Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Pelukis tanpa pameran

Arie smith, pelukis, 67, kelahiran belanda yang menetap di bali. karya-karyanya tak begitu bergema di Jakarta. menganut aliran impresionisme & mempunyai gaya tersendiri yang memperhatikan suasana lokal.(tk

8 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEHADIRANNYA di Bali membawa angin baru pada seni lukis tradisional pulau itu. Lukisan Bali yang sebelumnya seperti wayang beber, berubah menjadi penuh warna cerah seperti terlihat pada karya kebanyakan pelukis modern di pulau turis itu akhir-akhir ini. Karena itu, Arie Smit, 67 tahun, dipandang para pengamat seni rupa mempunyai jasa besar dalam perjalanan seni lukis Bali. Pelukis kelahiran Belanda yang menetap di Bali sejak 1956 itu memang pada mulanya menghimpun sejumlah pelukis muda di sanggar yang ia dirikan di Ubud. Para pelukis itu kemudian berkembang dan melahirkan sebuah generasi yang di sana terkenal dengan sebutan Young Artis. Generasi inilah yang rupanya terus mengembangkan perubahan-perubahan yang telah dimulai Arie Smit. "Itulah jasa besar yang dilakukan Arie Smit: memperkenalkan warna," ujar Drs. Sudarmadji, direktur Balai Seni Rupa Jakarta yang juga ketua DPH-Dewan Kesenian Jakarta. Sudarmadji mengakui, karya-karya Arie Smit tak begitu bergema, terutama di Jakarta. Karena, katanya, "ia jarang mengadakan pameran di Jakarta, sehingga lukisannya luput dari pengamatan secara nasional." Arie Smit sendiri mengaku, lukisan-lukisannya punya corak tersendin, meskipun, katanya, merupakan perkembangan dari aliran impresionisme. Ia tak mau menggolongkan dirinya ke suatu aliran. Namun, katanya, "karena gaya yang saya pakai sekarang tak ada yang meniru, saya cenderung menyebutnya corak Arie Smit." Gaya seperti itulah yang ia berikan kepada anak didiknya, dulu, di Ubud. Impresionisme adalah suatu aliran seni lukis yang mementingkan cahaya, yang berkembang di Eropa abad ke-19. Mungkin karena itu Prof. Ahmad Sadali, pelukis yang juga dosen ITB, menyebut karya Arie Smit sekarang ini bercorak impresionistis. "Arie Smit sudah tak selalu mempergunakan cahaya. Kadang-kadang ia sudah menggunakan bidang-bidang atau titik-titik," kata Sadali yang akhir-akhir ini dikenal sebagai pelukis kaligrafi. Arie Smit lahir di Zaandam, Negeri Belanda, April 1916. Anak tertua dari 8 saudara ini satu-satunya yang punya bakat melukis. Ia mempelajari seni lukis ketika menempuh pendidikan formal di Rotterdam. Keluarga Smit memang menetap di Rotterdam, karena Zaandam dilanda banjir ketika Arie berumur 9 tahun. Ketika Perang Dunia sampai di Belanda, keluarga Arie Smif mengungsi lagi. Tapi pemuda Arie meninggalkan negerinya menuju Indonesia, negeri nun jauh di timur yang ia kenal lewat buku-buku di perpustakaan. Ketika itu Arie telah menjadi pemuda berusia 23 tahun. Di Indonesia, mula-mula Arie Smit bekerja sebagai litografer di Jawatan Topografi Jakarta. Waktu-waktu senggangnya ia manfaatkan untuk melukis, belajar seni grafis dan bahasa Indonesia. Ia sering muncul di berbagai kegiatan seni lukis waktu itu. Dan ia bergaul erat dengan pelukis Sudjojono. Ketika Jepang datang ke negeri ini, Arie Smit ditahan. Bersama tawanan lainnya, Maret 1942, ia dikirim ke Muangthai sebagai romusha, membuat rel kereta api. Ia dibebaskan dari tawanan ketika Jepang takluk pada tentara sekutu yang disusul dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sejak itulah ia merasa menyatu dengan perjuangan Indonesia dan bertekad tidak akan kembali ke Belanda. Ia mengajukan permohonan menjadi warga negara Indonesia dan dikabulkan tahun 1950. Arie Smit kemudian menetap di Bandung. Ia menjadi staf pengajar Seni Rupa ITB,selain aktif pula memberi pelajaran seni lukis untuk anak-anak di Yayasan Beribu Satu, Bandung. Namun, ia mengaku tak betah di Bandung berlama-lama. Ia gelisah tanpa menyebutkan alasan yang pasti. Ia berangkat ke Bali 1956. Tentang kegelisahan Arie Smit di Bandung, menurut Sudarmadji: "Sebagai staf pengajar Seni Rupa ITB, ia sering berbeda pendapat dengan rekan-rekannya tentang konsep dalam seni lukis - mungkin itu sebabnya." Di Bali ia tetap sebagai pelukis yang gelisah. Setelah meninggalkan anak didlk di Ubud, la biarkan murid-muridnya mengembangkan sendiri gaya yang sudah diberikan. Arie Smit pergi ke Mengwi dan menetap di salah satu desa di Kabupaten Bandung. Rata-rata setiap tahun sekali ia pindah. Pernah tinggal di Karangasem, ujung timur Bali. Juga pernah di Bedulu, pusat kerajaan Bali masa lalu. "Selama 27 tahun di Bali saya berpindah tempat sampai 24 kali." katanya. Hampir seluruh Bali pernah ia jelajahi. Dari tempat tinggalnya, ia rajin mengelilingi desa-desa dengan naik sepeda. Di saat seperti itu Arie mudah dikenali: berkaus oblong atau kemeja lengan pendek berwarna sejuk, bercelana putih, dan bersandal jepit. Dan yang tak mungkin ia lupakan: buku catatan. Sebab, dengan buku itulah ia membuat sketsa: tentang keindahan alam, tentang pura atau kehidupan tradisional masyarakat Bali. Di rumahnya, sketsa tadi dipindahkan ke dalam kanvas. Warna lukisannya umumnya cerah walaupun obyek sebenarnya berwarna kusam. Satu hal yang dijadikan pegangan, Arie Smit sangat memperhatikan suasana lokal. Kini ia tinggal di Desa Sanurj pusat kegiatan pariwisata di Bali. Tapi ia memilih rumah yang jauh dari hingar-bingar para pelancong. Pelukis ini memang mengaku sangat menyenangi tempat sunyi. "Di tempat yang sepi timbul kekosongan yang perlu diisi, yaitu dengan berkarya. Orang kreatif pasti memilih sunyi," katanya agak puitis. Karena prinsip itu, mungkin, ia memilih hidup tanpa istri dan keluarga. Bukan saja tetap membujang, dengan keluarganya di Belanda Arie mengaku tak pernah lagi berhubungan. Ia tak tahu di mana keluarganya berada. Kesendiriannya di Bali tak pernah ia cemaskan. Menyewa rumah di Sanur berukuran 10 x 10 meter, ia ditemani seorang "tukang kebun". Kalau Arie sakit, tukang kebun ini yang mengabarkan pada tetangga atau teman-temannya sesama pelukis. Tukang kebun ini pula yang membantu membeli makanan di warung terdekat. Arie tak suka nongkrong di warung. Kalau ia tidak berkeliling, pasti ia melukis. Cara hidup sepcrti itu yang barangkali membedakan Arie Smit dengan pelukis keturunan asing lainnya yang menetap di Bali, seperti R. Bonnet atau Blanko. Dua nama terakhir ini punya keluarga dan rumah yang tetap. Sedangkan Arie Smit berkelana, berpindah-pindah, dan karena itu ia tak membutuhkan, misalnya, kartu tanda penduduk. Sebagai penduduk sah Pulau Bali, Smit hanya melapor ke kelihan banjar (semacam RT) jika ia menetap lebih dari 3 bulan. Walau begitu, ia tak mengabaikan kewajiban yang dibebankan Banjar, seperti bergotong-royong. Malahan dengan uang hasil lukisannya yang berlebih, Arie Smit sering membantu keperluan pembangunan - juga untuk tetangga yang membutuhkan. Kehidupan bermasyarakat seperti itu mendapat acungan jempol dari pelukis pribumi. "Ia berhasil menyesuaikan diri dan menjadi satu dengan masyarakat Bali, walaupun penampilannya tetap sebagai orang Belanda," kata Prof. Sadali. Arie Smit memang tak pernah berkain seperti penduduk pedesaan Bali pada umumnya, bahkan ia jarang makan nasi, kecuali diundang makan. Ia lebih banyak makan sayur, selain roti. Drs. Rai Kalam, pelukis yang juga dosen Seni Rupa Fakultas Teknik Universitas Udayana, kagum akan "ringan tangannya" Arie Smit. Selain membantu masyarakat sekitar tempat tinggalnya, "ia ikhlas menurunkan ilmunya - sulit mencari pelukis macam dia," kata Rai Kalam. "Masyarakat Bali adalah keluarga saya," kata Arie Smit, pelukis yang pandai berbahasa Bali itu. Kehidupan Bali sudah begitu menyatu dengan dirinya, sehingga ia bertekad mengakhiri hidup di pulau ini dan dikuburkan di sini. Pernyataan itu pernah disampaikannya kepada umat Gereja Santo Yusuf di Denpasar. Kepada umat gereja itu pula ia pernah memberitahukan jumlah uang yang ia depositokan di sebuah bank di Denpasar. Tidak berarti pelukis ini menghendaki umur pendek. Ia cukup baik menjaga diri. Setiap hari, setelah lari pagi ia berolah raga treksando. Karena itu, ia merasa badannya cukup fit. "Saya harap, saya masih bisa bertahan hidup lama untuk melukis," katanya. Namun, pelukis yang selalu berbicara terus terang ini tak pernah mau menyebutkan harga lukisannya. Di tempat kediamannya terpajang beberapa lukisan yang ia katakan belum selesai secara sempurna. Lukisan yang sudah selesai selalu diberi tanda tangan untuk di serahkan ke toko kesenian (art shop) yang bertebaran di Bali. Tak pernah ia bepikir soal pameran. Karena itu, seperti yang dikatakan Sudarmadji, sulit untuk menilai perjalanan kepelukisan Arie Smit. Mungkin juga Arie Smit tak membutuhkan penilaian itu. Seperti juga ia pernah berkata: "Maaf, saya tak mau berkomentar tentang perkembangan seni lukis di Indonesia." Mungkin juga karena ia tak banyak mengikuti perkembangan seni lukis Indonesia pada umumnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus