Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Sarwono Kusumaatmadja:

21 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika kebakaran hutan menghebat, banyak pejabat mengambinghitamkan El Nino dan penduduk setempat sebagai penyebabnya. Namun, Menteri Negara Lingkungan Hidup saat itu, Ir. Sarwono Kusumaatmadja, tanpa tedeng aling-aling menunjuk hidung beberapa pengusaha besar yang dianggap terlibat. Untuk menyibak asap tebal di balik "bencana nasional" itu, Karaniya Dharmasaputra dari TEMPO mewawancarai mantan menteri yang vokal itu. Berikut petikannya:
Anda pernah menemukan kontrak pembakaran hutan?

Iya. Dan permainannya itu kejam. Pertama kali, orang yang disuruh membakar itu dibayar Rp 500 ribu. Pembakaran kedua 300 ribu, yang ketiga 100 ribu. Padahal, itu kan bikin sakit karena kena asap. Jadi, makin dia sakit, makin dibayar rendah.

Ada berapa kasus?

Banyak. Datanya bisa dilihat di Bapedal. Waktu itu, kami sempat mengadakan inspeksi mendadak ke lapangan bersama aparat dari Mabes Polri dan Polda setempat, dengan pesawat kepresidenan. Banyak yang tertangkap basah. Berkasnya sudah kami serahkan ke polisi untuk pengusutan lebih lanjut, termasuk surat kontrak, orang yang membakar, dan perusahaannya. Tapi kemudian tidak ada tindak lanjutnya. Semasa saya, cuma ada dua kasus yang diajukan ke pengadilan. Yang satu, pengusahanya dibebaskan. Sedangkan yang digugat Walhi diterima pengadilan.

Benarkah investigasi Bapedal itu kemudian disetop?

Siapa yang menyetop? Investigasi itu tugasnya Polri. Kami cuma membantu mengumpulkan data. Sesudah itu kami serahkan ke polisi.

Apa penyebab utama kebakaran hutan itu?

Tidak adanya kemauan, dan kelengahan. Ditambah adanya target investasi yang demikian ambisius di sektor kelapa sawit. Nah, ketidakwaspadaan dan ambisi ini terjadi tepat pada musim kering panjang. Sementara itu, baik pemerintah maupun swasta tidak terbiasa memperhitungkan informasi cuaca. Padahal, sejak Desember 1996, kami sudah memberi tahu akan ada kemarau panjang. Dari awal tahun, kami terus mengadakan briefing dengan data-data lengkap. Namun waktu itu (kami) dianggap mengada-ada.

Bagaimana kebijakan pemerintah dalam pembukaan lahan?

Sebenarnya instruksi dan juklaknya sudah jelas. Jangan menggunakan teknik pembakaran dalam membuka lahan. Tapi ada pejabat eselon satu di departemen terkait yang justru menghasut dan mendorong mereka untuk terus melakukan pembakaran. Waktu kita mengadakan briefing, ia diam-diam saja. Eh, setelah selesai, dia berbisik-bisik ke pengusaha-pengusaha itu, "Sudah, terusin saja." Sekarang, dia sudah dipecat.

Juga karena ada celah dalam pemberian izin pembukaan lahan?

Memang, ternyata ada kelemahan dalam peraturan Departemen Kehutanan. Yaitu, izin untuk beberapa jenis pembakaran bisa dikeluarkan secara lokal oleh pemda setempat. Setelah terjadi kebakaran, peraturan itu lalu dicabut oleh Pak Djamaluddin (Menteri Kehutanan waktu itu). Tapi, ya, sudah terlambat.

Benarkah kebakaran hutan itu akibat ulah perusahaan?

Sekitar 85 persen dari unsur kesengajaan ini dilakukan oleh ratusan perusahaan berskala besar. Grup Astra, misalnya, ada beberapa kasus. Juga grup Bob Hasan, PT Kiani, dan Prajogo Pangestu. Yang paling hebat justru dilakukan oleh banyak konglomerat yang tidak saya kenal namanya karena mereka itu pemain baru. Kalau mau fair, insiden yang disebabkan perusahaan Bob, misalnya, tidak terlalu besar. Dia itu kan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH). Masa dia bakar HPH-nya sendiri? Pengusaha hak tanaman industri (HTI) juga begitu.

Sektor mana yang paling hebat pembakarannya?

Di perkebunan kelapa sawit. Itu yang paling ganas. Ada yang mengakali perizinan dengan cara membakar terlebih dulu lahan yang diincar. Nah, setelah terbakar, baru dia meminta izin. Para investor baru itu paling gila karena ada target investasi. Dan itu adalah program nasional yang didorong pemerintah. Sementara itu, mereka tidak mengerti akibatnya. Nah, begitu api jadi gede, ya, enggak bisa apa-apa.

Kenapa kasus ini tidak ditindaklanjuti?

Yah, saya kira karena political will-nya kurang. Permasalahan itu juga diremehkan. Tidak ada yang menyangka akibatnya begitu besar.

Kenapa Anda tidak melakukan law enforcement?

Saya tidak punya kewenangan untuk itu. Kalau ada yang sebutannya "menteri negara", itu berarti Anda merujuk ke kantor yang tidak punya kewenangan. Menteri negara apa pun.

Kasusnya kok hilang begitu saja?

Apa sih perkara yang tidak hilang begitu saja di republik ini?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus