Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika hakim menjatuhkan hukuman penjara bagi pemimpin redaksi majalah ini, Bambang Harymurti, adalah kebebasan pers yang pada hakikatnya kena pemidanaan. Karena dinyatakan terbukti sengaja menyiarkan berita bohong untuk menimbulkan keonaran, terbukti mencemarkan nama baik dan memfitnah pengusaha kaya Tomy Winata, kata hakim, Bambang Harymurti (BHM) diganjar hukuman satu tahun penjara dalam sidang pengadilan negeri Kamis yang lalu.
Protes bukan cuma pantas disuarakan untuk keputusan ini, tapi harus. Bukan karena kaget atau takut menghadapi derita dalam tutupan. Soalnya adalah ketidakadilan, karena ada kepincangan antara hukum yang diterapkan dan kepentingan umum yang memerlukan perlindungan bagi kebebasan pers. Kepincangan juga terjadi antara tafsiran atas fakta yang dikemukakan sebagai dasar dakwaan dengan makna dari kejadian yang merupakan masalah jurnalistik.
Karena itu sudah tepat dan benar kalau BHM melawan, dengan naik banding. BHM protes terutama karena memandang hukuman ini sebagai perlambang tekanan bagi kebebasan pers. Bukan kebebasan pers yang perlu dijaga demi kepentingan pers belaka, namun demi keselamatan fungsi pers menyelenggarakan kepentingan umum untuk memperoleh informasi lengkap agar bisa melakukan pengawasan sosial. Sebuah fungsi yang butuh perlindungan dari ancaman yang datang dari kepentingan sempit atau pribadi.
Hakim mengabaikan kenyataan ini, sehingga telah menerapkan secara kaku hukum lama yang bertentangan dengan kebutuhan zaman. Di zaman ini, menjunjung kebebasan pers bukan bertujuan memanjakan pers atau mengecualikannya dari keharusan bertanggung jawab. Kebebasan pers adalah aset masyarakat terbuka, yang harus dipelihara oleh seluruh unsur masyarakat, para pemegang sahamnya, termasuk para penegak hukum. Pembuat undang-undang pun telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers, yang seyogianya harus jadi acuan utama dalam menilai masalah jurnalistik.
Dalam perkara perdata untuk kasus Tempo yang sama, Pengadilan Tinggi Jakarta berpegang pada Undang-Undang Pers, dan membebaskan Tempo dari gugatan Tomy Winata. Mestinya pengadilan pidana terhadap BHM konsisten dengan dasar hukum yang digunakan pengadilan tinggi itu. Selain itu, pertikaian masalah fitnah dan pencemaran nama baik semestinya memang diproses secara perdata, bukan menggunakan pasal-pasal hukum pidana.
Dua wartawan Tempo lainnya, Ahmad Taufik dan T. Iskandar Ali, diputuskan hakim untuk dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Hakim berpendapat, perbuatan yang dituduhkan terbukti, dan perbuatan itu tergolong melawan hukum pidana. Namun kesalahan tidak bisa ditimpakan karena bukan mereka yang harus menanggungnya. Yang harus bertanggung jawab cuma pemimpin redaksi, BHM saja. Padahal seharusnya hakim melepaskan ketiganya dari segala tuntutan hukum, karena perbuatan mereka sama, tak bisa dipersalahkan secara hukum.
Hakim terburu-buru memberlakukan pasal "menyiarkan berita bohong yang dengan sengaja menimbulkan keonaran dalam masyarakat". Soal sengaja, tentu saja majalah ini bisa dikatakan sengaja dalam arti aktif menulis, menyunting, dan mencetaknya. Namun tidak dibuktikan bahwa penulisan berita itu sengaja dimaksud agar masyarakat onar. Keonaran bukan akibat yang dikehendaki, bukan het oogmerk dari penulisan itu. Tambahan lagi, tidak jelas keonaran apa yang telah ditimbulkan, karena masyarakat tetap tenang, tidak onar.
Jika hakim keliru, sengaja atau tidak, maka harus dikoreksi dengan melawannya melalui upaya naik banding ke pengadilan yang lebih tinggi. Demi kebebasan pers, ke sanalah beramai kita pergi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo