Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Lahae Ajang Terpanggang Angkara

21 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peristiwanya terjadi tahun lalu. Lahae Ajang, seorang perempuan tua, warga Desa Matalibaq, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur, melihat api membakar ladangnya. Ia bukannya takut. Warga Suku Dayak Bahau itu malah mengajak anak dan menantunya terjun memadamkan api. Lahae menyuruh keduanya menyelamatkan pondok di ladang mereka di tepi sungai.

Saat kedua orang lelaki itu pergi sesuai dengan perintah, perempuan itu sibuk memadamkan api dengan menepuk-nepukkan daun basah. Tiba-tiba, wusss..., api telah mengepungnya. Tak ada jalan keluar. Dua hari setelah api pergi menjauh, orang menemukan tubuhnya hangus terbakar. Tergeletak lunglai, tinggal belulang rapuh kehitaman....

Begitulah. Kecerobohan dan ketamakan para pengusaha bisa membunuh. Tak hanya manusia. Pembakaran jutaan hektare hutan itu juga melenyapkan beberapa spesies flora dan fauna, merusak "paru-paru bumi", menimbulkan asap tebal yang menghentikan penerbangan dan pelayaran, menjangkitkan penyakit saluran pernapasan bagi warga Kalimantan. Juga negeri jiran, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

Di samping Lahae, entah ada berapa yang tewas karena tersedak asap tebal kebakaran. Itu sebabnya kerugian akibat kebakaran hutan Kalimantan jauh lebih besar daripada yang bisa dibayangkan?untuk beberapa hal bahkan tidak bisa dinilai dengan uang.

Upaya memadamkannya pun merupakan sebuah operasi kolosal yang mahal. Tapi tak banyak hasilnya. Pesawat pengebom air Transal pernah dikirim dari Jakarta, lengkap dengan teknologi pemadam api dan air 12.000 liter. Tapi api yang sudah merambah ribuan hektare Bukit Soeharto tak juga mati, walaupun pesawat yang berbiaya US$ 2.600 per jam itu sudah empat kali beroperasi.

Pemerintah Amerika Serikat pernah pula mengirimkan tiga pesawat Hercules. Sasarannya: api liar dan ganas di Tanjungputing, Kalimantan Tengah. Tetapi pesawat pengebom air berbadan besar ini juga tak bisa berbuat banyak.

Cara lain dilakukan lewat hujan buatan. Agar air segera turun, disemprotkanlah gas kimia campuran kalsium oksida dan kalsium hidroksida ke atas kumpulan asap. Namun gagasan Ketua BPPT B.J. Habibie itu tak menghasilkan apa-apa. Ribuan hektare hutan di Bukit Soeharto tetap terbakar. Belasan surat keputusan dan petunjuk usaha pencegahan dan penanggulangan hutan juga dibuat. Tapi hasilnya nol besar.

Banyak negara secara resmi sudah dimintai bantuan. Dari Inggris diberikan pinjaman lunak guna mengembangkan telekomunikasi radio terpadu untuk mendeteksi api secara dini. Y. Martin Hardiono, salah seorang perancang Geograpichal Information System (GIS) di Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bappedal), melakukan pemantauan melalui foto satelit untuk menemukan titik api. Sistem itu bekerja dengan satelit bernama NOAA, yang akan melaporkan adanya sebaran titik panas di atas 50 derajat Celsius ke stasiun yang berada di Pekayon, Jakarta Barat. Satelit ini memantau satu posisi yang sama sebanyak delapan kali.

Australia mengirimkan tim ahli penilai api dan pesawat pengebom air. Dari Malaysia sempat juga didatangkan tim pemadam kebakaran, bernama Bomba?yang sempat menimbulkan kontroversi. Tapi api tetap tak mau mati. Sedangkan tim Kanada juga datang dengan para penilai api yang tangguh. Tim ini menyimpulkan wilayah Kalimantan Timur adalah wilayah yang paling rentan kebakaran.

Tim Kanada punya saran agar Indonesia kembali kepada cara tradisional. Caranya? Mengerahkan rakyat setempat. Sejumlah massa dikerahkan ke garis depan untuk memadamkan api. Mereka bahu-membahu mengusir api. Berbagai cara sederhana dilakukan untuk menghambat meluasnya jalan api. Ribuan masyarakat dengan cangkul, sekop, dan parang membuat lubang parit yang diisi air di sekeliling wilayah kebakaran. Tapi si jago merah sudah di mana-mana. Parit tak efektif menghadangnya.

Selalu lebih efektif dan murah mencegah ketimbang memadamkan. Namun, tak banyak yang menyadari dalil sederhana ini, terutama ketika gemerincing keuntungan dan ketamakan begitu menyala-nyala.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus