Karena Bappenas menetapkan koe-fisien dalam kisaran, PT Netway dapat menetap-kan koefisien pengalinya menurut keinginan (lihat tabel 1).
Alhasil, rancangan standar gaji karyawan Netway yang menggarap proyek CIS-RISI (April 2004--April 2006) menggelembung laksana balon. Contoh ga-ji pelayan kantor dipatok hingga Rp 7 juta. Namun, me-nurut Gani angka Rp 7 juta itu hanya usulan bia-ya di atas kertas. Gaji yang diterima pelayan kantor Netway hanya Rp 1,4 juta. Okim Januardi, 51 tahun, misal-nya. Bekerja di Netway sejak 1996, dia me-ngaku menerima upah sesuai yang disebutkan Gani.
Dalam dokumen Tim SPI, terurai kejanggalan lain. Ada 12 orang yang THP-nya lebih besar dalam paket harga perkiraan sendi-ri ketimbang THP yang di-bayarkan. Misalnya, THP berdasarkan harga per-ki-ra-an sendiri untuk jabatan konsultan solusi -bisnis yang dipegang Antant A. Sukirman adalah Rp 9.669.888. Namun realisasi gaji untuk jabatan yang sama di-terima oleh orang yang bernama Joko Santoso, dengan gaji Rp 8.201.088.
Dua hal yang patut dipertanyakan di sini. Pertama, ada perbedaan angka dalam gaji dalam HPS dan gaji yang dibayarkan kepada personel Netway. Akibat-nya, Disjaya kelebihan mem-ba-yar gaji 12 personel Netway Rp 201.704.938,54 hingga tahap IV proyek. Maka terjadilah kemahalan 13,94 persen. Kedua, ada perbedaan personel dalam HPS dan personel yang menerima gaji. Belakangan, SPI menemukan me-mang ada perubahan personel yang tak diminta persetujuan lebih dahulu kepada manajer proyek.
Setelah ditotal, perhitungan harga proyek antara Tim Penunjukan Langsung Disjaya dan Tim Satuan Pengawas Internal PLN terpaut Rp 4,9 miliar (10,77 persen). Dalam bujet tahun II yang belum direalisasi sampai saat ini, perhitungan kerugian malah lebih dari dua kali lipat: Rp 10,8 miliar lebih (setara 22, 41 persen)
Keanehan kian meriah ketika ada perbedaan tanda ta-ngan pada lembar THP yang telah diaudit dengan tanda tangan pada lembar absensi mereka. Menurut Abdul Gani, ketika orang-orang itu disuruh tanda tangan tiga kali, semuanya berbeda. Tapi bukankah urusan tanda tangan amat krusial, sehingga orang-orang yang selalu berubah tanda tangannya tak bisa ber-urusan dengan bank? Jawab Gani kepada -Tempo: ”Memang direktur itu selalu bermasalah kalau ber-urusan dengan bank.” Gani men-contohkan salah satu anak buahnya dalam kaitan dengan tanda tangan yang berbeda itu.
Mari kita lihat pula biaya fasilitas yang disedia-kan Disjaya bagi Netway. Ongkos telepon untuk 62 per-sonel Netway dijatah Rp 1,6 juta hingga Rp 4,5 juta per bulan. Biaya ini dibayarkan dari lumpsum se-besar Rp 122 juta per bulan dengan bukti kuitan-si penerimaan uang oleh setiap personel.
Transportasi karyawan juga amat dimudahkan. Netway menyewa 54 kendaraan bagi para karyawan CIS RISI. Biayanya- -disesuaikan dengan tingkat -kua-lifikasi personel. Mulai dari Rp 6.796.400 sampai -Rp 8.597.300 per bulan—sudah termasuk honor pengemudi dan ongkos bahan bakar minyak. Ke-54 kendaraan itu disewa sejak Mei 2004 dari unit usaha Puskopal Marinir, PT Jakarta Mobile Sakti.
Di level manajer tersedia Toyota Kijang Krista ke-luaran tahun 2002 dan LGX-04 sebanyak tiga bu-ah dengan tagihan masing-masing Rp 7,5 juta per buah per bulan. Tim SPI menemukan, mobil-mobil Kijang yang disewa dibuat di bawah tahun 2002, sehingga seharusnya harga sewa bisa lebih murah.
Disjaya juga mesti menutup tunjangan yang di-bayarkan di muka untuk sewa rumah selama 12 bu-lan kepada lima ekspatriat PT Netway sebesar Rp 720 juta. Padahal, sesuai dengan ketentuan, pem--ba-yaran tunjangan perumahan seharusnya di-la-kukan per bulan karena dalam kontrak rinciannya dihitung man-month (jumlah SDM kali durasi waktu pekerjaan). Mengapa demikian? Ini jawaban General Manager PLN Disjaya, Fahmi Mochtar: ”Sulit mencari rumah yang disewakan per bulan,” ujarnya.
Abdul Gani maupun Direktur Utama PLN Eddie Widiono berkilah bahwa perhitungan biaya yang tam-pak menggelembung itu sudah se-su-ai dengan aturan Bappenas. ”Billing rate (tarif bia-ya) itu hak perusaha-an untuk bisa men-charge PLN,” kata -Eddie Wi-diono. Tapi mereka menghindar ketika ditanya tentang aliran selisih uang yang tak dibayarkan itu. Dan -sayang sekali, Tim Satuan Penga-was Internal PLN tak sependapat dengan Eddie, sang Direktur Utama PLN.
Dari perjalanan proyek ini selama setahun, Tim SPI mencatat PLN mengalami kerugian dan potensi kerugian karena kekeliruan perhitungan Tim Pe-nunjukan Langsung. Referensi penghitungan HPS ha-nya berdasarkan penawaran PT Netway. Karena itu- kewajaran harga atas biaya langsung personel dan biaya langsung non-personel diragukan.
Agaknya tak mudah bagi pihak PT Netway dan para pe-tinggi PLN untuk berkelit dari berbagai kejanggal-an proyek ini. Abdul Gani maupun Fahmi Mochtar hanya menyatakan, kontrak akan direvisi dan di-evaluasi terus. ”Kami tidak akan menaikkan gaji ekspatriat, sementara pegawai lokal hanya naik 12 persen,” kata Mochtar.
Seperti memainkan balon saja, pengem-pisan pun cepat-cepat dilakukan. Terakhir, nilai kontrak diturunkan dari senilai Rp 137 miliar menjadi Rp 125 miliar. Pemotongan nilai kontrak ini sejatinya amat menggoda: apakah bujet Netway terlalu gemuk sehingga perlu dirampingkan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo