Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil pemeriksaan Satuan Unit Pengawas In-ternal PLN menemukan dua kelemah-an dalam kontrak antara Disjaya dan PT Net--way Utama. Kelemahan pertama soal pro-sedur. Yang kedua ada kerugian yang di-derita PLN karena proyek ini terbilang mahal. Tempo mewawan-carai Eddie Widiono dalam dua kali kesempatan, 18 Juni dan Selasa pekan lalu. Dalam wawancara pekan lalu, Widiono didampingi Fahmi Mochtar, General Manager PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang—biasa disebut Disjaya—dan Fadjar Istijono, Kepala Satuan Pengawas Internal PLN. Kedua wawancara berlangsung di kantor PLN Pusat, Jakarta Selatan.
Berikut petikan wawancara itu.
Penunjukan atas Netway berpijak pada legal me-mo-randum yang dibikin oleh kantor hukum Reksa Paramitra pada Mei 2001. Bukankah kantor hukum itu dikelola oleh orang PLN sendiri?
Terus terang saja memang kami cari murah. -Ta--hun 2001, kondisi PLN tidak seperti sekarang. Salah satu alasan mengapa kami melakukan outsourcing -dengan penunjukan langsung adalah krisis dana.
Reksa Paramitra, yang memberi legal memorandum atas penunjukan itu, adalah lembaga hukum yang terdiri dari orang PLN dan orang non-PLN. Di situ ada mantan jaksa, juga orang PLN yang ma-sih ber-dinas. Proyek ini tidak ditender karena Netway sudah bekerja sama dengan kami sejak 1994.
Koordinator lembaga itu adalah orang PLN?
Betul. Tapi ia kemudian keluar dari lembaga itu ka-rena masuk dalam posisi struktural PLN. Tapi harus di-ingat bahwa legal memorandum itu dibuat tiga pihak, yaitu Reksa Pa-ramitra, Tim Hukum Dis-jaya, dan kantor hukum Remi Darus. Hasilnya sama, bahwa outsourcing de-ngan penunjukan langsung memang dimungkinkan.
Reksa Paramitra dan Tim Hukum Disjaya adalah ba-wahan Anda. Mana mungkin mereka berani me-nge--luarkan rekomendasi yang bertentangan de-ngan kebijakan direksi PLN?
Justru karena mereka masuk ke Reksa Paramitra, saya pastikan per-timbangan mereka lebih profesional. Lagi pula Reksa Paramitra ditunjuk oleh Dis-jaya. Intinya, mereka itu ditugas-karyakan. Dan selama tugas karya, mereka mendapat gaji da-ri perusahaan yang bersangkutan.
Tapi legal memorandum itu dipertanyakan orang karena ada orang PLN juga di sana….
Tahun 2001, saat saya menjadi direktur utama, ada masalah yang menyangkut aliran cash kami. Ada sejumlah un-accounted karena kelemahan ad-ministrasi kami. Tahun 2002, kantor akuntan pajak menemukan adanya kelemahan pengawasan yang dapat berakibat un-accounted. Uangnya tidak hilang. Cuma, pada saat dicari, administrasinya belum jelas. Uang masuk harusnya langsung ke re-kening PLN, tapi nya-ta-nya bisa masuk ke mana-mana. Uang itu balik, tapi kadang-kadang ”bertelur” dulu. Itu sebabnya perlunya pengawasan. CIS ini fungsinya juga adalah peng-awasan piutang dan re-kening. Cara ini paling efektif. Tapi kami tidak menyadari bahwa outsourcing ini meng-injak kaki banyak orang.
Siapa yang terinjak, misalnya?
Misalnya pemasok peralatan komputer yang sebe-lumnya sudah ada di Distribusi Jakarta. Tukang or-der rekening. Ada saja industri yang meminta re-ke-ning listriknya dikurangi. Mendapat order begi-tu, si oknum PLN akan berusaha segala cara untuk melayani. Saya terbuka sajalah, karena itulah ke--nyataannya. Pada saat melakukan outsourcing, kami memutuskan total outsourcing. Semuanya di-sewa dari luar. Per-alatan, juga orangnya. Semula ka---mi menghitung, untuk masa lima tahun, biaya-nya sekitar Rp 900 mi-liar. Tapi harus saya akui ide ini ”digerilya”. Dewan komisaris tidak berani menye-tujuinya, tapi juga tak berani membatalkan.
Mengapa kemudian dilaksanakan juga?
Saat Pak Fahmi Mochtar menjadi General Manager Disjaya dan komisaris juga diganti oleh orang-orang seperti Pak Andung Nitimihardja (sekarang Menteri Perindus-trian—Red.), hubungan kami de--ngan komisaris sangat dekat, maka bisa dipahami ka-lau proyek ini diteruskan. Tapi, karena pernah di-aju-kan dan seret, sejumlah item dikurangi agar bia-yanya lebih hemat. Jangka waktu lima tahun di-perpendek menjadi dua tahun. Yang di-outsourc-ing cuma software-nya. Hardware-nya sewa dari tem--pat lain. Biayanya turun menjadi Rp 137 mili-ar.
Tim pemeriksa intern menemukan fakta bahwa pro-yek ini cukup mahal?
Negosiasi biaya dilakukan oleh Disjaya. Tentang tuduhan mahal itu, saya tidak terlalu menguasai. Tapi saya bisa menjelaskan proses-nya. Sebelum Sa-tuan Unit Pengawas Internal (SPI) memeriksa, ber-edar surat-surat kaleng yang juga dikirim ke ko-misaris. Saat itu komisaris bertanya, mengapa proyek ini bisa begitu. Saya ditanya me-ngapa tidak tahu apa yang terjadi di bawah sana. Saya -jawab, ka-lau komisaris minta proyek ini diperiksa, ya, ka-mi periksa. Terus terang saja bukan tuduhan itu yang kami khawatirkan, melainkan karena si pelapor mengutip sesuatu yang mengindikasikan bahwa si pe-lapor itu punya akses ke dokumen-do-kumen kami. Kami kha-watir informasi yang ia peroleh itu dipelintir sehingga membuat citra kami ma-kin buruk. Itu sebabnya kami menugasi SPI memeriksa proyek ini. SPI diberi mandat, tapi tidak terlalu kenal me--dan. Setelah laporan diserahkan kepada kami, di-reksi melakukan rekonsiliasi. SPI itu bukan penyidik, tapi mencari hal-hal yang bisa diperbaiki.
Jadi, temuan SPI benar adanya?
Sebagian hasil pemeriksaan itu bisa ditindak-lan-juti. Dan harus di-akui bahwa sebagian temuan lagi mun--cul karena kurang lengkapnya in-formasi atau karena SPI tidak mengikuti proses ini secara keseluruhan.
Contohnya?
(Fadjar Istijono menjawab pertanyaan ini.) Da-lam perjanjian antara ITB dan PLN, ada klausul yang me-ngatakan apabila ITB mengajak pihak ketiga, PLN harus diberi tahu. Ketika kami tanyakan surat pemberitahuan itu, ternyata tak ketemu. Mungkin karena sistem file tidak terlalu bagus dan waktu-nya sudah lama, yaitu 1991. Bisa juga karena pemeriksaan -ka-mi cuma satu bulan, hingga masa pemeriksaan selesai, surat itu tidak ditemukan. SPI me-lakukan analisis berdasarkan da-ta yang ada pada saat itu. Nah, belakangan ada sebagian data yang baru ditemukan.
Eddie Widiono: Yang dijelaskan oleh Pak Fadjar adalah du-ga-an bahwa Politeknik belum be-kerja sama dengan Netway sebelum men-dapat kon-trak dengan Disjaya. Padahal tanggal 8 Agustus 1994 ada perjanjian ker-ja sama antara Politeknik ITB dan Netway. Tanggal 23 Agustus 1994, Disjaya dan Politeknik meneken kontrak kerja sa-ma. Jadi, saat Disjaya meneken kerja sama dengan Politeknik ITB, Dis---jaya sudah tahu bahwa politek-nik punya kontrak dengan Netway.
Tapi, sebelum perjanjian tanggal 8 Agustus it-u, ada -perjanjian antara ITB dan PLN Pusat, 9 Sep-tem--ber 1991, yang menjadi acuan dari semua perjan-jian berikutnya?
Perjanjian dengan ITB dan PLN Pusat itu bukan soal CIS, melainkan soal teknologi. Yang khusus me-ngenai CIS cuma antara Disjaya dan Politeknik ITB.
Tim SPI menyimpulkan proyek ini kemahalan. -Per--bedaan tahun pertama dan tahun kedua terlalu besar?
Fadjar Istijono: Saya tidak bisa menjawab. Itu pertanyaan saya juga.
Fahmi Mochtar: Secara internal, Disjaya membentuk tim untuk mengkaji soal hukum dan keuang-an kontrak ini. Dari kajian harga satuan, tim ini menghitung biaya langsung personel dan biaya lang-sung non-personel, mengacu pada ketentuan Bappenas dan ketentuan Dirjen Pajak tahun 2002.
SPI bilang perbedaan harga tahun pertama dan -tahun kedua terlalu mahal?
Fahmi Mochtar: Kenaikan itu terjadi karena -ka-mi menyesuaikan dengan harga di pasaran. Sebuah majalah ekonomi pernah menghitung kenaikan gaji profe-sional bidang teknologi naik 15 persen. Tapi kontrak ini kami evaluasi terus. Evaluasi terakhir, kami putuskan tidak ada kenaikan untuk expat, dan pegawai lokal naik 12 persen. Nilai terakhir kon-trak ini turun dari Rp 137 miliar menjadi Rp 125 miliar.
Orang mudah menduga bahwa biaya itu dipangkas karena tudingan mark-up itu?
Fahmi Mochtar: Kita kurangi bukan karena tu-ding-an -mark-up, tetapi ada pemotongan terhadap ke----giatan-kegiatan yang kita anggap tidak perlu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo