Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Penulis riwayat-riwayat teladan

Bekas wartawan antara, pernah jadi wakil panyebar semangat, redaktur surabaya post, diangkat jadi perwakilan antara di beograd. sudah menulis 17 biografi. (tk)

24 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA kecewa. Karena, menurut dia, wartawan Indonesia sekarang lebih sering hanya menguntit di belakang para menteri dan pejabat negara, bergerombol ke sana ke mari. Lebih menyedihkan lagi, katanya, wartawan sekarang mudah disuap dengan amplop. Padahal dulu, di zamannya, wartawan adalah profesi yang membanggakan, bekerja tanpa pamrih. Soebagijo Ilham Notodidjojo, 59 tahun, lebih populer dengan sebutan Soebagijo I.N., memang pantas kecewa. Ia sudah ada di profesi itu sejak permulaan republik ini berdiri: karena itu, ia tahu benar bagaimana seharusnya seorang wartawan berperan. Bekerja keras dengan cita-cita dan sarana sederhana - tanpa sedikit pun kehilangan harga diri. "Tetapi sekarang . . . ," katanya tanpa melanjutkan. Ia memasuki dunia wartawan dengan menggabungkan diri dengan kantor berita Antara, pada 1946 di Yogyakarta. "Karena kami, para wartawan, merasa punya harga diri tinggi, kami bergaul erat dengan para pejabat tinggi, bahkan dengan siapa saja," katanya mengenang masa lalunya sebagai kuli tinta. Tapi pengalaman pertamanya sebagai wartawan yang paling berkesan adalah ketika menjadi satu-satunya wartawan yang meliput secara Iengkap pesawat karena ditembak Belanda di Yogya, 29 Juli 1947 - yang menewaskan tokoh AURI, Abdurrachman Saleh dan Adisutjipto. Beberapa saat setelah pesawat milik pengusaha India, Patnaik, yang membawa obat-obatan bagi republik ketika itu, jatuh, Soebagijo sudah berada di tempat kejadian. Reportasenya dinilai eksklusif. "Sebagai hadiah, saya menerima sepasang sepatu dari Mas Djawoto, pemimpin redaksi Antara waktu itu," katanya. Tahun 1946, Soebagijo pindah ke Surabaya. Di kota pahlawan ini, selain tetap sebagai wartawan Antara, ia menjabat wakil pemimpin redaksi Panjebar Semangat, majalah berbahasa Jawa yang bulan ini memperingati usia setengah abad. Sejak tahun 1953 sampai 1957 ia merangkap sebagai redaktur Surabaya Post. Namanya memang berada dalam deretan puncak di kalangan wartawan Indonesia saat itu. Ketika, tahun 1957, pemerintah Amerika Serikat mengundang dua wartawan Indonesia untuk mengunjungi negeri itu, Soebagijo terpilih bersama Adinegoro. Selama 3 bulan ia berkelana di Amerika. Sepulangnya, Soebagijo tinggal di Jakarta dan hanya bekerja di Antara. Tahun 1966 sampai 1968 ia diangkat menjadi kepala Perwakilan Antara di Beograd, Yugoslavia. Sebelum kembali ke tanah air, ia meneruskan perjalanan ke Arab dan sempat menunaikan ibadah haji. Sebelum dipensiunkan tahun 1981, di Antara ia menjabat kepala Perpustakaan, Riset, dan Dokumentasi. "Saya sangat kecewa ketika dipensiun. Saya pikir keputusan itu sangat politis sifatnya. Coba lihat, saya ini masih sehat, masih bisa menulis dan melakukan wawancara," katanya. "Saya jengkel betul, masih kuat sudah dipensiun." Ketika pensiun itu, ia mendapat hadiah bintang penghargaan dan uang Rp 15.000. "Bintang Itu disematkan, sampai di rumah saya Ietakkan - entah di mana sekarang," katanya sambil memperbaiki Ietak kopiah hitamnya. Pada mulanya Soebagijo adalah seorang sastrawan. Bakat itu dipupuknya sejak MULO di Blitar. Waktu itu, ayahnya, Ilham Notohadidjojo seorang guru di Blitar, berlangganan koran dengan sistem brandon - langganan secara patungan dan dibaca bergantian. Soebagijo kecil bertugas mengantarkan koran itu dari satu pembaca ke pembaca lainnya. "Di perjalanan saya sempat membaca koran itu," kata Pak SIN - panggilan akrab Soebagijo. Ia, waktu itu, menyukai rubrik sastra. Minat pada sastra itu ia kembangkan ketika bersekolah di Jakarta Kooto Shikan Gakho (sekolah guru tinggi). Ia mulai menulis sajak. Sajak pertamanya, dalam bahasa Jawa, dimuat Pandji Poestaka, 1 Agustus 1943. Ia mendapat honor Rp 2 50. "Waktu itu cukup untuk membeli 10 bungkus nasi," ujarnya. Ia juga menulis cerita pendek berbahasa Jawa. Penelaah sastra Jawa, J.J. Ras, dalam buku Javanese Literature Since Independence, terbitan The Hague-Martinus Nijhoff, 1978, menyebut Soebagijo sebagai pemimpin Angkatan Perintis dalam puisi Jawa. Jika kini anak ketiga Ilham Notodidjojo itu dikenal sebagai penulis biografi, ia mulai dengan biografi berbahasa Jawa. Buku biografi pertama, tahun 1952, tentang Ida Ayu Nyoman Rai, wanita Bali ibu kandung Presiden Soekarno. Judulnya Pengukir Djiwa Soekarno. Di tahun yang sama, ditulisnya buku kedua, biografi Soekarno. Kedua buku ini ditulis dengan modal hubungan pribadi yang erat dengan tokohnya. Keluarga Bung Karno dan keluarga Soebagijo, yang sama-sama ada di Blitar, memang berteman baik. Pengenalan secara pribadi ini pula yang melahirkan sejumlah buku biografi berikutnya. Sampai sekarang sudah 17 biografi ditulisnya. Dan dalam bulan-bulan terakhir ini ia sedang mengerjakan dua biografi sekaligus, tentang Adinegoro, yang diberi judul Nestor Jurnalis Indonesia ,dan Zainal Abidin Achmad, seorang tokoh politik Islam. Dalam menulis biografi, Soebagijo berpedoman pada "prinsip yang tak bisa ditawar". Yaitu, "saya hanya akan menuliskan yang baik-baik saja tentang diri seseorang. Menurut saya, hal yang tidak baik tak perlu ditulis," katanya, sebab "menuliskan biografi seseorang untuk mengambil suri teladan yang baik." Soebagijo, yang melewati masa tuanya dengan pensiun Rp 95.000 sebulan, masih mencari "tambahan" dengan menulis artikel untuk berbagai koran di Jakarta dan beberapa daerah. Setiap pagi ayah enam anak ini masih gesit berjalan kaki 5 km. Wartawan tua yang rajin bersembahyang ini selalu menyapa anak-anak dan ketiga cucunya dengan assalamu'alaikum setiap kali mereka berkunjung ke rumahnya, di Pejompongan, Jakarta Pusat. Ia memang betah bercerita berjam-jam tentang kewartawanan. Hanya satu yang ia hindari: "Jangan menulis tentang istri saya, sedikit pun nanti bisa rame rumah ini," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus