BERSURAT kepada saya seseorang yang "selama tujuh tahun, tiap
hari, pukul 11 siang sampai 2 malam, bergaul di tengah seribuan
hostes, massage girls atau apa pun namanya di tiga steambath
terkenal." Sesudah membaca tulisan saya tentang "martabat wanita
modern", ia tulis surat imbauan itu karena "banyak pertanyaan di
benakku yang tak mendapat jawaban."
Ia membantah asumsi saya tentang motivasi ekonomis para pelacur.
Karena "delapan dari sepuluh 'wanita ribuan' yang kuamati itu
rata-rata sudah punya rumah, cukup mewah, bahkan sampai dua
biji, biasanya yang satu dikontrakkan." Dikatakan jarang yang
sekadar punya motor roda dua. Tabanas mereka aduhai. Penghasilan
selama empat bulan rata-rata tujuh belas juta rupiah, bisa untuk
beli Honda Accord mutakhir. Bagaimana mungkin?
"Tiap hari mereka meladeni lima sampai tujuh pamong negeri kelas
menengah. Ada hostes top kerja lima tahun punya 17.000 kartu
nama. Saingannya kerja enam tahun dapat 15.000 kartu nama. Bonus
ekstra mereka selalu fantastis." Oke. Tapi apa sesungguhnya
'kartu As' mereka ini, hingga memperoleh duit begitu banyak?
"Ialah bermain tidak hanya di tempatnya!" Baiklah sebut nama
Allah, tapi yang dimaksud tentu anu, anu, dan anu (maaf, ini
sudah disensur, red). Jumlah angka tentu gampang diterobos,
karena negosiasi dilakukan pada kondisi psikologis yang
revolusioner dan penuh nafsu dan kesusu.
Tentulah "dampak kultural"-nya macam-macam. "Di rumah, mereka
tak puas melayani suami sehabis di 'kantor' makan 6-7 manusia.
Soal buang air seni terasa panas dan perih, itu biasa. Tapi
batuk tak mau sembuh, buang air besar terasa menyiksa padahal
bukan menderita wazir, bernapas terasa sesak padahal tak sakit
asma ..." Hmm.
Dikemukakan, semula tak banyak yang melakukan pariwisata liar
seperti itu. Sering juga bermula 'normal' saja, tapi akhirnya -
yah, Adam tak cukup makan sebiji khuldi. Dampak lain? "6/10 tiap
enam bulan menggugurkan kandungan."
Ada beberapa pengemukaan data yang saya sensur demi stabilitas.
Tapi yang penting sahabat kita ini menyuruh saya
mengira-ngirakan, berapa banyak uang dikorup untuk kegiatan yang
"telah, sedang, dan akan terus berlangsung" ini.
Bayangkan, katanya. (jelas, kalau sekadar membayangkan saja saya
jago). "Peraturan perizinan hitam atas putih itu nol besar. Saya
berani bersumpah, dan saya bukan orang kejam yang mau
memfitnah." la berkata bahwa sudah ada tempat begituan yang jadi
abu karena kutukan Allah, tapi kini sudah berdiri megah pasar
kelamin baru, tempat ribuan Kartini kontemporer menjadi
perangsang korupsi. "Wanita-wanita itu pada hakikatnya pemalas,
pemeras, dan pemacu penyelewengan."
Ia mengimbau: "Apakah Bapak-bapak tidak menyadari timbulnya
keresahan sosial bila hal itu terus berlanjut? Telah kusaksikan
ratusan keluarga berantakan karenanya - keluarga para hostes
maupun konsumen." la tidak rela "kemajuan bangsa Indonesia
terhambat dan terkotori oleh beberapa bagian dari masyarakat
yang berlepotan kemaksiatan dan bejat moral."
Demikianlah, seperti orang kehujanan tanpa bisa berteduh, dengan
murung saya membaca akhir suratnya yang mengimbau saya agar saya
mengimbau. Maka dengan inl saya mengimbau saudara-saudaraku,
agar bersedia mengimbau. Marilah kita isi kemerdekaan ini dengan
imbau-mengimbau. Sebab mungkin hanya itu kemampuan pamungkas
kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini