BOBOT badan Syafruddin Temenggung tampak melorot. Sang Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional memang lagi pusing tujuh keliling. Menjelang lembaganya tutup kantor, setidaknya masih ada 12 orang pengutang yang kewajibannya luar biasa sulit ditagih. Kaharudin Ongko adalah salah satunya.
Mantan Wakil Komisaris Utama Bank Umum Nasional ini tercatat sebagai salah satu debitor BPPN yang terkenal liat. Punya total utang senilai Rp 8,34 triliun, ia baru menyetor tunai ke kas negara Rp 8,6 miliar alias 0,1 persennya. Ongko pun baru pekan lalu menyerahkan 20 perusahaan yang dijaminkannya. Itupun masih belum sempurna.
Jika masih mangkir juga? "Bisa diambil tindakan hukum oleh kejaksaan dan polisi," kata Syaf. Berikut ini petikan wawancara dengan sang Ketua BPPN, yang dilakukan dalam dua kali kesempatan.
Apa yang bakal dilakukan BPPN untuk menagih utang Ongko yang baru dibayar secuil itu?
Awal pekan kemarin, saya sudah memanggil Ongko ke BPPN. Kami sudah bertemu dengan pihak Ongko. Saat itu saya sampaikan ia harus menyerahkan sisa asetnya paling lambat awal April ini. Mereka sudah setuju. Jadi, ya, kita tunggu saja dulu.
Apa saja aset yang harus diserahkan Ongko?
Sesuai dengan master of refinancing notes issuance agreement (MRNIA), dia harus menyerahkan sahamnya di 20 perusahaan yang dijanjikan dan aset propertinya. Itu baru mereka serahkan pekan lalu. Sebelumnya, Ongko baru menyerahkan enam perusahaan. Sampai kini, penjualan saham PT Indo American Ceramic sebesar US$ 5,875 juta (untuk persyaratan setoran tunai) masih berada di rekening penampungan PT Ongko Multicorpora di Bank Danamon, dan belum ditransfer ke BPPN. Segitiga Atrium kan juga baru kemarin diserahkan.
Bagaimana mau diserahkan? Kami memiliki dokumen yang menunjukkan Segitiga Atrium telah dijual ke Boliden, yang diduga merupakan kendaraan keluarga Ongko juga.
Ya, bagus jika TEMPO mendapatkan dokumen tersebut. Itu kan bisa membantu tugas kami. Sejauh ini, BPPN sudah berupaya mengejar para pemilik perusahaan yang punya utang lewat MRNIA itu.
Anda yakin Ongko bakal menyerahkan aset setelah pengadilan membebaskannya dalam kasus BUN?
Suka tak suka, begitulah keputusan pengadilan. Begitulah celah hukum dimanfaatkan. Memang, menangnya Ongko di pengadilan itu makin menyulitkan upaya BPPN untuk menagih utangnya. Sebagian debitor makin yakin pemerintah bisa dikalahkan di pengadilan. Akibatnya, jadi ada yang tak mau melunasi kewajibannya.
Bukankah faktanya Ongko sendiri yang memerintahkan pencairan dana di BUN ke perusahaan terafiliasi dan rekening pribadi dia dan keluarganya?
Menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas, yang bertanggung jawab memang manajemen, Leonard Tanubrata, sebagai direktur utama. Ongko sebagai komisaris kan tak bisa dituntut secara hukum. Tapi, secara de facto, hubungan antara Ongko dan Leonard jelas ada, dong. Hubungan itu ibarat diri kita dengan bayang-bayangnya. Ke mana saja kita pergi, bayang-bayang kan mengikuti. Justru dengan MRNIA itu, yang dikejar oleh BPPN adalah bagaimana "menangkap" Ongko, si bayang-bayang itu.
Apa tindakan BPPN bila Ongko tak juga tuntas menyerahkan aset dan memilih kabur, misalnya?
Saya sudah bilang kepada Ongko, bila sampai April ini dia tidak juga tuntas menyerahkan aset dan saham perusahaan seperti yang dijanjikannya dalam MRNIA, BPPN bakal membawa kasus ini ke Komite Kebijakan Sektor Keuangan. Artinya, setelah itu, bisa diambil tindakan hukum oleh kejaksaan dan polisi. Tidak ada ampun bagi debitor bandel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini