Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah karyawan borongan PT ITCI, untuk menyiapkan lahan hutan tanaman industri (HTI) milik PT IHM (ITCI Hutani Manunggal), mengaku disuruh membakar. Gunanya, agar memudahkan pekerjaan penebangan landclearing dan mempermurah biaya yang dikeluarkan. Karena, jika dibakar, tak ada pekerjaan penebangan kayu kecil, yang tentu saja sudah hangus terbakar. Informasi ini diperkuat oleh penuturan masyarakat Desa Lebakcilong yang menjadi karyawan perusahaan itu.
Noritius, kita samarkan begitu saja, penduduk Tanjungjan, Kabupaten Kutai, yang juga pernah bekerja di PT Gelora Mahapala, mengatakan kepada tim investigasi LSM Lories dan WWF, pernah melihat temannya, akhir Januari 1998, disuruh seorang mandor untuk membakar jalur "burning". Jika ada orang bertanya, jawabnya serempak: tidak tahu. Tak lama kemudian memang ada asisten kehutanan yang datang. Ketika ditanya dari mana asal api, para pekerja itu bilang tidak tahu. Sekali bekerja, mereka mampu membakar 3-4 jalur dengan upah sehari Rp 6.000. Alat yang biasa dipakai membakar adalah korek api, ditambah solar yang ditaruh dalam botol minyak Bimoli 2 liter. Ini dilakukan secara bertahap sejak Desember 1997.
Lain lagi pengakuan warga Desa Muarakedang, Kutai, yang justru dijanjikan upah PT London Sumatra (Lonsum) untuk membakar lahan penduduk. Seorang penduduk bernama Kustan dari Muarakedang mengatakan kepada harian Suara Kaltim, mereka dijanjikan uang upah borongan Rp 11 juta, tetapi baru dibayar uang mukanya Rp 1 juta. Pembakaran itu dilakukan malam hari. Tentu, agar tak tercium orang. Menurut Kustan, mereka diperintahkan membakar lahan penduduk sebanyak 14 jalur. Tiap jalur itu jaraknya 50 meter. Lantaran janji uang rokok tak kunjung dipenuhi, Kustan berhenti membakar. Operasi diteruskan orang lain. Hasilnya: ada 40 jalur yang dibakar selama 4 malam. Anehnya, meski sukses membakar ladang, mereka bukannya diberi status sebagai petani plasma tapi harus mau membayar Rp 13 juta kepada PT Gelora.
Tetapi Hasbullah dari bagian Humas PT Lonsum membantah hal ini. Menurut dia, penduduklah yang membakar lahannya sendiri supaya memperoleh ganti rugi. Sedangkan urusan ganti rugi, baginya, sudah diselesaikan dengan penduduk, sebagaimana pengakuannya kepada harian Suara Kaltim, Maret 1997. Ketika hal ini dikonfirmasi oleh TEMPO, Adi Purnomo, staf administrasi humas PT ITCI?yang juga dituding sebagai biang pembakar hutan?membantahnya. "Pada prinsipnya kami tidak pernah membakar lahan dan hutan. Tidak ada instruksi untuk itu," katanya.
Yang jelas, pembakaran itu mengakibatkan masyarakat kehilangan sumber penghasilan. Sebab, rotan, kayu gemor, karet, dan buah-buahan, yang kerap mereka andalkan untuk mengais rezeki, luluh-lantak. Pendek kata, sebagian besar kebun masyarakat habis terbakar. Betapa ironisnya jika semua hasil kebun masyarakat itu lenyap begitu saja. Tanpa bekas. "Mungkin ini akan menimbulkan rawan pangan yang lebih hebat dan lebih lama," tulis rekomendasi Lories dan WWF. Sebab, untuk memulihkannya butuh waktu setidaknya lima tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo