Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika Ertsberg, pertambangan tembaga, mulai digali pada 1972, lalu Grasberg--kandungan emasnya terbesar di dunia serta tembaganya nomor tiga di dunia--pada 1988, orang-orang Amungme, sebagai pemilik tanah, berdiri memandang mesin-mesin raksasa itu bekerja, sembari bergumam, "Dulu mereka 'mengawini ibunya'. Kini mereka pun 'meminang anaknya'." Itulah ungkapan kesedihan bercampur putus asa dari kaum anak negeri, dalam bahasa anak negeri. Sebab, Puncak Menangkawi atau si Anak Panah Putih--alias Cartensz, sesuai dengan nama pelaut Belanda, Jan Cartensz, yang melihat puncak itu pada 1623--ibu dari suku dan tempat bersemayamnya roh nenek moyang Amungme, sejak saat itu telah dibongkar.
Maka, di luar bisnis pertambangan yang sukses, dimulai pula babak-babak kesedihan, yang ternyata sebab-musababnya mengarah kepada sepak terjang Freeport. Eksplorasi Freeport dan kerusakan alam Irian memang cerita satu paket yang sulit dipisahkan. Tom Beanal, kepala suku Amungme, dalam gugatannya kepada Freeport di Pengadilan Louisiana pada 1997, menulis, "Mereka (Freeport) telah melanggar hukum lingkungan internasional dan ini sama saja dengan teroris lingkungan."
Tom rupanya punya hitungan sendiri. Sewaktu deposit emas Grasberg mulai ditambang pada 1989, setiap hari 100 ribu ton tailing--batuan limbah--mesti dibuang. Sungai Ajkwa menjadi pilihan karena itulah cara paling cepat dan murah. Berikutnya, daerah aliran Sungai Aghawaghon yang menyatu dengan Otonoma dan Ajkwa mendapat giliran. Jebolnya timbunan tailing ke Danau Wanagon pada 22 Juni 1998, akibat kelebihan beban, telah menambahkan 190 ribu ton batuan limbah dan air asam batuan ke Sungai Wanagon. Setiap hari, 3.000 ton tailing dari 120 ribu ton batuan limbah pengerukan dibuang ke Aghawaghon. Dan ketika produksi meningkat menjadi 300 ribu ton (300 K) per hari, tambahan sedimen yang masuk ke sungai otomatis melonjak: 17.000 ton per hari.
Freeport bukan tak mengakui hal ini. Dalam Ringkasan Eksekutif Studi Amdal Regional yang diterbitkan PT Freeport Indonesia pada Desember 1997, disebutkan, antara lain, dampak lingkungan memang ada. Tapi mereka berjanji akan mengelola dampak lingkungan itu dengan baik dalam program rencana pemantauan lingkungan (RPL) dan rencana kelola lingkungan (RKL) yang dirancang oleh tim Freeport.
Apa boleh buat. Dalam pada itu, kerusakan terus terjadi. Tanah dan batuan buangan dari pertambangan terbuka (open pit) dengan diameter 2 kilometer itu telah merusak hutan alpin dan sangat mungkin memusnahkan spesies endemik. Bencana ini mengingatkan orang pada kasus pertambangan tembaga Ok Tedi di Papua Nugini, yang ditutup pada 1996 dan harus membayar US$ 150 juta karena tuntutan masyarakat Papua Nugini untuk kerusakan lingkungan--masih terlilit utang hingga saat ini.
Tailing dari daerah pertambangan Freeport mengendap kian banyak di Sungai Ajkwa, sehingga suatu saat airnya menerobos badan sungai dan masuk ke Minajerwi di sebelah timur. Kawasan seluas 130 kilometer persegi telah hancur. Dan dalam 40 tahun ke depan, 3 miliar ton limbah ini akan dibuang ke dua desa terdekat dari Grasberg. Hutan konifera, rawa, padang rumput, dan hutan rawa air tawar musnah diterjang tailing. Tembaga, merkuri, seng, dan timah bercampur dan terakumulasi dalam badan air--persis ketika tragedi Minamata memulai rantai prosesnya di Jepang.
Hasil investigasi seorang warga negara Amerika yang ditulis dalam Project Underground--salah satu situs internet--mencatat, tailing mengandung pencemar tembaga yang tinggi, walaupun seng dan timah hitamnya relatif rendah. Sedangkan sebuah artikel dalam Mining Magazine, sebuah majalah pertambangan London, pada 1992 menulis bahwa Freeport punya stripping ratio 4,5:1. Artinya, dalam setiap ton biji tembaga ada 4,5 ton limbah. Kabarnya, pucuk pimpinan Freeport Indonesia (FI) mengakui bahwa setiap hari, sepanjang 1997, FI harus kehilangan 200 ton tembaga dari buangan tailing-nya.
Jumlah tembaga yang diizinkan adalah 0,02-200 ppb. Sedangkan kandungan di Sungai Ajkwa levelnya 10 kali di atas, gara-gara buangan dari FI. Pada Mei 1997, kandungan merkuri air di Ajkwa telah meningkat 40 kali lebih tinggi dari baku mutu Australian and New Zealand Environment and Conservation Council (ANZECC) dan 4 kali lebih tinggi dari baku mutu untuk konsumsi manusia. Tapi dua bulan kemudian Sucofindo, lembaga konsultan independen, mengumumkan bahwa nilai merkuri kawasan itu aman-aman saja dan sesuai dengan baku mutu. Kok, bisa? Susi, konsultan Sucofindo, ketika dihubungi Selasa pekan ini, mengatakan bahwa dalam bulan Mei 1997 lembaganya pernah melakukan kesalahan metode pengambilan sampel, sehingga hasil tes menunjukkan kandungan logam berat di sungai itu, semuanya, di atas baku mutu. "Dua bulan kemudian, tim Sucofindo turun lagi ke lapangan dan menemukan kandungan limbah di Sungai Ajkwa masih di bawah ambang batas, sehingga airnya masih bisa diminum," ujarnya ketika dihubungi wartawan TEMPO I Gede Gusti M.S. Adi via telepon.
Perdebatan tentang kerusakan lingkungan antara FI dan lembaga-lembaga lingkungan independen--dalam dan luar negeri--adalah sisi lain yang mewarnai cerita-cerita Freeport. Misalnya, sementara Sucofindo merekomendasikan air sungai yang masih aman, Australian and New Zealand National Health and Medical Research Council malah merekomendasikan bahwa sungai tersebut telah terkontaminasi 38 kali di atas ambang batas.
Sejak lima tahun lalu, sagu tak lagi bisa dimakan karena terkontaminasi logam berat. Dan air sungai telah masuk kategori D alias tidak mungkin dikonsumsi manusia dalam cara apa pun. Agapitus Maerimau--seorang warga Amungme--yang tinggal di Nauripi, sebuah desa di tepian Sungai Ajkwa, menjadi saksi hilangnya ikan air tawar, banjir, perubahan aliran air KAMM (Komoro, Ajkwa, Minajerwi, dan Mawati), pencemaran air minum, rusaknya hutan sagu, dan pembuangan racun ke sungai. "Sekarang sulit untuk cari ikan yuaro, lifao, mufao, irao, dan ufurao. Kalau ada, rasanya pahit seperti obat malaria. Yang masih ada hanya mujair, ikan dari Jawa. Kami sekarang harus berjalan 220 kilometer untuk mencari makanan," katanya kepada tim Project Underground.
Freeport sendiri giat melakukan penelitian amdal (analisis mengenai dampak lingkungan). Pada 1984, misalnya, FI membuat studi evaluasi lingkungan (tatkala produksi mencapai 66 ribu ton bijih logam). Studi yang sama diulang pada 1990, ketika produksi meningkat menjadi 300 ribu bijih logam per hari, dan dilanjutkan lagi pada 1997. Amdal ini sudah disetujui oleh tim Departemen Pertambangan dan Energi. Sedangkan amdal regionalnya sudah diloloskan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal).
Laporan amdal ini menuliskan FI tahu adanya dampak lingkungan. Misalnya, jutaan ton tailing akan masuk ke estuari dan mengendap ke dasar Laut Arafura--seperti ditulis dalam amdal regionalnya--dan, "Sementara menunggu cara lain yang lebih efisien, cara di atas dilakukan saja dulu." FI juga mengembangkan proyek "Friend of Lorentz" untuk melindungi Taman Nasional Lorentz. Toh, 114 hektare padang rumput Carstensz--bagian dari Taman Nasional Lorentz--tetap akan ditutup tailing setinggi 270 meter. Dan 769 hektare Desa Wanagong juga akan hilang dalam timbunan setinggi 500 meter.
Banyak memang yang menggugat. Tapi Freeport tampaknya terlalu besar dan penting untuk menyerah. Namun, mudah-mudahan Irian tak akan pernah hanya menjadi sisa ceruk-ceruk penambangan dan kota-kota hantu yang hanya mengenal kejayaan alam negerinya lewat kenang-kenangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo