Andai saja Ali Moertopo masih hidup, apa yang dipikirkannya tentang Timor Timur sekarang? Hampir seperempat abad kemudian, campur tangan Indonesia di separuh pulau itu menghasilkan hal-hal yang begitu jelas: penderitaan rakyat Tim-Tim yang berkepanjangan, kematian banyak prajurit Indonesia tak dikenal, citra internasional yang retak (jika bukan buruk), iri hati provinsi lain melihat perhatian besar terhadap Tim-Tim, dan semangat anti-Indonesia yang tak pernah padam.
Bagi Indonesia, makin jelas bahwa Tim-Tim adalah Vietnamnya Amerika Serikat dan Afghanistannya Uni Soviet.
Meski perundingan Indonesia-Portugal (yang ditengahi Perserikatan Bangsa-Bangsa), seperti dikatakan Menlu Ali Alatas awal Desember lalu, "mencapai sejumlah kemajuan", soal Tim-Tim ternyata jauh dari usai.
Hanya dua pekan setelah pernyataan Alatas itu, 20 Desember, demonstrasi besar melanda Dili. Demonstran menuntut referendum dan pembebasan Xanana Gusmao. Mereka hampir menyandera Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Timor Timur, Jamsheed Marker, yang tengah berkunjung. Demo yang lebih besar lagi terjadi empat hari kemudian. Sekitar 2.000 massa memprotes apa yang mereka sebut sebagai "aksi kekerasan ABRI" di Tim-Tim.
Para aparat keamanan dan prajurit ABRI tak hanya harus menghadapi para demonstran. Setelah kehilangan dua prajurit Oktober lalu, pertengahan November lalu tiga prajurit tewas ketika gerilyawan Fretilin menyerbu sebuah kantor koramil. Para penyerang juga menyandera 13 prajurit lain?sembilan di antaranya berhasil lolos.
Meski menyatakan "akan menahan diri terhadap provokasi kelompok GPK Fretilin", upaya pihak militer Indonesia untuk menemukan pelaku serangan atas koramil itu telah memicu lingkaran kekerasan lain. Juga demonstrasi dan kecaman internasional.
Di Australia, pemerintah federal membentuk sebuah komite resmi pencari fakta di Tim-Tim. Komite itu bahkan memasang iklan di media massa untuk meminta pendapat masyarakat. Dalam beberapa pekan terakhir, kasus terbunuhnya lima wartawan Australia di Tim-Tim oleh pasukan Indonesia pada 1970-an kembali banyak dibicarakan pula.
Pernyataan Duta Besar Kanada untuk Indonesia, Kenneth Songuist, yang berkunjung ke sana Desember lalu, tidak pula membantu Indonesia. "Telah terjadi peningkatan pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil selama dua bulan terakhir," katanya.
Songuist sempat berbicara via telepon dengan Taur Matan Ruak, pemimpin Forcas Armadas Libertacao Nacional da Timor Leste (Falintil) yang bersembunyi di hutan. Ruak bersumpah untuk tetap memperjuangkan kemerdekaan Timor Leste, baik dengan senjata maupun upaya diplomatik.
Dan di Portugal sendiri, sejumlah pengacara menuntut ekstradisi dan pengadilan atas mantan presiden Soeharto di negeri itu, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di Timor Timur.
Tim-Tim terbukti bukan kasus sederhana. Bukan wilayah yang bisa ditundukkan pasukan Indonesia dengan "cepat dan efisien"?meminjam kata-kata Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger. Adalah Amerika dan Australia yang pada 1975 memberi restu samar-samar bagi serangan militer Indonesia ke pulau itu.
Ada sejumlah alasan yang sering diungkapkan pemerintah Orde Baru untuk membenarkan tindakannya di Tim-Tim. Alasan pertama adalah menegakkan ketertiban. Pada 1974 Portugal dilanda kudeta militer dan pemerintahan yang baru menawarkan rencana dekolonisasi. Warga Tim-Tim terbelah, dan marak perang saudara pada 1975, antara mereka yang menginginkan kemerdekaan dan mereka yang ingin berintegrasi ke Indonesia.
Alasan kedua: bahaya komunisme. Kelompok yang menginginkan kemerdekaan dimotori oleh Fretilin, yang memang berhaluan sosialis. Kala itu Perang Dingin Timur-Barat sedang dalam puncak-puncaknya. Tak mengherankan jika AS, yang baru saja dipaksa hengkang dari Vietnam, tidak keberatan dengan langkah Indonesia itu.
Alasan ketiga: membuat utuh Indonesia. Ini merupakan gagasan Pan-Indonesia yang muncul sejak kemerdekaan, diajukan oleh Mohammad Yamin, yang mendefinisikan Indonesia sebagai kawasan bekas Kerajaan Majapahit, meliputi Tim-Tim, Serawak, dan Irianjaya. Gagasan itu menang dalam sebuah pemungutan suara (Bung Karno merestui, sementara Hatta dan Sutan Sjahrir menolaknya).
Alasan lain mungkin hanya Ali Moertopo dan petinggi militer kala itu yang tahu. Sejak sebelum perang saudara, pada akhir 1974, Moertopo menyusun Operasi Komodo, yang bertujuan menginfiltrasi dan membuat propaganda pro-Indonesia di Tim-Tim.
Ketika perang saudara meletus, semangat untuk intervensi memuncak. Sebuah pertemuan kabinet bidang politik dan keamanan pada Agustus 1975 (dihadiri oleh Menhankam Panggabean, Wakil Pangab Surono, dan Kepala Bakin Benny Moerdani) mendesak Soeharto agar mengirim pasukan ke Dili. Namun, serangan terbuka baru terjadi pada Desember.
Dan selebihnya adalah sejarah. Tim-Tim membunuh banyak prajurit Indonesia seraya berjasa menaikkan pangkat para perwiranya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini