Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Majalah ini ingin mengajukan sebuah motif yang lain: Soeharto dan jaringan kolusi serta nepotismenya perlu segera dinyatakan sebagai tersangka dan diadili atas alasan praktis saja, yakni agar kebocoran uang negara dapat segera ditutup dan dana dapat dihemat.
Kebocoran itu diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah setahun, suatu jumlah yang dapat dipakai untuk membantu menyehatkan ekonomi bangsa yang sedang sakit berat.
Lengsernya Soeharto ternyata tidak serta merta membuat kebocoran dana terhenti. Bahkan arus uang haram ini boleh dikata tak dapat dibendung. Maklum, kebanyakan kontrak pemerintah yang dasarnya adalah kolusi dan "kepentingan keluarga" juga melibatkan perusahaan multinasional dan didasarkan pada hukum yang berlaku secara global.
Ambil saja contoh patgulipat di Pertamina yang melibatkan 159 perusahaan para kroni. Badan usaha milik pemerintah yang mengurusi soal minyak ini memperkirakan dapat menghemat 34 triliun rupiah setahun, atau hampir seratus miliar rupiah sehari, jika diperbolehkan mengambil alih semua pekerjaan perusahaan kroni itu.
Tapi mengapa Pertamina tidak melakukannya segera? Tentu bukan karena banyak pihak di dalam yang turut kecipratan rezeki haram itu--kendati hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil--melainkan karena urusan ini melibatkan banyak perusahaan multinasional yang tentu akan menggugat bila kontrak mereka yang sudah ditandatangani pemerintah itu tiba-tiba dibatalkan secara sepihak.
Kita boleh saja menjerit dan mengaduh meminta perundingan ulang dengan alasan penandatanganan kontrak dilakukan karena tekanan Soeharto dan para kroninya tempo hari. Namun, argumen itu akan terhempas di tembok kenyataan bahwa sampai sekarang Soeharto dan para kroni belum juga dinyatakan sebagai tersangka yang akan diproses ke pengadilan--sehingga tuduhan penyalahgunaan wewenang tak punya sandaran hukum sama sekali. Jangan-jangan, gugatan pencemaran nama baik malah akan menimpa mereka yang menuding.
Karena itu, daripada berteriak dan digugat, sebaiknya pemerintah mengambil langkah praktis saja: buatlah keputusan politik yang menyatakan Soeharto dan para kroninya sebagai tersangka. Gelindingkan proses hukum yang membawa mereka ke pengadilan. Bila ini sudah dilakukan, perundingan ulang dengan perusahaan-perusahaan multinasionan yang menjadi mitra dalam kolusi itu dapat dilakukan.
Kepada mereka dapat disampaikan bahwa pembayaran yang wajar--seperti berlaku dalam standar internasional--dapat tetap dijalankan. Sedangkan pembayaran yang nilainya dicurigai sebagai biaya patgulipat dapat dikirim ke rekening tunda (escrow account). Itu berarti rekening baru disalurkan ke pihak yang berhak setelah pengadilan memutuskan secara final. Informasi mutakhir tentang berapa jumlah uang yang ada dalam rekening tunda ini hendaknya disampaikan kepada orang ramai.
Informasi ini penting agar soal memaafkan atau tidak menjadi sesuatu yang jelas nilainya. Katakanlah soal apakah Soeharto dan para kroni boleh mendapat grasi atau amnesti setelah keputusan pengadilan dijatuhkan, mungkin dipengaruhi pula oleh sejauh mana mereka rela mengembalikan dana di rekening tunda kepada negara. Atau, bahkan dengan mengembalikan juga yang sudah ada di rekening-rekening pribadi mereka entah di mana.
Sekarang, kita tahu bahwa jumlah uang di rekening mereka--yang nilainya mungkin tak pernah terbayangkan itu--akan terus saja bertambah selama keputusan menjadikan mereka tersangka untuk diadili tidak juga diambil.
Ingin tahu berapa? Dari perut Pertamina saja hampir seratus miliar rupiah untuk tiap satu hari keputusan penting ini tertunda. Mikul dhuwur ternyata memerlukan ongkos besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo