KEHADIRANNYA di Bali membawa angin baru pada seni lukis
tradisional pulau itu. Lukisan Bali yang sebelumnya seperti
wayang beber, berubah menjadi penuh warna cerah seperti terlihat
pada karya kebanyakan pelukis modern di pulau turis itu
akhir-akhir ini.
Karena itu, Arie Smit, 67 tahun, dipandang para pengamat seni
rupa mempunyai jasa besar dalam perjalanan seni lukis Bali.
Pelukis kelahiran Belanda yang menetap di Bali sejak 1956 itu
memang pada mulanya menghimpun sejumlah pelukis muda di sanggar
yang ia dirikan di Ubud. Para pelukis itu kemudian berkembang
dan melahirkan sebuah generasi yang di sana terkenal dengan
sebutan Young Artis. Generasi inilah yang rupanya terus
mengembangkan perubahan-perubahan yang telah dimulai Arie Smit.
"Itulah jasa besar yang dilakukan Arie Smit: memperkenalkan
warna," ujar Drs. Sudarmadji, direktur Balai Seni Rupa Jakarta
yang juga ketua DPH-Dewan Kesenian Jakarta. Sudarmadji mengakui,
karya-karya Arie Smit tak begitu bergema, terutama di Jakarta.
Karena, katanya, "ia jarang mengadakan pameran di Jakarta,
sehingga lukisannya luput dari pengamatan secara nasional."
Arie Smit sendiri mengaku, lukisan-lukisannya punya corak
tersendin, meskipun, katanya, merupakan perkembangan dari aliran
impresionisme. Ia tak mau menggolongkan dirinya ke suatu aliran.
Namun, katanya, "karena gaya yang saya pakai sekarang tak ada
yang meniru, saya cenderung menyebutnya corak Arie Smit." Gaya
seperti itulah yang ia berikan kepada anak didiknya, dulu, di
Ubud.
Impresionisme adalah suatu aliran seni lukis yang mementingkan
cahaya, yang berkembang di Eropa abad ke-19. Mungkin karena itu
Prof. Ahmad Sadali, pelukis yang juga dosen ITB, menyebut karya
Arie Smit sekarang ini bercorak impresionistis. "Arie Smit sudah
tak selalu mempergunakan cahaya. Kadang-kadang ia sudah
menggunakan bidang-bidang atau titik-titik," kata Sadali yang
akhir-akhir ini dikenal sebagai pelukis kaligrafi.
Arie Smit lahir di Zaandam, Negeri Belanda, April 1916. Anak
tertua dari 8 saudara ini satu-satunya yang punya bakat melukis.
Ia mempelajari seni lukis ketika menempuh pendidikan formal di
Rotterdam. Keluarga Smit memang menetap di Rotterdam, karena
Zaandam dilanda banjir ketika Arie berumur 9 tahun.
Ketika Perang Dunia sampai di Belanda, keluarga Arie Smif
mengungsi lagi. Tapi pemuda Arie meninggalkan negerinya menuju
Indonesia, negeri nun jauh di timur yang ia kenal lewat
buku-buku di perpustakaan. Ketika itu Arie telah menjadi pemuda
berusia 23 tahun.
Di Indonesia, mula-mula Arie Smit bekerja sebagai litografer di
Jawatan Topografi Jakarta. Waktu-waktu senggangnya ia manfaatkan
untuk melukis, belajar seni grafis dan bahasa Indonesia. Ia
sering muncul di berbagai kegiatan seni lukis waktu itu. Dan ia
bergaul erat dengan pelukis Sudjojono.
Ketika Jepang datang ke negeri ini, Arie Smit ditahan. Bersama
tawanan lainnya, Maret 1942, ia dikirim ke Muangthai sebagai
romusha, membuat rel kereta api. Ia dibebaskan dari tawanan
ketika Jepang takluk pada tentara sekutu yang disusul dengan
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sejak itulah ia merasa menyatu
dengan perjuangan Indonesia dan bertekad tidak akan kembali ke
Belanda. Ia mengajukan permohonan menjadi warga negara Indonesia
dan dikabulkan tahun 1950.
Arie Smit kemudian menetap di Bandung. Ia menjadi staf pengajar
Seni Rupa ITB,selain aktif pula memberi pelajaran seni lukis
untuk anak-anak di Yayasan Beribu Satu, Bandung. Namun, ia
mengaku tak betah di Bandung berlama-lama. Ia gelisah tanpa
menyebutkan alasan yang pasti. Ia berangkat ke Bali 1956.
Tentang kegelisahan Arie Smit di Bandung, menurut Sudarmadji:
"Sebagai staf pengajar Seni Rupa ITB, ia sering berbeda pendapat
dengan rekan-rekannya tentang konsep dalam seni lukis - mungkin
itu sebabnya."
Di Bali ia tetap sebagai pelukis yang gelisah. Setelah
meninggalkan anak didlk di Ubud, la biarkan murid-muridnya
mengembangkan sendiri gaya yang sudah diberikan. Arie Smit pergi
ke Mengwi dan menetap di salah satu desa di Kabupaten Bandung.
Rata-rata setiap tahun sekali ia pindah. Pernah tinggal di
Karangasem, ujung timur Bali. Juga pernah di Bedulu, pusat
kerajaan Bali masa lalu. "Selama 27 tahun di Bali saya berpindah
tempat sampai 24 kali." katanya. Hampir seluruh Bali pernah ia
jelajahi.
Dari tempat tinggalnya, ia rajin mengelilingi desa-desa dengan
naik sepeda. Di saat seperti itu Arie mudah dikenali: berkaus
oblong atau kemeja lengan pendek berwarna sejuk, bercelana
putih, dan bersandal jepit. Dan yang tak mungkin ia lupakan:
buku catatan. Sebab, dengan buku itulah ia membuat sketsa:
tentang keindahan alam, tentang pura atau kehidupan tradisional
masyarakat Bali. Di rumahnya, sketsa tadi dipindahkan ke dalam
kanvas. Warna lukisannya umumnya cerah walaupun obyek sebenarnya
berwarna kusam. Satu hal yang dijadikan pegangan, Arie Smit
sangat memperhatikan suasana lokal.
Kini ia tinggal di Desa Sanurj pusat kegiatan pariwisata di
Bali. Tapi ia memilih rumah yang jauh dari hingar-bingar para
pelancong. Pelukis ini memang mengaku sangat menyenangi tempat
sunyi. "Di tempat yang sepi timbul kekosongan yang perlu diisi,
yaitu dengan berkarya. Orang kreatif pasti memilih sunyi,"
katanya agak puitis. Karena prinsip itu, mungkin, ia memilih
hidup tanpa istri dan keluarga.
Bukan saja tetap membujang, dengan keluarganya di Belanda Arie
mengaku tak pernah lagi berhubungan. Ia tak tahu di mana
keluarganya berada.
Kesendiriannya di Bali tak pernah ia cemaskan. Menyewa rumah di
Sanur berukuran 10 x 10 meter, ia ditemani seorang "tukang
kebun". Kalau Arie sakit, tukang kebun ini yang mengabarkan pada
tetangga atau teman-temannya sesama pelukis. Tukang kebun ini
pula yang membantu membeli makanan di warung terdekat. Arie tak
suka nongkrong di warung. Kalau ia tidak berkeliling, pasti ia
melukis.
Cara hidup sepcrti itu yang barangkali membedakan Arie Smit
dengan pelukis keturunan asing lainnya yang menetap di Bali,
seperti R. Bonnet atau Blanko. Dua nama terakhir ini punya
keluarga dan rumah yang tetap. Sedangkan Arie Smit berkelana,
berpindah-pindah, dan karena itu ia tak membutuhkan, misalnya,
kartu tanda penduduk. Sebagai penduduk sah Pulau Bali, Smit
hanya melapor ke kelihan banjar (semacam RT) jika ia menetap
lebih dari 3 bulan. Walau begitu, ia tak mengabaikan kewajiban
yang dibebankan Banjar, seperti bergotong-royong. Malahan dengan
uang hasil lukisannya yang berlebih, Arie Smit sering membantu
keperluan pembangunan - juga untuk tetangga yang membutuhkan.
Kehidupan bermasyarakat seperti itu mendapat acungan jempol dari
pelukis pribumi. "Ia berhasil menyesuaikan diri dan menjadi satu
dengan masyarakat Bali, walaupun penampilannya tetap sebagai
orang Belanda," kata Prof. Sadali. Arie Smit memang tak pernah
berkain seperti penduduk pedesaan Bali pada umumnya, bahkan ia
jarang makan nasi, kecuali diundang makan. Ia lebih banyak makan
sayur, selain roti.
Drs. Rai Kalam, pelukis yang juga dosen Seni Rupa Fakultas
Teknik Universitas Udayana, kagum akan "ringan tangannya" Arie
Smit. Selain membantu masyarakat sekitar tempat tinggalnya, "ia
ikhlas menurunkan ilmunya - sulit mencari pelukis macam dia,"
kata Rai Kalam.
"Masyarakat Bali adalah keluarga saya," kata Arie Smit, pelukis
yang pandai berbahasa Bali itu. Kehidupan Bali sudah begitu
menyatu dengan dirinya, sehingga ia bertekad mengakhiri hidup di
pulau ini dan dikuburkan di sini. Pernyataan itu pernah
disampaikannya kepada umat Gereja Santo Yusuf di Denpasar.
Kepada umat gereja itu pula ia pernah memberitahukan jumlah uang
yang ia depositokan di sebuah bank di Denpasar.
Tidak berarti pelukis ini menghendaki umur pendek. Ia cukup baik
menjaga diri. Setiap hari, setelah lari pagi ia berolah raga
treksando. Karena itu, ia merasa badannya cukup fit. "Saya
harap, saya masih bisa bertahan hidup lama untuk melukis,"
katanya.
Namun, pelukis yang selalu berbicara terus terang ini tak pernah
mau menyebutkan harga lukisannya. Di tempat kediamannya
terpajang beberapa lukisan yang ia katakan belum selesai secara
sempurna. Lukisan yang sudah selesai selalu diberi tanda tangan
untuk di serahkan ke toko kesenian (art shop) yang bertebaran di
Bali. Tak pernah ia bepikir soal pameran. Karena itu, seperti
yang dikatakan Sudarmadji, sulit untuk menilai perjalanan
kepelukisan Arie Smit. Mungkin juga Arie Smit tak membutuhkan
penilaian itu. Seperti juga ia pernah berkata: "Maaf, saya tak
mau berkomentar tentang perkembangan seni lukis di Indonesia."
Mungkin juga karena ia tak banyak mengikuti perkembangan seni
lukis Indonesia pada umumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini