Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
J.E. Sahetapy
Guru besar emeritus Universitas Airlangga
Dari segi teoretik, demikian pula secara praksis, kejahatan korporasi kurang mendapat perhatian yang selayaknya. Mungkin karena hukum pidana, terutama KUHP yang sekarang berlaku, belum mengatur aspek tersebut secara mendasar dan holistik. Lagi pula orang lebih suka membicarakan apa yang dinamakan white collar crime secara tradisional dan merasa itu sudah memadai dalam arti mencakup pula apa yang disebut kejahatan korporasi (corporate crime).
Tulisan ini dimaksudkan untuk meminta perhatian masyarakat dan terutama pihak penegak hukum casu quo penguasa, dalam hal ini presiden. Sebab, jika disimak lebih mendalam akibat atau konsekuensi kejahatan korporasi ini, sesungguhnya kejahatan korporasi jauh lebih berbahaya lagi "kejam" dan merusak ke hampir seluruh tatanan kehidupan masyarakat. Dibandingkan dengan kejahatan pembunuhan yang acap kali cuma menyangkut satu dua orang, kecuali kalau ada rekayasa tertentu--seperti dalam kasus santet di Banyuwangi, tragedi Semanggi, kasus Ketapang--kejahatan korporasi memilki magnitudo yang lebih kompleks dan jangkauan komplikasi yang besar lagi hebat.
Mengapa kejahatan korporasi kurang mendapat perhatian? Untuk sebagian, jawabannya karena kejahatan korporasi ini biasa dilakukan oleh orang-orang berduit, kaum elite lapisan atas, orang-orang bisnis, atau kaum konglomerat. Mereka ini secara mudah akan memperoleh "perlindungan" dan berkolusi dengan orang-orang yang berkuasa (dalam pemerintahan) seperti lazimnya pada zaman Orde Baru.
Sejalan dengan tuntutan mahasiswa untuk mengungkap problematika yang bertalian dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme, tepat sekali jika disorot salah satu faset masalah penjarahan yang rakus dalam berbagai perwujudan dengan cara yang melawan hukum. Itulah penjarahan yang dilakukan oleh sebuah badan hukum (baca: yayasan nirlaba) yang "berlindung" di balik bantuan tangan para birokrat dan tangan-tangan berbedil yang sebenarnya melakukan kejahatan korporasi.
Pertanyaan pertama-tama yang esensial: apakah suatu korporasi dapat melakukan kejahatan? Pertanyaan ini sudah diperdebatkan sejak abad ke-13 di Eropa, ketika waktu itu apa yang dinamakan gilden bisa dipidana. Bahkan pada zaman Majapahit, ada desa-desa yang dapat dipidana berdasarkan penelitian hukum adat.
Ternyata dalam perdebatan itu pemerintah Belanda tidak mau mengikuti teori fiksi dari Von Savigny, sehingga badan hukum atau korporasi tidak dapat dipidana. "Adagium" itu kemudian dikenal dengan nama "Universitas deliquere non potest".
Namun pada perkembangan selanjutnya, dengan mengikuti praktek di Belanda berdasarkan undang-undang tindak pidana ekonomi di sana (WED 1951; Undang-Undang Belanda 23 Juni 1976, S. 377), badan hukum lalu bisa dikenai pidana. Indonesia mengikuti jejak yang sama di Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, meski di KUHP belum diatur.
Karena itu cukup relevan untuk mempersoalkan lebih dari 100 yayasan yang dikelola secara langsung atau tidak langsung oleh "klan Jalan Cendana". Tentu saja, tidak dapat dikatakan secara "naif" bahwa karena yayasan adalah badan hukum nirlaba, mustahil mereka terlibat korupsi. Kalau melihat beberapa yayasan seperti Yayasan Harapan Kita dan Yayasan Trikora, yang memiliki secara bersama-sama atau secara sendiri-sendiri setumpuk saham di perusahaan seperti PT Bogasari Flour Mills, PT Bank Windu Kencana, PT Batik Keris, PT Gunung Madu Plantation, atau PT Santi Murni Plywood (vide: Harta Jarahan Soeharto oleh G.J. Aditjondro, 1998), tentu beralasan untuk dipersoalkan adakah korupsi dan kolusi di sana. Sekarang yang terpenting untuk dilakukan adalah menemukan kotak hitam dan membuka serta menganalisisnya dari berbagai segi, seperti perpajakan atau asal pinjaman, untuk kemudian menemukan apakah memang ada korupsi atau tidak.
Jika diperoleh bukti permulaan bahwa yayasan-yayasan yang berpretensi sebagai suatu badan hukum yang nirlaba itu ternyata sekadar suatu kamuflase dengan maksud untuk menghindari ketentuan perundang-undangan yang ada--misalnya ketentuan perpajakan, peraturan mengenai tindak pidana ekonomi, dan UU Antikorupsi--penegak hukum tidak perlu ragu-ragu untuk segera menyita aset yayasan itu dan mencegah para pemilik saham meninggalkan Indonesia.
Dalam konteks ini adalah sangat mengherankan kalau ada petinggi hukum secara "naif"--setelah mendengar penjelasan dari mantan orang terkuat di Indonesia waktu yang lalu--berkesimpulan secara dangkal bahwa tidak ada kejahatan KKN. Memang tidak boleh ada maksud untuk balas dendam atau bertindak berdasarkan praduga tertentu. Tetapi bilamana ada petunjuk kuat (reasonable) bahwa yayasan-yayasan itu--yang dikelola oleh sebuah klan elite yang pernah begitu berkuasa--melakukan penyelewengan, presiden RI yang sekarang harus bertindak.
Sang waktu acap kali cukup arif dan bijak untuk membiarkan orang-orang belajar dari sejarah. Tetapi sang waktu juga akan sangat kejam bila kesempatan yang baik untuk membersihkan segala noda dan kotoran dari bangsa ini--dalam upaya menuju suatu tatanan kehidupan yang bersih, jujur, adil, bermoral, dan lebih baik--tidak digunakan. Pada saat itu, seberapa pun besarnya penyesalan tidak akan ada artinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo