Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Peluang Judi di Dasar Bahari

Perburuan kekayaan di bawah laut adalah perjudian melawan ketidakpastian dengan taruhan harta, penjara, bahkan nyawa. Toh, para pemburu tak jera karenanya.

20 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gimin Bachtiar tak hafal benar sejak kapan ia mulai melaut. Tapi lelaki 70 tahun itu mengingat dengan baik hidupnya yang dihabiskan bertahun-tahun dari perairan ke perairan. Ia melanglang dari Riau, Ujungkulon, Ternate, pesisir Pantai Utara dan Selatan, Selat Gelasa, hingga Bangka dan Belitung. Kulitnya legam dan rambutnya memerah oleh hawa asin dan udara terik di atas laut. Namun, kebiasaan menyelam dan berlayar membuat pensiunan mantri polisi itu tidak renta di usia senja. Apa yang dicari Gimin di sekian perairan? Sama seperti yang diburu Michael Hatcher, Tommy Soeharto, Budi Prakosa, Herman Spiro, atau Andy Asmara: harta terpendam di dasar samudra.

Nama Gimin mungkin asing bagi kalangan awam, tapi tidak bagi pemburu kekayaan. Gimin Bachtiar mahir mengendus lokasi yang membuat jantung pemburu harta berdebar kencang. Ia bekerja sama dengan Hatcher dari masa The Nanking Cargo (1986) hingga ”The Tek Sing Cargo” (1999/2000). Bedanya, Hatcher sukses menggotong emas, gading, keramik, serta porselen bernilai miliaran rupiah. Gimin, alih-alih mendapat sepeser dolar (dalam sebuah perjanjian pada April 1985, selaku Ketua Pelaksana Harian Proyek Ekspedisi Salvage—mitra kerja Hatcher—ia berhak atas 20 persen The Nanking Cargo), ia malah dibekap polisi (Polres Kepulauan Riau Timur) dengan tuduhan mencuri.

Ia sempat masuk tahanan. Dan sebelum dilepas, ia diwajibkan lapor seminggu sekali. Hartanya di Jakarta dan Batam ludes untuk urusan harta karun. Toh, Gimin tidak jera. Kendati sudah babak belur pada 1986, lelaki asal Riau ini kembali menerima tawaran kerja sama Hatcher untuk mencari harta di kapal Tek Sing. Hasilnya? Ia terpuruk lebih dalam. Menurut Gimin, ia bukan saja—lagi-lagi—dikibuli Hatcher, tapi juga anak kandungnya, Anton Bachtiar, dan rekannya, Suwanda. Rumah Gimin yang bersahaja di Jalan Mindi, Tanjungpriok, Jakarta Utara, membuat orang sulit membayangkan bahwa Gimin pernah nyaris jadi hartawan besar.

Pengalaman Gimin—dalam kadar berlainan—menimpa setiap pencari harta karun. Bau ”perjudian” mewarnai bisnis ini. Ada mujur yang tak mudah diraih, malang yang tak dapat ditolak, semacam falsafah fatalistik yang cocok bagi pemburu harta bawah laut. Coba saja. Ketika informasi dikantongi, entah berupa info sekilas dari nelayan di Pantai Utara Jawa, buku sejarah, catatan pelayaran kuno di perpustakaan bergengsi di Eropa, tak pernah ada yang bisa memastikan dengan telak bangkai kapal itu ada di titik lokasi anu. Pergaulan erat dengan dunia bahari juga tak pernah bisa jadi jaminan.

Alhasil, usaha dan modal ratusan juta bisa amblas gara-gara pepesan kosong. Sudwikatmono dan Salim bisa jadi contoh baik ketika mereka mendapat izin menyisir perairan Riau hingga Sabang, pada 1992-1993. Dua pengusaha ini sudah membayangkan dolar melimpah dari kapal Flor de la Mar, yang tenggelam pada 1512. Kapal Portugis yang membawa emas dari Kerajaan Malaka itu tenggelam di perairan Riau, lengkap dengan pampasan perang. Catatan sejarah menunjukkan ada singa dan gajah emas, serta mahkota bertatahkan ratna mutu manikam dalam muatan Flor. Taksiran nilainya, US$ 8 miliar (Rp 56 triliun pada kurs Rp 7.000). Jadi, siapa tak tergiur?

Apa lacur, Sudwi dan Salim harus gigit jari karena kapal tercanggih lengkap dengan echosounder multibeam dan radar yang mengarungi laut selama berbulan-bulan tak menemukan apa pun. Tatkala biaya kian membengkak hingga US$ 3,5 juta (Rp 7,35 miliar pada kurs Rp 2.100-tahun 1993), jangankan Flor, indikasi kapal kecil lain pun tak mereka temukan. Kisah lain datang dari Budi Prakosa. Mantan suami artis Yenny Rachman ini mengangkat keramik Cina dari kapal Ontario di perairan Maluku. Proyek yang menjanjikan miliaran rupiah itu berakhir dengan sia-sia. Kedalaman laut yang cuma 8 meter telah mendorong penduduk setempat mengambil keramik yang masih baik dan menyisakan yang retak dan pecah. Padahal, Ontario memuat keramik pesanan khusus—tentu dengan desain khusus—pemerintah Amerika Serikat kepada Cina untuk ulang tahun kemerdekaannya pada 4 Juli 1776.

Kemalangan tak hanya menimpa mereka yang gagal mengangkat barang. Setelah bisa diangkat, belum tentu ada pembeli. Keramik temuan PT Wisesa, perusahaan Tommy Soeharto, misalnya, masih menunggu pembeli di sebuah gudang di Batam sejak 10 tahun lalu. Padahal, 30 ribuan keping keramik temuan Wisesa itu buatan Dinasti Tsung (960-1279)—nilai taksirannya US$ 15 juta, atau sekitar Rp 105 miliar—yang amat jarang ditemukan, bahkan di Cina sekalipun.

Gudang Polkam di Pondokcabe, Jakarta Selatan, juga masih penuh dengan harta karun yang belum jua ditaksir pembeli. Dan keramik-keramik yang ditahan patroli TNI-AL di Tanjungpriok cuma diikat dalam karung dan dionggokkan begitu saja di pojok ruangan. Bagaimana kalau jual murah saja? Belum tentu ada yang mau melelang. Andy Asmara dan Anwar Fuadi kini masih membujuk Balai Lelang Christie, yang alot untuk melego barang mereka di London.

Dan jangan salah. Betapapun indah buatannya, selama stok melimpah, harganya, ya, ibarat barang grosiran. Barang-barang dari dinasti yang lama berkuasa atau meniru dinasti sebelumnya harganya langsung jatuh. Keramik Dinasti Han (206 SM-220 M), yang 10 tahun lalu ditebus dengan US$ 30 ribu, saat ini paling tinggi harganya US$ 4000 dolar karena persediaan melimpah. Apalagi dari dinasti terakhir Cina, Ching (1644-1911).

Ahli keramik Sumarah Adhyatman mencontohkan, keramik abad ke-19 adalah barang murah karena tak punya nilai sejarah, dan kualitas glasirnya biasa-biasa saja. ”Di Indonesia, keramik Tek Sing paling mahal Rp 100 ribu per buah,” ujarnya. Ia menilai keramik Song temuan Andy Asmara dan Anwar Fuadi di Pantai Blanakan tidak berharga sama sekali. Sedangkan keramik Tommy Soeharto? ”Seharusnya mereka lepas selagi ada yang menawar,” kata Sumarah. Sebab, menumpuk barang akan membuat harganya jatuh.

Lantas, mengapa di luar negeri harganya bisa melejit begitu macam? ”Tergantung promosi balai lelang,” Sumarah menjelaskan. Itu sebabnya, penulis buku Zhangzou Ceramics itu setuju keramik dilelang di luar negeri saja agar negara bisa lebih banyak mendapat untung. Langkanya keramik di Eropa, menurut Sumarah, membuat pembeli di sana tidak menghitung nilai sejarah secara njelimet. Kemasan dan promosi ala balai lelang sekelas Christie juga membuat penggemar keramik di seberang lautan mudah saja meloloskan isi dompet.

Sebuah keramik yang di sini hanya seharga Rp 300 ribu bisa laku US$ 1.000 di Eropa. Sebuah porselen Dinasti Ming bisa laku hingga US$ 100 ribu. Keramik Dinasti Tang, yang periode kekuasaannya hanya 100 tahun, bisa berharga lebih dari US$ 400 ribu. Yang lebih dahsyat adalah Romadhon Blue. Di pasar internasional, nilainya US$ 500 ribu per biji. Romadhon adalah keramik berwarna biru-putih buatan Cina yang dipesan oleh raja-raja Timur Tengah dengan memakai bahan pewarna biru khusus yang didatangkan dari Arab.

Romantika di balik setiap keping harta kuno selalu membangkitkan semangat petualangan seorang pemburu harta. Tapi, ini saja belum cukup: perlu keberanian untuk mendada risiko dengan hasil, yang bisa saja nihil. Grup Decas, perusahaan pencari harta karun milik Herman Spiro, sudah menelisik 38 lokasi dan cuma berhasil meraup sepuluh persen, tak sebanding dengan biaya yang sudah dipertaruhkan. Michael Hatcher mengaku menghabiskan US$ 10 ribu biaya operasional per hari saat mengeduk harta Tek Sing. Andy Asmara membelanjakan Rp 100 juta sebulan ketika melaut. Dan Herman Spiro menghabiskan Rp 40 juta sekali survei. Ini belum termasuk risiko terjebak informasi palsu nelayan yang mengarang cerita untuk uang.

Selain uang, obsesi petualangan bisa membuat seorang pemburu bertaruh nyawa. Seperti diperlihatkan Mel Ficher, legenda harta karun asal California. Sejak umur 16 tahun, ia menyimpan impian menemukan Nuestra Senora de Atocha, kapal Spanyol yang tenggelam pada tahun 1622 di Pantai Florida dengan muatan penuh emas dari suku Aztec. Ia menjual seluruh hartanya untuk memburu Nuestra Senora. Istri dan anaknya, Dirk, tewas tatkala kapal survei yang mereka tumpangi tenggelam pada tahun 1975. Fischer jatuh bangkrut dan tak mampu membayar para penyelam, tapi emas Aztec itu tak kunjung datang.

Baru pada 20 Juli 1985, muatan Nuestra senilai US$ 400 juta itu bisa dikeduk setelah 16 tahun perburuan. Fischer, yang pernah berkali-kali lolos dari ganasnya laut, meninggal sebagai orang terhormat pada 1998, sembari mewariskan sebuah museum harta karun di Florida.

Toh, tak semua pemain mempunyai saraf pemburu sejati seperti pria Amerika itu—sesuatu yang terlihat pada pemburu harta karun Indonesia sekarang. Dari 24 perusahaan resmi yang terdaftar di kantor Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, tak sampai 20 persen yang masih aktif menyusuri laut Nusantara. Seperti perjudian, orang memang tak bisa seberuntung Mel Fischer atau semalang Gimin Bachtiar. Dan tak semua orang mampu bertahan di tengah dua kemungkinan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus