Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengurus dan pengajar Raudalatut Tholibin, Rembang
Katakanlah, "Dia yang berkuasa untuk mengirim azab kepada kalian dari atas kalian atau dari bawah kaki kalian atau mengacaukan kalian dalam kelompok-kelompok fanatik (yang saling berbeda kepentingan) dan menciptakan kepada sebagian kalian keganasan sebagian yang lain. Perhatikanlah bagaimana Kami mengatur pemunculan ayat-ayat (tanda-tanda kebesaran Kami) agar mereka menjadi paham." (Alquran, 6: 65)
Pendidikan berbeda dengan pengajaran--meski sering dirancukan. Pengajaran terbatas pada pemberian informasi, sedangkan pendidikan lebih dari itu. Pendidikanlah yang tanpa terasa dapat membentuk atau mengubah sikap dan perilaku. Sebagaimana perjalanan waktu itu sendiri, proses pendidikan hampir tidak pernah dirasakan oleh si anak didik. Seolah-olah ia "tahu-tahu jadi". Seseorang yang dididik bertahun-tahun untuk menjadi manusia berkarakter tertentu biasanya tidak merasakan tahapan-tahapan proses menyatunya karakter itu dengan dirinya. Dan ia juga tidak sepenuhnya menyadari bahwa ia telah menjadi manusia dengan karakter tersebut.
Ibarat mendidik anak, waktu 30 tahun cukup panjang untuk membuat si anak jadi "orang". Kalau disekolahkan di perguruan tinggi dalam rentang waktu 30 tahun, entah sudah "S" berapa anak didik itu kira-kira. Begitulah rezim Soeharto: 30 tahun "mendidik" kita secara sistematis dan intens, terutama dalam dua dasawarsa terakhir pemerintahannya. Tahapan-tahapan proses pendidikannya tidak kita rasakan, tahu-tahu--siapa tahu--kita telah menjadi "Soehato-Soeharto kecil" dengan perangai, perilaku, dan pola pikir yang khas.
Dalam pendidikan yang melibatkan sekian juta "murid", tentu ada murid yang cerdas ataupun yang bebal, yang tekun atau yang malas, yang cepat atau yang lambat menyerap pelajaran, serta yang cepat hafal dan bahkan yang mendapat predikat "murid teladan". Barangkali ini dapat ikut menjelaskan mengapa perjalanan reformasi--yang hendak merombak "peradaban" hasil "pendidikan" rezim Soeharto itu--seret dan tersendat-sendat, bahkan ada yang menilainya macet.
Korupsi, kolusi, nepotisme, dan koncoisme, yang dianggap paling merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, dan yang diperangi saat ini di mana-mana, hanyalah bagian yang tampak dan dianggap paling menonjol dari sekian perilaku dan perangai "hasil didikan" rezim Soeharto. Di luar KKN, masih banyak sikap dan perilaku "hasil didikan" rezim tersebut yang memalukan. Sebut saja misalnya arogansi, kemunafikan, kepengecutan, penonjolan kepentingan, penghalalan segala cara, kecenderungan menyeragamkan, pemaksaan kehendak, penjilatan ke atas, dan penginjakan ke bawah.
Terutama karena keberhasilan "pendidikan dasar" rezim Orde Baru dalam mencetak masyarakat yang "sadar dunia", tanpa terasa kita menjadi manusia yang sangat mencintai raga dan mengabaikan jiwa, memanjakan daging dan melalaikan sukma. Maka jangan heran apabila dari mereka yang saat ini getol meneriakkan reformasi--baik yang karena hidayah Allah dan kesadaran maupun yang karena terpaksa menyesuaikan diri ataupun sekadar ikut-ikutan--pun sering kali masih muncul sikap atau perangai yang seharusnya direformasi.
Pak Habibie, misalnya, ketika baru dua bulan menjabat presiden, memberikan bintang penghargaan kepada istri dan konco-konconya. Mungkin ia tidak menyadari keanehannya karena "kebijaksanaan" itu muncul begitu saja dari pribadi--dan pembantu-pembantunya--yang telah menyerap "pendidikan" Orde Baru dengan baik. Yang menganggap hal itu aneh mungkin hanya segelintir orang yang ketika mengikuti "pendidikan" Orde Baru terlalu bebal.
"Pendidikan" selama 30 tahun yang menghasilkan "manusia-manusia terdidik" itu kini dapat dirasakan dengan jelas hasil akhirnya dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam memperparah krisis yang menimpa negeri ini.
Justru di saat era kebebasan menggantikan era keterkungkungan yang begitu lama, atas kehendak Allah, masyarakat yang "terdidik" mencintai materi tiba-tiba terkena musibah "krisis materi". Tiba-tiba banyak yang kehilangan sumber--atau minimal kesulitan mendapatkan--materi. Padahal mereka adalah manusia yang sudah "terdidik" menyukai penyeragaman dan tidak terbiasa atau tidak bisa berbeda. Padahal mereka juga "terdidik" memaksakan kehendak dan menghalalkan segala cara. Maka herankah kita apabila justru dalam zaman reformasi ini kita menyaksikan situasi sebagaimana yang kita saksikan dan kita prihatinkan dewasa ini? Kerusuhan, kemesuman, kekejaman, dan keganasan, yang selama ini hanya kita saksikan melalui tayangan film dan televisi, muncul nyata di hadapan kita. Sehingga kita yang masih waras menjadi pangling, tak mengenali lagi wajah-wajah kita sendiri.
Apalagi bila kita ingat bahwa sampai saat ini perhatian dan pembinaan terhadap raga masyarakat masih tidak berimbang sama sekali dengan perhatian dan pembinaan terhadap jiwa dan sukma. Maka agama pun, yang semestinya menjadi harapan terakhir untuk menyeimbangkan dan menjaga kewarasan serta kejernihan berpikir masyarakat, oleh manusia-manusia "terdidik lulusan pendidikan Orde Baru" malah justru hanya digunakan sebagai kendaraan kepentingan pula. Masya Allah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo