uis de Camoes, penyair Portugis abad ke-16, melahirkan Luciads, epiknya yang masyhur, di antara jam-jam pelesirnya mengitari Camoes Grotto, taman paling kenamaan di Makau. Di sebelahnya, tegaklah Museum Camoes—taman dan museum itu didirikan untuk mengenang sang penyair—dan tak jauh dari situ berdiri St. Paul's Facade, Monte Fort, Dom Pedro V Theatre, dan sejumlah bangunan lain, yang serta-merta akan membawa ingatan kepada persinggahan musafir Portugis di kawasan itu empat abad lampau.
Makau memang sarat oleh kenang-kenangan masa lampau. Dan sejarah telah membaptis kota semenanjung di selatan Cina daratan ini menjadi sebuah komunitas yang pekat oleh akulturasi budaya, menjadi melting pot yang melahirkan generasi campuran Eropa, Afrika, dan Asia, juga menjadi sebuah negeri kecil yang secara harfiah dihidupkan oleh jejak-jejak sejarah masa silam serta perjudian.
Ke sanalah rata-rata sembilan juta pelancong bertamasya sepanjang tahun dan menghabiskan uang. Pada 1997, misalnya, wisatawan mengalirkan HK$ 27,7 miliar ke Makau: HK$ 15,5 miliar untuk berjudi, HK$ 12,2 untuk belanja. Dr. Stanley Ho, 76 tahun, miliuner dan bos nomor satu perjudian Makau, mengaku betapa para pelancong menentukan mati-hidup bisnis di Makau "Kita sangat bergantung pada pariwisata," ujarnya dalam sebuah wawancara dengan harian Hong Kong, Financial Times, pada 1997.
Adapun Stanley sendiri, bos konglomerat yang menguasai hampir semua jaringan bisnis di Makau, seolah sudah menjadi legenda, menyatu dengan segala legenda lain di kota itu. Namun apa perlunya membicarakan legenda? Walau, nama kota ini sendiri pun lahir dari legenda A-Ma-gao—dewi pelindung kaum bahari—yang kemudian dilafalkan secara Kanton menjadi Makau? Karena di sini, jangankan legenda, sejarah sekalipun tak perlu dituturkan secara verbal. Semua bagian kota adalah mosaik yang melukiskan sejarah: kuil-kuil abad ke-15, benteng dari abad ke-17, gereja buatan arsitek abad ke-18, serta mansion dan kedai-kedai yang dibangun abad ke-19.
Toh identitas Makau—45 menit perjalanan dari Hong Kong dengan jetfoil—sebagai peninggalan sejarah, kalah pamor dibandingkan dengan citranya sebagai bandar judi. Makau adalah nama yang menantang imajinasi sekaligus harapan para penjudi dan petaruh dari belahan dunia mana pun. Ke Hotel Lisboa mereka pergi, untuk menemukan Casino Lisboa—salah satu bandar judi paling hebat yang membuat kota di tepian Laut Cina Selatan ini dijuluki "Monte Carlo dari Timur". Semua itu diurus Stanley Ho, yang haknya mengelola bisnis perjudian Makau telah disahkan pemerintah setempat hingga tahun 2001.
Shann Davies, sarjana sejarah asal Inggris yang mengarang buku Macau, suatu ketika menulis: "Jika takdir berjalan secara logis, Makau tak lebih dari sekadar catatan kaki dalam sejarah." Davies benar. Takdir tak pernah bisa ditafsirkan secara logis. Maka jadilah kota seluas 16 kilometer persegi di Kuala Chu Chiang itu sebuah nama masyhur dalam sejarah, budaya, dan bisnis pariwisata.
Makau, seperti Hong Kong, pada awalnya dikuasai kaum lanun. Para pelaut Portugis yang tiba di sana pada 1557 mengusir bajak-bajak laut lalu mendirikan benteng dan loji. Tapi baru tiga abad kemudian, pada 1887, Makau diserahkan secara resmi dari Cina ke Portugal. Perbatasan kedua negara ini ditandai dengan Portas de Cerco, gerbang perbatasan Makau-RRC, serta bendera kedua negara yang berkibar di sebelah-menyebelah gerbang.
Riwayat Makau sebagai "oase" kaum pelarian juga tercatat baik dalam sejarah. Ketika Revolusi Kebudayaan pecah di Cina pada 1966, sejumlah pendatang ilegal menerobos perbatasan, berlindung di Makau. Dan jauh sebelum itu, sekitar tahun 1927, banyak pelarian Portugis, Cina, Inggris, serta Rusia (berkulit putih) mencari selamat ke sana tatkala Jepang menduduki Cina. Di kemudian hari, Makau pula yang dipilih Romo Fernandes dan ribuan pelarian Tim-Tim, setelah Revolusi Bunga pecah di Portugal pada 1974—disusul perang saudara—dan invasi Indonesia ke Tim-Tim pada 1975.
Pada Juni 1986, RRC dan Portugal mulai berunding tentang nasib Makau. Lalu pada 13 April 1987, sebuah kata sepakat lahir di meja-meja perundingan di Beijing, yakni Makau akan menjadi wilayah administrasi khusus RRC pada 20 Desember 1999—sebuah keputusan yang implikasinya masih mengundang banyak tanda tanya di masa depan—juga bagi para pelarian politik. Karena, Desember 1999 tampaknya membelokkan pula salah satu takdir kota tua ini: Makau tak lagi akan menjadi jalan ke perbatasan—yang menjanjikan—tempat orang bisa meninggalkan masa lalu dan menemukan tanah baru untuk berdiam dengan tenang. Seperti yang dilakukan oleh Romo Fernandes dan Tilman Fatubessi. Atau, siapa pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini