TIGA orang intelektual muslim kita mengalami persamaan nasib di
negeri orang. Intelektual pertama adalah penganut pandangan
pluralistik dalam soal-soal keagamaan: mengakui pentingnya
perbedaan pandangan antarkelompok yang begitu banyak ragamnya.
Yang kedua penganut orthodoksi agama dalam artian yang tulen:
tidak keberatan orang menyatakan pendapat berbeda, tapi ia
sendiri tidak pernah mempertanyakan ajaran-ajaran formal
agamanya. Katakanlah 'intelektual kelas orang baik-baik'.
Yang ketiga adalah orang yang dulunya penganjur pembaharuan dan
kini berubah identitas, oleh kebutuhan politis. Lebih tepat
dinamai pluralistik kultural dan monolitik politis.
Dapat dibayangkan, selama perjalanan puluhan jam ke negeri asing
itu, ada beberapa kemungkinan yang terjadi antara mereka.
Mungkin mereka berdebat mempertahankan kecenderungan
masing-masing. Atau bermanis-manis membicarakan hal-hal yang
dapat disepakati. Atau sama sekali tidak berbicara apa pun di
bidang masalah keagamaan. Yang jelas, turun dari pesawat
terbang, masing-masing tetap berpegang pada pendirian sendiri.
Namun, pengalaman di negeri orang itu ternyata menyamakan sikap
mereka. Ketiga orang itu menolak mengikuti konperensi dan
seminar, ketika seorang tokoh separatis dari negerinya sendiri
diterima sebagai peserta. Tokoh separatis itu jelas akan dihukum
mati kalau tertangkap, dan dibawa ke pengadilan negerinya - yang
juga negeri mereka bertiga, Indonesia tercinta. Ia bisa selamat
dari hukuman mati karena menghilang dan muncul di luar negeri.
Antara lain dalam forum ilmiah di atas.
Mereka menolak kehadiran tokoh separatis itu, yang telah
menyengsarakan warga masyarakat di daerahnya. Juga yang membuat
Islam tetap dicurigai orang banyak sebagai masih memiliki
'aspirasi teokratik'. Duduk satu forum, walau jelas lain kursi,
tidak bisa dilakukan: dapat menjadi pengakuan diam-diam atas
kehadiran 'negara' separatis yang didirikan tokoh itu, walau
dalam kenyataan sudah tidak lagi ada. Mungkin tinggal dalam
aktentas yang dibawa tokoh separatis itu.
Ketika diajukan protes, penyelenggara forum berkeras mengakui
kehadiran tokoh itu. "Kalau kalian keberatan, kalian pergi saja
dari forum ini." Dan itulah yang dikerjakan mereka bertiga.
Dikeluarkan sebuah pernyataan protes, mereka menarik diri dari
forum dan peristiwanya berakhir di situ. Kecuali, tentunya,
bagi alat negara, yang masih harus mencari sebab: mengapa masih
juga kebobolan dalam diplomasi internasional.
Yang menarik bukanlah sikap protes ketiga intelektual itu.
Banyak orang protes di seluruh dunia setiap jam dan menit,
apalagi setiap harinya. Yang menarik adalah kenyataan menangnya
ikatan kebangsaan atas ikatan keagamaan. Bukan membentuk
persekutuan baru, untuk memperluas kesadaran, dengan tokoh
separatis yang menjadi orang keempat itu, mereka malah menutup
pintu bagi kehadirannya. Ikatan keagamaan sebagai sesama
'pejuang Islam' ternyata tidak mempersatukan mereka.
Dalam kabinet Republik Indonesia yang pertama, dikenal dengan
sebutan 'Kabinet Soekarno' yang berumur pendek, tidak disebut-
sebut nama Kementerian Agama. Baru dalam kabinet berikutnya
lembaga itu dicantumkan, dan sejak itu tidak pernah 'hilang dari
peredaran'. Kabinet kedua itu dikenal dengan sebutan 'Kabinet
Sjahrir'.
Mengapa Soekarno yang senang bergulat dengan pemikiran Islam
tidak mencantumkan Kementerian Agama, sedang Sjahrir yang
diklasifikasikan 'tokoh sekuler' justru menciptakannya? Karena
dorongan keimanan Sjahrir? Mustahil: tokoh ini tidak pernah
percaya keimanan dapat dikongkretkan ke dalam sebuah lembaga,
tanpa kehilangan kreativitas dan elannya. Lalu mengapa?
Sederhana saja sebabnya: kepentingan nasional. Tanpa Kementerian
Agama, 'golongan Islam' tidak dapat menerima kehadiran
pemerintah sah yang dipimpinnya. Dan sebagai pemimpin bangsa, ia
harus memperhatikan aspirasi kelompok-kelompok lain. Sedang
Soekarno tidak dihadapkan pada tuntutan itu, ketika membentuk
kabinet pertama. Atau, sctidak-tidaknya, tidak menganggap
penting aspirasi 'umat beragama' itu.
Ternyata kepentingan nasional memiliki hukum-hukumnya sendiri,
yang dalam banyak hal dapat 'dimanfaatkan' untuk kepentingan
agama. Ia dapat menciptakan ikatan kebangsaan untuk
mengkongkretkan hidup beragama. Tidak sebaliknya. Inilah
kenyataan penting yang harus selalu diingat, karena sekarang
muncul kembali kecenderungan menghadapkan rasa kebangsaan kepada
rasa keagamaan. Kedua-duanya adalah sektor kehidupan yang harus
saling berkait, kalau diinginkan kehidupan memiliki arti penuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini