Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laki-laki kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 1966 ini bolak-balik ke dua negara itu karena bisnisnya berada di Indonesia dan Malaysia. Menara Group, perusahaan induk yang menangani pelbagai macam bisnis, berkantor di Graha Niaga di Jalan Sudirman, Jakarta.
Ia berbesan dengan Menteri Dalam Negeri Malaysia Ahmad Zahid Hamidi, yang kemudian menjadi Deputi Perdana Menteri Najib Razak. Chairul juga siap berbesan dengan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Ia mengirimkan foto-foto ketika anak perempuannya bertunangan dengan anak bungsu Tjahjo. “Saya 32 tahun tinggal di Indonesia, masih Merah Putih,” katanya.
Beberapa foto juga menunjukkan kedekatannya dengan para petinggi Indonesia dan Malaysia, juga pengusaha Arab Saudi. Seperti diakuinya, Menara berpartner dengan Pacific Inter-Link, perusahaan yang berbasis di Timur Tengah, dalam mengelola 280 ribu hektare hutan Boven Digoel untuk kebun kelapa sawit. Belakangan, kerja sama itu kisruh karena Gubernur Papua dan Bupati Boven Digoel mencabut izin usahanya lantaran Chairul tak kunjung menanam sawit setelah hutannya ditebang.
Sumber-sumber di Menara Group mengatakan perusahaan ini tak punya pengalaman membangun kebun sawit. Chairul mengibaratkan perusahaannya seperti adaptor yang menghubungkan kepentingan bisnis antarperusahaan. Mereka yang terlibat dalam pengurusan izin Menara juga mengungkap bahwa sejak awal Chairul hanya mengincar izin untuk dijual kembali kepada perusahaan lain yang tergiur kayu Papua.
Chairul mengakui menggandeng perusahaan lain untuk mendapat pendanaan. Sebab, kata dia, membangun kebun sawit butuh modal banyak. “Enggak akan kuat tanpa politik dan pitih,” ucapnya, menyebut “uang” dalam bahasa Minang.
Untuk memperjelas duduk soal tuduhan-tuduhan itu, Tempo mewawancarai Chairul dalam empat kali telepon video. Bolak-balik Chairul menekankan bahwa ia pengusaha yang berniat baik menanam investasi di Papua. “Tolong, masak rendangnya yang bagus,” kata pengusaha bergelar Dato Seri Pa-hang itu pada Jumat pekan lalu.
Mengapa Bupati Boven Digoel dan Gubernur Papua mencabut izin usaha perkebunan Menara?
Sebetulnya bupati dan gubernur tidak berhak mencabut izin karena lahan itu berstatus hutan produksi konversi. Pejabat yang berhak itu Menteri Kehutanan. Tapi jika Menteri mencabut pun akan timbul polemik hukum, karena kami mendapatkan izin sesuai dengan aturan.
Bukankah kepala daerah punya hak mencabut izin usaha perkebunan?
Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bisa berinisiatif melalui aturan tata ruang atau inisiatif swasta membangun kebun. Tapi dua-duanya harus disetujui pemerintah pusat. Kalau tanah untuk area penggunaan lain diusulkan pemerintah daerah, mereka punya hak. Di Boven Digoel itu inisiatif swasta.
Inisiatif siapa?
Sebelum saya ambil alih, lahan itu dipegang Benny Soebrata, Grup Genting, dan China Petrochemical Corporation. Mereka kesulitan mengurus lahan karena overlapping status tanah. Di atas lahan juga ada izin hak pengusahaan hutan dan hutan tanaman industri.
Problem itu selesai setelah Menara masuk?
Kalau enggak kuat dukungan politik dan pitih (uang), enggak akan selesai. Kami mengeluarkan banyak uang untuk masyarakat setempat, bupati, gubernur, hingga menteri. Semuanya kami bayar sesuai dengan aturan. Membangun sawit itu tidak mudah. Untuk membuka 1 hektare saja butuh Rp 75 juta.
Ada transfer uang Rp 123 juta dan US$ 30 ribu ke Kementerian Kehutanan selama Anda mengurus izin pelepasan kawasan hutan. Uang apa itu?
Saya tidak pernah mengetahui aliran uang itu.
Anda membayar pejabat Kementerian Kehutanan?
Tidak ada suap-menyuap. Kami bayar yang resmi-resmi saja.
Di Boven Digoel juga ada pembagian uang Rp 1,4 miliar. Itu uang apa?
Uang tali asih. Kebun kami belum beroperasi sepenuhnya. Sebelum kebun jadi, bagaimana mereka hidup jika tak diberi bantuan? Kami membangun sekolah, membuat sumber air bersih, semacam corporate social responsibility. Jika kebun sudah terbuka, masyarakat juga bisa hidup dengan kebun plasma.
Bupati Boven Digoel mengatakan Anda ingkar janji membangun infrastruktur....
Kami bukan tukang cetak duit. Kami ini investor. Mana mungkin kami tidak menjaga kepentingan semua orang? Biaya operasional kantor Menara di Jakarta saja Rp 3 miliar sebulan. Coba kalikan delapan tahun sejak kami mengakuisisi lahan di Boven. Ratusan miliar rupiah sudah keluar, tapi kami belum menghasilkan apa pun. Sabarlah sedikit. Nanti, kalau saya turun, semua itu beres.
Mengapa belum menanam?
Kami sudah membangun 3.000-5.000 hektare, pelabuhan, perumahan karyawan. Biayanya tidak sedikit. Kami kesulitan membuang pohon. Di lahan yang sudah dibuka, kami membiarkan tebangan teronggok. Tapi ini menimbulkan hama, seperti landak atau ular. Kalau hama berkembang, habis kebun kita nanti. Mau jual kayu ke pabrik kertas, ongkosnya mahal. Kami sedang berusaha membangun pabrik plywood di sana. Izinnya sedang kami urus.
Apakah itu tujuan Anda meminta izin pelepasan kawasan hutan?
Kami membangun industri itu karena terpaksa. Usaha yang hendak kami rintis adalah perkebunan. Opsi terbaik adalah mengekspor kayu. Tapi itu tidak mungkin karena terlarang. Kami berharap regulasi berubah. Negara bisa mendapat pajak dari ekspor itu.
Chairul Anhar (kanan) bersama Mahathir Mohamad dan Tanri Abeng di Jakarta, 29 Juni 2018. -istimewa
Ada dokumen Menara menjual perusahaan ke Tadmax dan Pacific Inter-Link....
Tidak pernah dijual. Tanah belum ada sertifikat mana bisa dijual? Itu corporate exercise saja. Kami sedang mencari partner bisnis yang bisa membantu pembiayaan ladang ini. Tidak ada bank dalam negeri yang bersedia menyediakan dana besar untuk membangun lahan Menara. Kami menggandeng perusahaan yang listed di bursa. Tadmax dan Pacific kami gandeng, tapi gagal karena tidak ada alas hak yang memungkinkan uang mereka bisa landing. Hak guna usaha lahan ini belum keluar.
Tapi ada transaksi US$ 80 juta dengan Tadmax....
Itu pencatatan dari perusahaan satu ke perusahaan lain dalam rangka buku saja. Aset itu kan ada yang berbentuk uang, ada yang berupa saham. Sama halnya dengan tanah. Kalau dihitung, nilainya sekian. Ketika masuk ke listed company, akan mendatangkan uang. Penjualan itu tidak masuk akal. Tapi, kalau mau dilihat dari kacamata negatif, persepsinya memang bisa bermacam-macam.
Tadmax sudah mengumumkan nilai kayu lahan Boven Digoel....
Itu hitung-hitungan di atas angin. Nilai pastinya masih dikaji. Lahan yang kini dikuasai Menara dulu pernah ditebang pemilik sebelumnya. Jadi sebagian pohon masih muda.
Beberapa nama pemegang saham Menara yang kami telusuri fiktif. Kenapa?
Menara ini konsorsium, pemegang sahamnya banyak. Enggak semua punya duit. Tanah di Boven Digoel milik banyak pemegang saham. Menara Group yang berinvestasi di situ. Saya tidak bisa buka siapa saja anggotanya karena ini perusahaan privat, belum masuk bursa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo