Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Nestapa Bukit Soeharto

21 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diperlukan ratusan tahun untuk memulihkan hutan yang terbakar. Ratusan jagawana bak sederet liliput. Hanya secuil hutan bisa selamat.

"Jika manusia memandang ke arah yang tepat, seluruh dunia adalah taman yang rimbun." Itulah narasi penutup film The Secret Garden, sebuah ucapan yang mestinya layak dibayangkan di mana pun, kecuali barangkali di hutan-hutan tropis Kalimantan?juga Sumatera?yang terbakar.

The Secret Garden adalah kisah seorang gadis piatu yang menemukan kembali sebuah taman rahasia yang hilang?setelah bertahun-tahun. Tapi, di belantara Borneo, ke manakah orang harus pergi untuk menemukan kembali kehidupan yang hilang dari jutaan hektare hutan tropis yang hangus terbakar? Dan berapa lama?

Mathias Mappapa tidak berusaha menemukannya. Bersama 25 jagawana lain, staf Konservasi Hutan dan Sumber Daya Alam (KSDA), Kalimantan Timur ini mencoba mencegah hilangnya lebih banyak hutan karena kebakaran. Pada siang November yang terik itu, dia membuat parit-parit penyekat kebakaran di Bukit Soeharto. Seundak demi seundak melingkari bukit. Sekat itu berguna untuk mencegah merembetnya api.

Itu pekerjaan liliput dibandingkan dengan skala kebakaran hutan yang bisa terjadi di Kalimantan, seperti yang melanda Bukit Soeharto pada 1977. "Apalah artinya 100 jagawana dibandingkan dengan 60 ribu hektare lebih lautan api?" ujar Mathias ketika diwawancarai wartawan TEMPO I Gede GMS Adi, di kawasan bekas kebakaran itu November lalu.

Toh itu harus dilakukan. Betapapun absurdnya.

Kebakaran Taman Hutan Rakyat (Tahura) Bukit Soeharto sepanjang 1997 memang merupakan sebuah episode bencana yang menyedihkan. Bukit yang membentang 32 kilometer sepanjang jalur Samarinda-Balikpapan ini pernah juga terbakar pada tahun-tahun dulu. Namun api 1997 rupanya paling panas sehingga melenyapkan ribuan vegetasi alami.

Pohon-pohon bengkirai, meranti merah, meranti putih, kapur, dan kruing yang mendominasi hutan lindung seluas 70 ribu hektare itu tinggal kenang-kenangan. Juga anak-anak pohon reboisasi seperti, akasia mangium, albezia, dan sungkai. "Sebagian pohon-pohon itu berumur ratusan tahun. Diameter paling kecil antara 60 sentimeter dan 1 meter," ujar Junaidi, staf RPH (Rencana Pemangkuan Hutan) Sungai Merdeka. "Yang berhasil kami selamatkan tak lebih dari satu persen," Mathias melanjutkan.

Bagi para jagawana dan staf konversasi, api adalah pemandangan rutin. Mathias, misalnya, menyaksikan titik-titik api setiap kali bertugas ke Bukit Soeharto. "Sepanjang jalan api menjalar, menyeberangi sekat jalanan, lalu membakar ladang-ladang penduduk di seberangnya. Tak ada yang bisa dilakukan karena api terlanjur besar," katanya.

Kebakaran paling hebat melanda hutan itu antara Oktober-November 1997. Kobaran api sudah tak tertahankan, melalap hutan Wanariset Semboja dan Pusat Rehabilitasi Kehutanan. Sekitar 8.000 hektare hutan riset dan pendidikan Universitas Mulawarman tandas. "Yang tersisa, paling-paling enam hektare," kata insinyur kehutanan itu, seraya melontarkan tatapan sayu ke sekitarnya.

Mathias mengaku, sesekali beban memadamkan api ini begitu berat, sehingga ia dan kawan-kawannya dilanda putus asa. Mereka bekerja siang-malam, selama berminggu-minggu tanpa istirahat. Namun dengan jumlah tenaga 100 orang, usaha "tim jagawana" itu ibarat menuang air ke lautan.

Alih-alih padam, panas matahari justru kian mengobarkan si jago merah. Sumber air jauh dan sulit dijangkau. "Semuanya terasa sia-sia," kata Mathias. Apalagi mereka cuma berbekal cangkul, sekop, dan rotan pemukul api, yang jauh dari memadai. Tenaga pun terbatas. Pergiliran piket tetap tak membantu karena orangnya itu-itu juga. Pendeknya, baik alat maupun jumlah personelnya jauh dari memadai.

Kebakaran itu menimbulkan panik luar biasa pada seluruh penghuni hutan. Manusia mengungsi, binatang-binatang melarikan diri ke pemukiman penduduk. "Orang utan yang kami tangkap umumnya dalam keadaan luka dan lecet. Bahkan ada yang bekas ditombak orang," ujar Adi Susilo M.S., Kepala Wanariset Semboja. Menurut Adi, dua sampai lima ekor orang utan datang ke Semboja pada pekan-pekan kebakaran hebat itu. Jumlahnya mencapai 200 ekor. Rombongan ini akhirnya dikembalikan ke habitat aslinya di hutan Pegunungan Meratus dan Sungai Wein?kendati kawasan itu juga pernah dilalap api dalam tahun yang sama.

Mendengar kisah kebakaran 1997 dan 1998 serta menyaksikan Bukit Soeharto hari ini, sulit untuk menetapkan siapa yang lebih menderita akibat bencana ini, fauna, flora, atau penduduk seputar kawasan. Negeri-negeri tetangga juga tak luput dari getah. Asap hitam menutupi langit khatulistiwa di atas Kalimantan. Ribuan orang menderita gangguan pernafasan, kehilangan ladang, mata pencaharian, tempat tinggal, bahkan jiwa. Dan tolong, jangan tanyakan soal isi hutan.

Penduduk setempat menuturkan, betapa burung langir kepala cokelat yang selalu menggali-gali lubang di tanah untuk membuat sarang, tidak terlihat lagi. Begitu pula rombongan pipit merah dan trucuk yang biasa berdiam di semak-semak kawasan itu. Sumber-sumber genetik serta spesies flora dan fauna endemik?sebagian besar belum sempat diteliti?yang hilang, entah bagaimana harus menghitungnya. Dan entah berapa nilainya.

Bekas-bekas kebakaran belum hilang sama sekali. Masih ada 200 titik api (hot spot), 48 di antaranya masih sangat aktif di seluruh Tahura. Panas ini bersumber dari deposit batu bara muda yang menjadi ancaman laten di kala suhu sedang terik. Perusahaan pertambangan batu bara memang tetap menambang walau kebakaran sudah sedemikian hebat. Urusan "aneh tapi nyata" ini terjadi gara-gara peraturan tumpang-tindih antara Departemen Kehutanan dan Departemen Pertambangan.

Kini, apa yang tersisa di Bukit Soeharto? Tentu saja ada. Ilalang?tumbuhan pionir yang paling tahan banting?tumbuh subur seperti beludru hijau melapisi punggung bukit-bukit kecil dan dataran sekitarnya. Di sela-sela ilalang, terlihat paku-pakuan dan karamunting. Sayang, tak satu pun terlihat anakan pohon besar elas dipterocarp.

Toh, para peladang di sekitar bukit tidak terus-terusan patah hati. Mereka mulai mencangkul, memetak, dan menanami ceruk-ceruk tanah di lembah dengan sayur-mayur, singkong, dan ubi-ubian. Hujan Mei tahun ini seperti membangunkan kesuburan tanah yang mati suri oleh musim dan api.

Lagipula, alam memang memiliki rahasia sendiri untuk menata kehidupannya kembali. Sungai yang melintasi lembah-lembah mulai mengalir. Rawa-rawa yang kering-kerontang berair lagi. Tanda-tanda kehidupan terlihat pula di daerah km 45 di mana pohon pinus dan gamalina tahan panas mulai dibibitkan.

Para jagawana dan peladang umumnya berharap agar rehabilitasi hutan segera dilakukan. Sebab tahun depan mungkin musim panasnya akan lama. "Ilalang ini gampang terbakar pada musim kemarau," ujar Junaidi, salah seorang jagawana. Tanpa reboisasi serius, bahaya banjir dan longsor sudah muncul lagi di depan mata. Longsor bahkan mulai terjadi di sekitar km 60-an karena tegakan pohon reboisasi belum cukup kuat menyangga struktur tanah.

Jadi, akankah Bukit Soeharto kembali normal? Menurut hitungan para ahli, kehidupan yang lenyap dari rimba tropis raksasa itu tidak akan pulih dalam satu abad mendatang?jika pernah pulih. "Tahura ini tidak akan bisa seperti dulu lagi," kata Mathias. Kalaupun kebakarannya bisa diredam, Tahura paling-paling bisa dikembalikan sebagai hutan buatan. Pohon-pohon induknya sudah tidak ada lagi. "Jadi tak mungkin kawasan ini menjadi hutan alam kembali."

Mathias?dan kebanyakan orang?tak percaya pada dongeng tentang peri hutan bernama Crysta seperti yang diceritakan dalam film animasi The Last Rain Forest. Setiap butir benih, menurut sang peri, diberkati dengan kekuatan magis untuk meneruskan kehidupan alam semesta. Dan hanya dengan sebiji benih itulah sang peri memulihkan kerusakan hutan akibat ketamakan manusia dalam sekejap. Dongeng belaka, memang?.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus