Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANGKAH Dewan Perwakilan Rakyat "memforsir" persetujuan atas Undang-Undang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam kurang pantas. Disebut kurang pantas karena pemerintah belum menyetujui beberapa pasal di dalamnya—padahal undang-undang disahkan oleh DPR dan pemerintah. Lagi pula, tidak ada hal genting dan mendesak yang perlu selekasnya diselesaikan dengan aturan hukum ini. Persetujuan DPR itu juga bisa dikatakan tidak elok mengingat masa jabatan anggota DPR yang sekarang berakhir sepuluh hari lagi.
Dengan masa kerja tinggal bilangan jari tangan itu, memaksakan diri mengambil keputusan strategis yang memiliki dampak jangka panjang seharusnya dihindari, apalagi diskusi tentang topik undang-undang itu belum matang benar—setidaknya bagi pemerintah. Benar DPR masih punya legitimasi. Tapi, mengingat sebagian besar anggota DPR harus "pulang kampung", buat apa pula memaksakan perkara yang bisa dibahas lebih dalam dan detail kelak—oleh anggota DPR yang baru.
Alasan untuk membahas lebih dalam dan detail lebih beralasan karena pada periode lima tahun mendatang ada Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dengan adanya DPD, seharusnya keputusan-keputusan parlemen yang ada sangkut-pautnya dengan urusan daerah, seperti kasus Batam, seharusnya lebih berbobot dan benar-benar menimbang kepentingan-kepentingan daerah dan pusat. Diharapkan potensi konflik bisa lebih terkontrol dengan sistem perwakilan baru nanti.
Di luar alasan tersebut, ada pertimbangan-pertimbangan teknis ekonomi yang perlu dikemukakan. Batam memang penting, tapi apakah dengan demikian pemerintah memberikan apa saja yang menjadi keinginan masyarakat Batam—terutama para pengusaha? Pemerintah dalam batas-batas tertentu sudah memberikan persetujuan atas kehendak menjadikan Batam sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, dalam luasan terbatas: hanya untuk tujuh enclave kawasan industri di sana. Sedangkan DPR bersikukuh meminta agar seluruh Batam menjadi kawasan perdagangan bebas.
Permintaan DPR itu berlebihan. Yang disebut kawasan perdagangan bebas bukanlah wilayah yang bercampur-baur antara industri dan permukiman seperti Batam sekarang. Di era tuntutan daerah begitu sering disuarakan, permintaan Batam agar wilayahnya bebas bea masuk dan pajak ini juga bisa menyulut daerah lain untuk meminta hal yang sama. Ini akan merepotkan pemerintah karena bisa mengganggu penerimaan negara. Selain itu, penyelundupan bisa diduga akan makin merajalela di Batam karena semua wilayah Batam bisa menjadi pintu bagi barang ilegal—yang kemudian dilempar ke wilayah lain Indonesia.
Perbedaan ini tidak semestinya diselesaikan cepat-cepat. Kedua pihak bisa kembali mencari argumentasi yang lebih dalam agar keputusan yang diambil lebih mantap. Untuk itulah seharusnya DPR periode yang sekarang tidak perlu terburu-buru mengesahkan Undang-Undang Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Bahwa sekarang ada penurunan investasi, itu tidak khas hanya di Batam, tapi juga di semua wilayah Indonesia. Begitu juga dengan ekspor Indonesia yang lumayan tinggi, prestasi yang juga disumbangkan seluruh wilayah Indonesia. Jadi, Batam tak perlu dianak-emaskan.
Kalaupun persetujuan DPR itu dianggap sebagai ketelanjuran, masih ada waktu untuk memperbaikinya. Tergesa-gesa untuk hal yang bisa didiskusikan lebih lebar dan dalam hanya akan menghasilkan keputusan yang menguntungkan sekelompok orang. Jika tidak ada langkah koreksi, ketergesa-gesaan pengesahan undang-undang yang strategis ini hanya membuat banyak kalangan menduga ada "apa-apa" di balik pengesahan kawasan perdagangan bebas di Batam itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo