IA kecewa. Karena, menurut dia, wartawan Indonesia sekarang
lebih sering hanya menguntit di belakang para menteri dan
pejabat negara, bergerombol ke sana ke mari. Lebih menyedihkan
lagi, katanya, wartawan sekarang mudah disuap dengan amplop.
Padahal dulu, di zamannya, wartawan adalah profesi yang
membanggakan, bekerja tanpa pamrih.
Soebagijo Ilham Notodidjojo, 59 tahun, lebih populer dengan
sebutan Soebagijo I.N., memang pantas kecewa. Ia sudah ada di
profesi itu sejak permulaan republik ini berdiri: karena itu, ia
tahu benar bagaimana seharusnya seorang wartawan berperan.
Bekerja keras dengan cita-cita dan sarana sederhana - tanpa
sedikit pun kehilangan harga diri. "Tetapi sekarang . . . ,"
katanya tanpa melanjutkan.
Ia memasuki dunia wartawan dengan menggabungkan diri dengan
kantor berita Antara, pada 1946 di Yogyakarta. "Karena kami,
para wartawan, merasa punya harga diri tinggi, kami bergaul
erat dengan para pejabat tinggi, bahkan dengan siapa saja,"
katanya mengenang masa lalunya sebagai kuli tinta. Tapi
pengalaman pertamanya sebagai wartawan yang paling berkesan
adalah ketika menjadi satu-satunya wartawan yang meliput secara
Iengkap pesawat karena ditembak Belanda di Yogya, 29 Juli 1947 -
yang menewaskan tokoh AURI, Abdurrachman Saleh dan Adisutjipto.
Beberapa saat setelah pesawat milik pengusaha India, Patnaik,
yang membawa obat-obatan bagi republik ketika itu, jatuh,
Soebagijo sudah berada di tempat kejadian. Reportasenya dinilai
eksklusif. "Sebagai hadiah, saya menerima sepasang sepatu dari
Mas Djawoto, pemimpin redaksi Antara waktu itu," katanya.
Tahun 1946, Soebagijo pindah ke Surabaya. Di kota pahlawan ini,
selain tetap sebagai wartawan Antara, ia menjabat wakil pemimpin
redaksi Panjebar Semangat, majalah berbahasa Jawa yang bulan ini
memperingati usia setengah abad. Sejak tahun 1953 sampai 1957 ia
merangkap sebagai redaktur Surabaya Post.
Namanya memang berada dalam deretan puncak di kalangan wartawan
Indonesia saat itu. Ketika, tahun 1957, pemerintah Amerika
Serikat mengundang dua wartawan Indonesia untuk mengunjungi
negeri itu, Soebagijo terpilih bersama Adinegoro. Selama 3 bulan
ia berkelana di Amerika. Sepulangnya, Soebagijo tinggal di
Jakarta dan hanya bekerja di Antara.
Tahun 1966 sampai 1968 ia diangkat menjadi kepala Perwakilan
Antara di Beograd, Yugoslavia. Sebelum kembali ke tanah air, ia
meneruskan perjalanan ke Arab dan sempat menunaikan ibadah haji.
Sebelum dipensiunkan tahun 1981, di Antara ia menjabat kepala
Perpustakaan, Riset, dan Dokumentasi. "Saya sangat kecewa ketika
dipensiun. Saya pikir keputusan itu sangat politis sifatnya.
Coba lihat, saya ini masih sehat, masih bisa menulis dan
melakukan wawancara," katanya. "Saya jengkel betul, masih kuat
sudah dipensiun."
Ketika pensiun itu, ia mendapat hadiah bintang penghargaan dan
uang Rp 15.000. "Bintang Itu disematkan, sampai di rumah saya
Ietakkan - entah di mana sekarang," katanya sambil memperbaiki
Ietak kopiah hitamnya.
Pada mulanya Soebagijo adalah seorang sastrawan. Bakat itu
dipupuknya sejak MULO di Blitar. Waktu itu, ayahnya, Ilham
Notohadidjojo seorang guru di Blitar, berlangganan koran
dengan sistem brandon - langganan secara patungan dan dibaca
bergantian. Soebagijo kecil bertugas mengantarkan koran itu dari
satu pembaca ke pembaca lainnya. "Di perjalanan saya sempat
membaca koran itu," kata Pak SIN - panggilan akrab Soebagijo.
Ia, waktu itu, menyukai rubrik sastra.
Minat pada sastra itu ia kembangkan ketika bersekolah di Jakarta
Kooto Shikan Gakho (sekolah guru tinggi). Ia mulai menulis
sajak. Sajak pertamanya, dalam bahasa Jawa, dimuat Pandji
Poestaka, 1 Agustus 1943. Ia mendapat honor Rp 2 50.
"Waktu itu cukup untuk membeli 10 bungkus nasi," ujarnya.
Ia juga menulis cerita pendek berbahasa Jawa. Penelaah sastra
Jawa, J.J. Ras, dalam buku Javanese Literature Since
Independence, terbitan The Hague-Martinus Nijhoff, 1978,
menyebut Soebagijo sebagai pemimpin Angkatan Perintis dalam
puisi Jawa.
Jika kini anak ketiga Ilham Notodidjojo itu dikenal sebagai
penulis biografi, ia mulai dengan biografi berbahasa Jawa. Buku
biografi pertama, tahun 1952, tentang Ida Ayu Nyoman Rai, wanita
Bali ibu kandung Presiden Soekarno. Judulnya Pengukir Djiwa
Soekarno. Di tahun yang sama, ditulisnya buku kedua, biografi
Soekarno.
Kedua buku ini ditulis dengan modal hubungan pribadi yang erat
dengan tokohnya. Keluarga Bung Karno dan keluarga Soebagijo,
yang sama-sama ada di Blitar, memang berteman baik. Pengenalan
secara pribadi ini pula yang melahirkan sejumlah buku biografi
berikutnya. Sampai sekarang sudah 17 biografi ditulisnya. Dan
dalam bulan-bulan terakhir ini ia sedang mengerjakan dua
biografi sekaligus, tentang Adinegoro, yang diberi judul Nestor
Jurnalis Indonesia ,dan Zainal Abidin Achmad, seorang tokoh
politik Islam.
Dalam menulis biografi, Soebagijo berpedoman pada "prinsip yang
tak bisa ditawar". Yaitu, "saya hanya akan menuliskan yang
baik-baik saja tentang diri seseorang. Menurut saya, hal yang
tidak baik tak perlu ditulis," katanya, sebab "menuliskan
biografi seseorang untuk mengambil suri teladan yang baik."
Soebagijo, yang melewati masa tuanya dengan pensiun Rp 95.000
sebulan, masih mencari "tambahan" dengan menulis artikel untuk
berbagai koran di Jakarta dan beberapa daerah. Setiap pagi ayah
enam anak ini masih gesit berjalan kaki 5 km. Wartawan tua yang
rajin bersembahyang ini selalu menyapa anak-anak dan ketiga
cucunya dengan assalamu'alaikum setiap kali mereka berkunjung ke
rumahnya, di Pejompongan, Jakarta Pusat. Ia memang betah
bercerita berjam-jam tentang kewartawanan. Hanya satu yang ia
hindari: "Jangan menulis tentang istri saya, sedikit pun nanti
bisa rame rumah ini," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini