Seenak-enaknya hujan emas di negeri orang, lebih enak hujan batu di negeri sendiri. Begitu kata pepatah. Memang, pemerintah Makau menyediakan fasilitas yang lumayan: pendidikan, kesempatan kerja. Namun banyak kaum muda yang kini terdampar di Makau yang sehari-harinya menganggur.
Pemuda-pemudi tanggung ini hanya fasih berbahasa daerah Tim-Tim, yakni bahasa Tetum, dan bahasa Indonesia. Mereka tak paham bahasa sehari-hari di peninsula Cina Selatan itu, yakni bahasa Kanton. Walau bahasa resmi pemerintah adalah bahasa Portugis, kebanyakan pemuda Tim-Tim mengenyam pendidikan dalam bahasa Indonesia.
"Selama dua tahun di sini, saya tak berbuat apa-apa," kata J.L. Sarmento, 24 tahun, dengan nada sedikit menyesal. Kuliahnya di Universitas Udayana terputus karena dia harus mengungsi ke Makau.
Tapi, katakanlah ia selesai kuliah, Sarmento mungkin akan tetap sulit menggunakan ijazahnya di Makau. Pemerintah Makau, seperti pemerintah Portugal, tidak mengakui ijazah universitas di Indonesia. Sarmento hanya sempat mengambil kursus bahasa Inggris di sebuah akademi lokal, Canadian College of Macao. Jadi, apa yang dilakukannya sehari-hari? "Ya, begitu," gumam Sarmento sambil mengangkat bahu.
Di Sinistrados, para keluarga mendapat kamar 4X 8 meter. Bagi yang masih bujangan (dan datang sendirian), mereka biasanya harus berbagi dengan orang lain. Pengangguran, rasa bosan, dan tak adanya kepastian akan masa depan bisa membuat frustrasi pemuda di Sinistrados ini. Tak mengherankan bila sesekali ada perkelahian di antara mereka. Bila demikian, Romo Fernandes harus segera datang untuk melerai, kata Tilman sambil menggelengkan kepala.
"Kita harus mengerti. Banyak dari mereka yang lari dari daerah perang. Darah mereka masih panas," kata Rosa Kong, istri Nunu Saramento. Saramento, yang dituakan di komunitas penampungan ini, terkadang juga turut membantu menasihati mereka yang membuat onar. "Mereka juga jauh dari orang tua dan teman," kata Kong menambahkan.
Namun tak semua jalan itu buntu di Makau.
"Malibere" adalah nama panggilan eksekutif muda ini. Ia bekerja di perusahaan negara Macao Telecoms. Jabatannya: eksekutif. Telepon genggam, yang menjadi aksesori para yuppie di Makau, terpasang di pinggangnya.
Siapa yang menyangka bahwa Malibere, 35 tahun, dulu adalah bekas pengungsi juga? Ia pernah tinggal di Centro de Sinistrados selama setengah tahun sebelum akhirnya memiliki pekerjaan, dan ia pun diminta untuk menyewa tempat sendiri.
Seperti kebanyakan pemuda Tim-Tim lainnya, Malibere pun terlibat dalam gerakan bawah tanah di tanah kelahirannya. Pada 1993, ia menyelusup keluar dari Indonesia setelah kawan-kawannya di gerakan bawah tanah satu per satu ditangkap. Di Makau, pemuda yang luwes bergaul ini mulai mengasah bahasa Kantonnya, yang mirip dengan dialek Hakka yang sering dipakai dalam lingkungan keluarganya. (Malibere adalah campuran Timor, Portugis, dan Cina Hakka). Ia pun mulai bertanya kiri-kanan bila ada lowongan pekerjaan bagi dirinya.
Malibere memulai dengan bekerja sebagai penjaga keamanan, dan mulai dipromosikan sebagai supervisor. Tak puas dengan karir yang dimiliki, Malibere mengambil kelas diploma dan kemudian master di bidang manajemen.
"Kita harus memaksa diri kita sendiri," kata Malibere. Enam bulan setelah pekerjaan pertamanya, dia harus keluar dari tempat penampungan. Memang, ada peraturan, mereka yang berpenghasilan lebih dari 6.000 pataca (Rp 5,6 juta) tak bisa lagi tinggal di sana.
Kota Makau menjadi tempat studi favorit bagi beberapa keluarga tokoh masyarakat Tim-Tim. Dua anak Manuel Carrascalao, yang adalah Presiden Gerakan Rekonsiliasi dan Persatuan Rakyat Timor Timur, kini kuliah di Universitas Makau. Saudara ipar Jose Ramos Horta, Jose Guterres, juga mahasiswa di universitas ini. Ia sedang menggeluti ilmu hukum.
Anna Carrascalao, putri Manuel, berkata bahwa kebanyakan anak muda yang lahir setelah 1974 dibesarkan dalam pemerintahan Indonesia. Mereka juga fasih berbahasa Indonesia. "Tapi, anehnya, justru mereka yang paling keras meminta kemerdekaan dari Indonesia," kata Anna, 20 tahun. "Sekarang adalah tugas kami untuk belajar demi masa depan."
Memang generasi muda inilah yang banyak diharapkan dari pejuang Tim-Tim yang lebih senior. "Masa depan kami ada di tangan para yuppie Timor Timur," kata Manuel Tilman, tokoh masyarakat Tim-Tim di sana.
Sama dengan Sarmento, Malibere pun merasa tak pasti dengan masa depannya. Ia cukup mapan di Makau, tapi kenikmatan hidupnya di sini masih tak bisa mengobati kerinduannya. Dan, dia berjanji, "Jika kami mendapat kemerdekaan, saya akan kembali ke Dili."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini