Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Senayan, Sayup-Sayup Sampai

Di Senayan sebuah proses tampak jauh dari keresahan rakyat. Jika Mega, Amien, dan Gus Dur bisa menyisihkan ketidakakuran mereka, Indonesia boleh berharap.

9 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah pria berjas dan berdasi. Sejumlah perempuan bersanggul dan berkebaya. Berderet-deret kursi dan seseorang lagi berpidato di sebuah mimbar. Ada yang mendengarkan. Ada yang pura-pura mendengarkan. Yang pasti, di setiap akhir pidato, mereka bertepuk tangan panjang. Atau terdengar paduan suara "setujuuu…" bahkan sebelum seseorang di depan mengetukkan palu. Tak ada perdebatan, tak ada argumentasi. Bukan saja karena tak ada bahan yang perlu diperdebatkan lagi, tapi pengeras suara di depan setiap anggota itu dimatikan. Itulah kira-kira gambaran dari luar Sidang Istimewa MPR di Senayan pekan ini. Tak banyak berubah dari masa lampau yang tanpa reformasi. Termasuk yang di luar suara palu dan setuju. Orang berjaga-jaga. Ada ABRI resmi, yang jumlahnya sekitar 5.000 orang. Ada yang tak resmi, yang kabarnya lebih banyak. Termasuk ABRI-ABRI-an: sekelompok pemuda yang gemar pakai baju loreng. Cukup? Belum. Masih ada ratusan ribu--sesuai dengan klaim mereka--orang lain yang sudah berkemah di Parkir Timur Senayan. Mereka yang datang dari Banten kata orang adalah para "jawara" atau jago silat, mereka yang datang dari Tanjungpriok sudah beberapa hari ini berkeliling kota naik truk, untuk membikin keder siapa saja yang akan mengganggu ini Sidang Istimewa. Di sebelah ribuan manusia itu, ada sejumlah benda. Seluruh kompleks Gedung DPR/MPR dikitari dengan kawat berduri yang kabarnya akan siap dialiri listrik kalau terjadi "sesuatu". Tank dan panser mangkal di berbagai tempat. Tak cuma itu, Bung. Di laut, ya, di laut, di perairan Teluk Jakarta, telah siaga 15 kapal perang TNI-AL dari berbagai jenis, dua kapal patroli polisi, serta dua kapal Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai. Siaran resmi menyebutkan kapal-kapal ini untuk mengantisipasi ancaman yang datang. Rupanya ada informasi bahwa para mahasiswa FKSMJ yang menentang Sidang, atau HMI dan KAMMI yang ingin menyatakan pendapat, punya pasukan katak dan sejenisnya, dan siap masuk ke Senayan lewat Kali Ciliwung yang butek itu. Dan lihat, di udara bahkan ada enam pesawat udara dan helikopter yang mungkin mengantisipasi: jangan-jangan ada Gatotkaca iseng di antara mahasiswa Forkot. Seakan-akan kekuatan fisik saja belum memadai, sebuah cara lain dipakai: menggunakan garis pemisah "Islam" dan "non-Islam" untuk mendapatkan dukungan. Cara ini tak sepenuhnya berhasil (karena hanya sedikit kelompok politik Islam yang setuju Sidang Istimewa tanpa reserve), tapi citra yang berkembang adalah bahwa ini perkara yang ada hubungannya dengan iman. Dan ketika perbedaan pendapat tentang soal Sidang di Senayan pun diterjemahkan sebagai perbedaan agama, pendirian politik jadi tak bisa dirundingkan, mutlak. Tak ada kompromi. Yang juga harus dicemaskan ialah bila semaraknya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam sendiri--sebuah rahmat--bisa tak berkembang lagi. Walhasil, ini Sidang Istimewa MPR yang sangat terjaga--dan begitu terjaga hingga seperti terisolasi dalam benteng. Mungkin terdengar menggelikan berlebihannya, tapi tak lucu akibatnya. Sebuah proses pengambilan keputusan penting yang menyangkut hidup rakyat banyak justru dijauhkan dari rakyat. Yang tak kalah serius: jika cara menggertak ini dianggap sukses, kombinasi antara senjata dan mobilisasi massa (yang memegang golok dan pentung) akan menjadi preseden buruk dalam mengelola perbedaan pendapat. Jerman menjelang Hitler dan Nazi berkuasa mengalami itu. Intimidasi adalah candu bagi yang kuat. Dalam menghadapi itu, mahasiswa seperti sendirian. Sebagian tentulah kesalahan mereka sendiri. Mereka ingin "murni", tapi dengan itu mengisolasi diri dari aliansi dengan kekuatan lain--satu hal yang diperlukan dalam politik skala nasional, bukan skala kampus. Tapi mungkin ini segera berubah. Jika bersama mereka, Megawati, Amien Rais, dan Gus Dur, yang punya pendukung luas, berhasil beraliansi dan ikut mempengaruhi jalannya arus prodemokrasi dari luar pagar MPR, sebuah kekuatan tandingan bisa terwujud. Bukan untuk berperang. Tapi untuk berdialog dengan mereka yang tak punya pengeras suara di Senayan. Indonesia terlampau penting untuk hanya diurus secara sepihak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus