DAKWAH ISLAM DAN PERUBAHAN SOSIAL
Oleh: Amrullah Achmad (ed.) Penerbit: Prima Duta, Yogyakarta,
1983 326 hlm (+indeks)
GUNCANGAN perubahan cukup keras dirasakan, tapi da'wah Islam
tetap saja tidak bergerak. Sebuah seminar nasional tentang
da'wah, yang diselenggarakan di Yogyakarta Agustus tahun lalu,
dan berkasnya diterbitkan dalam wujud buku ini, mencoba
mengidentifikasikan masalahnya dan berusaha menerobos situasi
kemandekan itu.
Menarik, para peserta seminar yang dominan bukan tokoh-tokoh
yang diketahui sebagai orang da'wah lapangan. Melainkan mereka
yang dikenal punya kualitas tertentu dalam hal pengamatan
sosial, yang - seperti bisa dibaca nama-namanya pada sampul buku
- boleh ekonom, scientist, sejarawan, penyuluh pertanian, dosen,
seniman, selain ilmuwan agama. Singkatnya, orang-orang yang
tampak lebih mewakili sayap 'perubahan'-nya dibanding sayap
'da'wah'nya. Dengan itu, Pusat Latihan, Penelitian dan
Pengembangan Masyarakat (PLP2M), yang menyelenggarakan seminar
ini, berusaha memungut kenyataan di medan, bukan yang hidup
hanya dalam lingkungan da'i alias juru da'wah.
Dan kenyataan yang dilihat hampir semua peserta itu boleh
dikatakan semuanya tidak menggembirakan. Pertama-tama, perubahan
sosial memang hal yang tak boleh tidak. Tapi masalahnya: ke
mana. Yang kelihatan sekarang ini, modernisasi yang menggerakkan
perubahan itu "sepertinya tidak berangkat dari sejarah kita
sendiri, melainkan sejarah bangsa-bangsa lain yang dahulu
menjajah kita" - kata Dawam Rahardjo, 42 tahun, direktur LP3ES,
dalam makalah.
Memang terasa bangkitnya kembali masalah Barat-Timur yang klasik
itu. Juga bila Umar Kayam, 51 tahun, bekas ketua Dewan Kesenian
Jakarta dan bekas direktur jenderal RTF, menyebut 'kuman-kuman
Eropa' yang dinyatakan berbeda dari 'kuman-kuman kita'. Atau
menyinggung kemampuan modal budaya kita sebagai bekal modernitas
yang sekarang ini "sedang diuji".
Lebih langsung hubungannya dengan agama, Abdurrahman Wahid, 43
tahun, menyebut betapa yang dihadapi da'wah Islam sekarang ini
tidak kurang dari paham-paham dasar di dunia - dengan landasan
filosofis yang "masih sepenuhnya materialistis". Dan landasan
filosofis itulah - materialisme, positivisme, saintisme - yang,
menurut Dawam, tidak kita sadari ketika kita "menuju ke suatu
model masa depan berdasar pengalaman Barat."
Untunglah, pembangunan kita tidak semata menekankan diri pada
aspek materi. Ada 'pembangunan spiritual', ada istilah 'manusia
seutuhnya', yang setidak-tidaknya menunjukkan kemauan yang
sebenarnya. Hanya, pendekatan kepada yang materi dan spirit itu
dilakukan, agaknya, kotak per kotak - dan dengan itu pula bisa
diberikan prioritas kepada kotak tertentu pada waktu tertentu.
Dan bukn yang spiritual itu dimasukkan ke dalam, misalnya, atau
dijadikan landasan, bagi yang materiil. Agaknya itulah yang
dimaksud Amrullah Ahmad, 29 tahun, direktur PLP2M, ketika dalam
pendahuluan-panjang buku ini mencatat aspek religius yang "tidak
menjadi ukuran untuk menentukan pembangunan suatu bangsa" - di
kebanyakan negeri berkembang.
Dan buah dari beleid di atas itu, jatuhnya di kalangan rakyat
alias sasaran da'wah sama-sama diketahui. Seorang dosen
Psikologi UGM, Asip F Hadipranata, 43 tahun, merasakan kehidupan
yang dilanda oleh "gelombang (mengejar) kepuasan materiil yang
cukup menggoyahkan kebahagiaan spiritual". Kuntowijoyo, 40
tahun, dosen Sejarah UGM, melihat ancaman tumbuhnya jenis
hubungan impersonal akibat tekanan urbanisasi yang keras. Dan
akibat perubahan orientasi dengan cara melompat, dengan bekal
kondisi yang sebenarnya berbeda, serta absennya agama dari penentuan
kebijaksanaan umum, bisa dipahami bila tumbuh kebingungan orang
kapan saja ditanya tentang nilai-nilai.
Yang terakhir itu barangkali yang paling langsung dilihat oleh
mata da'wah. Dan da'wah tidak sama sekali diam, sebenarnya.
Setidak-tidaknya para kiai memberi kekuatan kepada umat untuk
bertahan - dengan kemungkinan bobol terus-terusan. Yahya
Muhaimin, 40 tahun, dosen Sospol UGM bahkan menilai positif
peranan para da'i yang mengkhotbahkan partisipasi politik aktif,
sebagai suatu bentuk kontrol sosial.
Betapa pun, semuanya hanya menunjukkan bahwa da'wah tidak
menubah apa pun. Yang diserang sebagian khatib itu, misalnya,
hanyalah bentuk-bentuk - sementara akar masalahnya tak selalu
mereka kuasai. Boroboro memberikan dasar filosofi bagi perubahan
sosial - menjembatani "apa yang nyata-nyata terjadi" dengan apa
yang seharusnya terjadi" saja tak mampu. Pemikiran da'wah,
seperti di tulis Amrullah Achmad, masih saja di warnai
pendekatan deduktif: penjabaran ayat atau hadis dalam satu
pengertian yang "tanpa analisa lebih lanjut yang didukung oleh
pengamatan induktif". Dalam pada itu tenaga da'wah sendiri belum
"profesional": semuanya sambilan.
Bisa dipaahami bila sasaran kerja juga tak jelas: hampir semua
perkumpulan da'wah "mengambil semua bidang, namun akhirnya tidak
mengerjakan semua bidang" - dikatakan oleh peserta diskusi, Usep
Fathuddien, 43 tahun, dari Direktorat Penerangan Agama
Departemen Agama. Dan tidak adanya konsistensi dalam mengamati
permasalahan da'wah menyebabkan tokoh muda, seperti Amrullah,
sampai mengkhawatirkan bahwa pelan-pelan "Islam semakin tidak
mengakar dalam sistem sosial budaya".
Tapi kenapa? Karena cara pemahaman Islam yang usang, yang perlu
ditangani dengan pembaruan? Bisa ditebak, memang, absennya agama
dari penentuan kebiaksanaan umum, sepanjang dikonstatir forum
ini, selain diakibatkan oleh sebab-sebab semata politik juga
layaknya oleh kebekuan - dan akhirnya kekakuan - bentuk-bentuk
pelahiran Islam itu.
PLP2M kelihatan sadar pada kenyataan sekitar ini ketika memberi
tempat makalah tentang pembaharuan pemahaman Islam, dari Dawam
Rahardjo, sebagai karangan pertama dalam buku. Dan Dawam, yang
menyatakan melihat semacam krisis kepercayaan pada lapisan
tertentu terhadap konsep-konsep lama keagamaan (dan ia menyebut
pemikiran Ahmad Wahib sebagai cerminan), memang bicara bagus.
Tidak seluruhnya berhubungan dengan keperluan jangka pendek
da'wah (Dawam misalnya mengajukan syarat pertama konsep
pembaharuan itu sebagai kemampuan menyajikan "alternatif untuk
melihat dunia", dengan kata lain "harus radikal"), toh sikap
bekas aktivis HMI ini bergabung dengan kehendak operasional
ketika ia menawarkan dua syarat selebihnya. Yakni: kemampuan
memberi dorongan untuk berbuat dan melakukan perubahan - "tidak
(hanya) bersifat kritikal, tapi juga motivasional" - dan
kemampuan menghilangkan ketidakpercayaan diri sendiri.
Dawam memang belum bicara soal materi pembaharuan. Tapi kalau
saja bisa terjadi perubahan orientasi, setidaknya usaha
penggantian semangat 'semata deduktif' dengan yang sebaliknya,
barangkali saja'pelajaran' yang didapat dari medan bisa diharap
menyeret penafsiran statis materi-materi keagamaan ke daerah
pemahaman yang Iebih relevan.
Belum esensial, tentu. Tetapi bahkan situasi yang lebih mendesak
telah mendorong sebagian penyaji makalah - dan pembicara dalam
diskusi, yang merupakan seksi-seksi tersendiri - untuk sampai
kepada metode praktis. Kuntowijoyo, misalnya, mcngusulkan
kemungkinan memikirkan pelaksanaan da'wah yang berbeda untuk
masyarakat kota dan desa.
Jika di kota memang mulai terasa kejenuhan terhadap
gejala-gejala modern, seperti dibuktikan oleh masuknya kebatinan
dan pedukunan, "mengapa tidak mencoba menyuburkan ilmu tasauf
dan tarekat?" Atau lagu puji-pujian bersama, seperti yang
terdengar di langgar kampung? Sebaliknya, jika masyarakat desa
memang diliputi suasana esoteris dan estetis, ia mengusulkan
pendekatan etis yang mementingkan urusan kemasyarakatan:
persoalan umat dan manusia tidak hanya sebagai unit keagamaan,
melainkan juga unit sosial.
Usul Ace Partadireja, 48 tahun, guru besar Ekonomi Pertanian
UGM, dalam pada itu mnyinggung problem pengertian 'da'wah'
yang selama ini dipahami secara sempit hanya sebagai tablig,
pidato, khotbah, pengajian, alias bicara. Amrullah dalam
pengantar juga membicarakan hal itu. Padahal, menurut anggota
tim ahli Bimas Departemen Pertanian ini, buat sebagian besar
rakyat Indonesia "yang masih di bawah tingkat kemiskinan
absolut", medium lisan itu sebenarnya "tidak efektif".
Ia pun menyorongkan cara lain: usaha pemenuhan 'enam kebutuhan
pokok' - yang bisa diwujudkan dalam skala kecil namun banyak.
Usep Fathuddien yang tadi, yang juga sekretaris Yayasan
Pendidikan Tinggi Da'wah Islam (PTDI), menyebutkan dari 60
sampai 70 lembaga da'wah Islam tingkat nasional yang ada,
mungkin hanya dua sampai lima "yang betul-betul berpijak pada
bidang pemenuhan kebutuhan pokok. "Padahal, seperti ditulis
dalam rangkuman hasil, kaum muslimin yang mayoritasnya (80%)
hidup di pedesaan, misalnya, hampir tidak tergarap - tidak saja
dengan da'wah pemahaman Islam, melainkan juga dengan pendidikan
dan perolehan kehidupan sosial ekonomi yang layak.
Sejalan dengan itu, Mubyarto, direktur Pendidikan Pasca Sarjana
FE-UGM yang tempo hari terkenal dengan 'Ekonomi Pancasila'-nya,
dalam makalahnya tentang keadilan sosial dalam Islam meminta
perhatian pada pelaksanaan zakat.
Di antara perumusan hasil seminar maupun diskusi, di akhir buku,
terpenting disebut adalah kesimpulan-kesimpulan sekitar sistem
dan ilmu da'wah. Sebab, akar kemelut, seperti kembali dikatakan
Amrullah, tak lain memang kekosongan pemikiran da'wah sebagai
llmu. Jangan sebut pula peranan perguruan tinggi, yang tidak
punya kerja sama fungsional dengan lembaga da'wah.
Dari kelangkaan ilmu itulah muncul kelangkaan obyek kajian,
kelangkaan sistem, kelangkaan teori makro dan mikro, metodologi
penelitian, juga subdisiplin ilmu. Amrullah sendiri mendaftarkan
ll buku asing dan menyebut adanya 50-an karya dalam negeri yang
berisi usaha pemikiran da'wah sebagai ilmu. Tapi justru dari
situ tampak, menurut dia, belum adanya wawasan epistemologi dan
kerangka yang dimaksud.
Maka, hasil akhir itu pun menyajikan pula ancar-ancar perangkat
operasional ini, seperti ditulis di situ, "diharapkan dapat
mcnjadi kerangka bertindak", selain pendorong kesatuan gerak
bagi Iembaga da'wah dan perguruan tinggi.
Syu'bah Asa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini