Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal bukan sidang istimewa itu yang ditentang oleh pada umumnya kaum oposisi. Sebagian besar (lihat hal…) sebetulnya ingin memperingatkan bahwa MPR yang sekarang punya cacat karena ia bentukan "Orde Baru". Justru itu, MPR yang ada perlu membuktikan diri sebagai MPR yang mau menebus dosa masa silam, untuk Indonesia masa depan. Bekal itu sudah ada. Sebagian rancangan ketetapan menunjukkan semangat reformasi. Sayangnya, ada nila setitik: soal kursi untuk ABRI di DPR nanti.
Ada dua kekeliruan berpikir dalam menghadapi kritik atas peranan ABRI itu. Yang pertama ialah menganggap sikap menolak kegiatan politik ABRI (yang diistilahkan dengan "dwifungsi") sama dengan menolak peran militer secara keseluruhan. Ini kerap ditunjukkan dalam reaksi balik, yang mengatakan kritik itu tak adil karena ABRI bukan saja ada manfaatnya, tapi juga terbukti banyak jasanya kepada negara.
Padahal di Indonesia ini tak ada yang berkeberatan dengan ABRI, yang dengan efektif menjalankan tugas mempertahankan Republik dan menjaganya dari kekacauan. Dengan kata lain, "ABRI, yes!". Yang dituntut untuk dicoret adalah kegiatan politik ABRI, dan itu dilambangkan dengan adanya Fraksi ABRI di DPR, yang sama artinya dengan adanya "Partai ABRI" dalam konstelasi politik Indonesia.
Kekeliruan yang kedua ialah tentang oleh siapa dan di mana akan ditentukan boleh tidaknya ABRI melakukan kegiatan politik. Ada yang masih berpikir bahwa mengenai ABRI, tak ada yang punya hak untuk menentukan kecuali ABRI sendiri. Padahal soal militer adalah soal kekuasaan negara, yang resminya diatur dengan konstitusi, sehingga seharusnya yang memutuskan adalah rakyat. Kegiatan politik ABRI dalam "dwifungsi" seharusnya ditentukan oleh dan di dalam MPR.
Menyadari ini, mereka yang berkepentingan untuk melanjutkan "dwifungsi" ini mencoba mencuri peluang dalam salah satu keputusan Sidang Istimewa MPR pekan ini. Dengan cara mengendap-endap, dalam rancangan ketetapan MPR tentang perubahan waktu pemilihan umum, akan disisipkan--dalam pasal 6--kalimat ini: "Anggota DPR RI dan DPR Daerah terdiri atas anggota partai-partai politik hasil pemilihan umum dan prajurit ABRI yang diangkat."
Kalau ini lolos menjadi ketetapan MPR nanti, ia akan mengikat isi undang-undang tentang susunan dan kedudukan DPR/MPR yang masih akan dibahas. Maka, rancangan undang-undang buatan tim Departemen Dalam Negeri, yang menentukan jatah 55 kursi untuk anggota ABRI, terpaksa harus disetujui DPR.
Artinya, ABRI akan diberi jatah gratis--tanpa lewat pemilihan--sebanyak 10 persen dari jumlah kursi DPR yang tersedia. Jika ini terjadi, demokrasi yang diharap dapat ditegakkan melalui pemilihan umum akan terancam. Bukan saja pengangkatan anggota DPR itu bertentangan atau di luar aturan konstitusi--silakan periksa kembali UUD 1945, kalau kurang yakin--tetapi jumlah 10 persen itu mungkin lebih banyak dari perolehan kebanyakan partai yang mendapat suara sebagian rakyat.
Jumlah ini akan punya arti hampir mutlak dalam setiap pengambilan keputusan nanti. Soalnya, sudah diduga, tak ada satu partai pun yang akan memenangkan suara lebih dari 50 persen. Sebagai swing vote, jumlah suara yang bisa diayunkan ke kiri atau ke kanan, kursi yang 55 itu akan selalu menjadi unsur penentu untuk menggenapi suara mayoritas. Walhasil, DPR menjadi sangat tergantung pada ABRI lagi--sebuah kekuatan yang tak saja memegang kursi, tapi juga memegang senjata.
Ini juga mencerminkan kelanjutan kebiasaan minoritas yang berkuasa dengan cara dipaksakan. Sepanjang masa Orde Baru, masalah ini menjadi sumber ketidakpuasan terhadap sistem yang berlangsung. Umumnya, unek-unek tentang hal ini disuarakan oleh mereka yang mewakili atau mengatasnamakan golongan politik Islam, yang sebagai mayoritas merasa dicurangi dalam imbangan representasi politik.
Kursi prajurit ABRI di DPR memang sering diklaim sebagai "mewakili kepentingan nasional", tapi apa jaminan bahwa memang begitulah adanya? Tak mengherankan kalau banyak "kelompok politik" umat Islam yang menolak pengangkatan ABRI di DPR itu, kendatipun di antara mereka masih ada yang, dengan pelbagai alasan, mendukung pemerintahan Habibie, setidaknya sampai tahun 1999.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo