Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Da'wah, giliran para penelaah

Pengarang: amrullah achmad (ed) yogyakarta: prima duta, 1983 resensi oleh: syu'bah asa. (bk)

24 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAKWAH ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL Oleh: Amrullah Achmad (ed.) Penerbit: Prima Duta, Yogyakarta, 1983 326 hlm (+indeks) GUNCANGAN perubahan cukup keras dirasakan, tapi da'wah Islam tetap saja tidak bergerak. Sebuah seminar nasional tentang da'wah, yang diselenggarakan di Yogyakarta Agustus tahun lalu, dan berkasnya diterbitkan dalam wujud buku ini, mencoba mengidentifikasikan masalahnya dan berusaha menerobos situasi kemandekan itu. Menarik, para peserta seminar yang dominan bukan tokoh-tokoh yang diketahui sebagai orang da'wah lapangan. Melainkan mereka yang dikenal punya kualitas tertentu dalam hal pengamatan sosial, yang - seperti bisa dibaca nama-namanya pada sampul buku - boleh ekonom, scientist, sejarawan, penyuluh pertanian, dosen, seniman, selain ilmuwan agama. Singkatnya, orang-orang yang tampak lebih mewakili sayap 'perubahan'-nya dibanding sayap 'da'wah'nya. Dengan itu, Pusat Latihan, Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (PLP2M), yang menyelenggarakan seminar ini, berusaha memungut kenyataan di medan, bukan yang hidup hanya dalam lingkungan da'i alias juru da'wah. Dan kenyataan yang dilihat hampir semua peserta itu boleh dikatakan semuanya tidak menggembirakan. Pertama-tama, perubahan sosial memang hal yang tak boleh tidak. Tapi masalahnya: ke mana. Yang kelihatan sekarang ini, modernisasi yang menggerakkan perubahan itu "sepertinya tidak berangkat dari sejarah kita sendiri, melainkan sejarah bangsa-bangsa lain yang dahulu menjajah kita" - kata Dawam Rahardjo, 42 tahun, direktur LP3ES, dalam makalah. Memang terasa bangkitnya kembali masalah Barat-Timur yang klasik itu. Juga bila Umar Kayam, 51 tahun, bekas ketua Dewan Kesenian Jakarta dan bekas direktur jenderal RTF, menyebut 'kuman-kuman Eropa' yang dinyatakan berbeda dari 'kuman-kuman kita'. Atau menyinggung kemampuan modal budaya kita sebagai bekal modernitas yang sekarang ini "sedang diuji". Lebih langsung hubungannya dengan agama, Abdurrahman Wahid, 43 tahun, menyebut betapa yang dihadapi da'wah Islam sekarang ini tidak kurang dari paham-paham dasar di dunia - dengan landasan filosofis yang "masih sepenuhnya materialistis". Dan landasan filosofis itulah - materialisme, positivisme, saintisme - yang, menurut Dawam, tidak kita sadari ketika kita "menuju ke suatu model masa depan berdasar pengalaman Barat." Untunglah, pembangunan kita tidak semata menekankan diri pada aspek materi. Ada 'pembangunan spiritual', ada istilah 'manusia seutuhnya', yang setidak-tidaknya menunjukkan kemauan yang sebenarnya. Hanya, pendekatan kepada yang materi dan spirit itu dilakukan, agaknya, kotak per kotak - dan dengan itu pula bisa diberikan prioritas kepada kotak tertentu pada waktu tertentu. Dan bukn yang spiritual itu dimasukkan ke dalam, misalnya, atau dijadikan landasan, bagi yang materiil. Agaknya itulah yang dimaksud Amrullah Ahmad, 29 tahun, direktur PLP2M, ketika dalam pendahuluan-panjang buku ini mencatat aspek religius yang "tidak menjadi ukuran untuk menentukan pembangunan suatu bangsa" - di kebanyakan negeri berkembang. Dan buah dari beleid di atas itu, jatuhnya di kalangan rakyat alias sasaran da'wah sama-sama diketahui. Seorang dosen Psikologi UGM, Asip F Hadipranata, 43 tahun, merasakan kehidupan yang dilanda oleh "gelombang (mengejar) kepuasan materiil yang cukup menggoyahkan kebahagiaan spiritual". Kuntowijoyo, 40 tahun, dosen Sejarah UGM, melihat ancaman tumbuhnya jenis hubungan impersonal akibat tekanan urbanisasi yang keras. Dan akibat perubahan orientasi dengan cara melompat, dengan bekal kondisi yang sebenarnya berbeda, serta absennya agama dari penentuan kebijaksanaan umum, bisa dipahami bila tumbuh kebingungan orang kapan saja ditanya tentang nilai-nilai. Yang terakhir itu barangkali yang paling langsung dilihat oleh mata da'wah. Dan da'wah tidak sama sekali diam, sebenarnya. Setidak-tidaknya para kiai memberi kekuatan kepada umat untuk bertahan - dengan kemungkinan bobol terus-terusan. Yahya Muhaimin, 40 tahun, dosen Sospol UGM bahkan menilai positif peranan para da'i yang mengkhotbahkan partisipasi politik aktif, sebagai suatu bentuk kontrol sosial. Betapa pun, semuanya hanya menunjukkan bahwa da'wah tidak menubah apa pun. Yang diserang sebagian khatib itu, misalnya, hanyalah bentuk-bentuk - sementara akar masalahnya tak selalu mereka kuasai. Boroboro memberikan dasar filosofi bagi perubahan sosial - menjembatani "apa yang nyata-nyata terjadi" dengan apa yang seharusnya terjadi" saja tak mampu. Pemikiran da'wah, seperti di tulis Amrullah Achmad, masih saja di warnai pendekatan deduktif: penjabaran ayat atau hadis dalam satu pengertian yang "tanpa analisa lebih lanjut yang didukung oleh pengamatan induktif". Dalam pada itu tenaga da'wah sendiri belum "profesional": semuanya sambilan. Bisa dipaahami bila sasaran kerja juga tak jelas: hampir semua perkumpulan da'wah "mengambil semua bidang, namun akhirnya tidak mengerjakan semua bidang" - dikatakan oleh peserta diskusi, Usep Fathuddien, 43 tahun, dari Direktorat Penerangan Agama Departemen Agama. Dan tidak adanya konsistensi dalam mengamati permasalahan da'wah menyebabkan tokoh muda, seperti Amrullah, sampai mengkhawatirkan bahwa pelan-pelan "Islam semakin tidak mengakar dalam sistem sosial budaya". Tapi kenapa? Karena cara pemahaman Islam yang usang, yang perlu ditangani dengan pembaruan? Bisa ditebak, memang, absennya agama dari penentuan kebiaksanaan umum, sepanjang dikonstatir forum ini, selain diakibatkan oleh sebab-sebab semata politik juga layaknya oleh kebekuan - dan akhirnya kekakuan - bentuk-bentuk pelahiran Islam itu. PLP2M kelihatan sadar pada kenyataan sekitar ini ketika memberi tempat makalah tentang pembaharuan pemahaman Islam, dari Dawam Rahardjo, sebagai karangan pertama dalam buku. Dan Dawam, yang menyatakan melihat semacam krisis kepercayaan pada lapisan tertentu terhadap konsep-konsep lama keagamaan (dan ia menyebut pemikiran Ahmad Wahib sebagai cerminan), memang bicara bagus. Tidak seluruhnya berhubungan dengan keperluan jangka pendek da'wah (Dawam misalnya mengajukan syarat pertama konsep pembaharuan itu sebagai kemampuan menyajikan "alternatif untuk melihat dunia", dengan kata lain "harus radikal"), toh sikap bekas aktivis HMI ini bergabung dengan kehendak operasional ketika ia menawarkan dua syarat selebihnya. Yakni: kemampuan memberi dorongan untuk berbuat dan melakukan perubahan - "tidak (hanya) bersifat kritikal, tapi juga motivasional" - dan kemampuan menghilangkan ketidakpercayaan diri sendiri. Dawam memang belum bicara soal materi pembaharuan. Tapi kalau saja bisa terjadi perubahan orientasi, setidaknya usaha penggantian semangat 'semata deduktif' dengan yang sebaliknya, barangkali saja'pelajaran' yang didapat dari medan bisa diharap menyeret penafsiran statis materi-materi keagamaan ke daerah pemahaman yang Iebih relevan. Belum esensial, tentu. Tetapi bahkan situasi yang lebih mendesak telah mendorong sebagian penyaji makalah - dan pembicara dalam diskusi, yang merupakan seksi-seksi tersendiri - untuk sampai kepada metode praktis. Kuntowijoyo, misalnya, mcngusulkan kemungkinan memikirkan pelaksanaan da'wah yang berbeda untuk masyarakat kota dan desa. Jika di kota memang mulai terasa kejenuhan terhadap gejala-gejala modern, seperti dibuktikan oleh masuknya kebatinan dan pedukunan, "mengapa tidak mencoba menyuburkan ilmu tasauf dan tarekat?" Atau lagu puji-pujian bersama, seperti yang terdengar di langgar kampung? Sebaliknya, jika masyarakat desa memang diliputi suasana esoteris dan estetis, ia mengusulkan pendekatan etis yang mementingkan urusan kemasyarakatan: persoalan umat dan manusia tidak hanya sebagai unit keagamaan, melainkan juga unit sosial. Usul Ace Partadireja, 48 tahun, guru besar Ekonomi Pertanian UGM, dalam pada itu mnyinggung problem pengertian 'da'wah' yang selama ini dipahami secara sempit hanya sebagai tablig, pidato, khotbah, pengajian, alias bicara. Amrullah dalam pengantar juga membicarakan hal itu. Padahal, menurut anggota tim ahli Bimas Departemen Pertanian ini, buat sebagian besar rakyat Indonesia "yang masih di bawah tingkat kemiskinan absolut", medium lisan itu sebenarnya "tidak efektif". Ia pun menyorongkan cara lain: usaha pemenuhan 'enam kebutuhan pokok' - yang bisa diwujudkan dalam skala kecil namun banyak. Usep Fathuddien yang tadi, yang juga sekretaris Yayasan Pendidikan Tinggi Da'wah Islam (PTDI), menyebutkan dari 60 sampai 70 lembaga da'wah Islam tingkat nasional yang ada, mungkin hanya dua sampai lima "yang betul-betul berpijak pada bidang pemenuhan kebutuhan pokok. "Padahal, seperti ditulis dalam rangkuman hasil, kaum muslimin yang mayoritasnya (80%) hidup di pedesaan, misalnya, hampir tidak tergarap - tidak saja dengan da'wah pemahaman Islam, melainkan juga dengan pendidikan dan perolehan kehidupan sosial ekonomi yang layak. Sejalan dengan itu, Mubyarto, direktur Pendidikan Pasca Sarjana FE-UGM yang tempo hari terkenal dengan 'Ekonomi Pancasila'-nya, dalam makalahnya tentang keadilan sosial dalam Islam meminta perhatian pada pelaksanaan zakat. Di antara perumusan hasil seminar maupun diskusi, di akhir buku, terpenting disebut adalah kesimpulan-kesimpulan sekitar sistem dan ilmu da'wah. Sebab, akar kemelut, seperti kembali dikatakan Amrullah, tak lain memang kekosongan pemikiran da'wah sebagai llmu. Jangan sebut pula peranan perguruan tinggi, yang tidak punya kerja sama fungsional dengan lembaga da'wah. Dari kelangkaan ilmu itulah muncul kelangkaan obyek kajian, kelangkaan sistem, kelangkaan teori makro dan mikro, metodologi penelitian, juga subdisiplin ilmu. Amrullah sendiri mendaftarkan ll buku asing dan menyebut adanya 50-an karya dalam negeri yang berisi usaha pemikiran da'wah sebagai ilmu. Tapi justru dari situ tampak, menurut dia, belum adanya wawasan epistemologi dan kerangka yang dimaksud. Maka, hasil akhir itu pun menyajikan pula ancar-ancar perangkat operasional ini, seperti ditulis di situ, "diharapkan dapat mcnjadi kerangka bertindak", selain pendorong kesatuan gerak bagi Iembaga da'wah dan perguruan tinggi. Syu'bah Asa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus