TAHUN depan para pengusaha tampaknya tak perlu lagi ribut
menagih kelebihan pembayaran MPO (Menghitung Pajak Orang)
sesudah perhitungan pajak rampung selesai dilakukan. Bagian dari
pembayaran PPs (Pajak Perseroan) yang dibayar di muka itu,
menurut pengalaman, ternyata sering disetor melampaui ketetapan
PPs-nya sendiri. Pengalaman menjengkelkan itu agaknya tak akan
terulang lagi jika PPs, MPO, PPn (Pajak Penjualan), dan PBDR
(Pajak atas Buna, Dividen, dan Royalti) kelak disederhanakan di
bawah satu nama.
Penyederhanaan tentang jenis pajak itu, menurut Menteri Keuangan
Radius Prawiro pekan lalu di DPR, akan dimuat dalam RUU baru
mengenai perpajakan. Dalam pembaharuan itu, katanya, juga akan
dilakukan penyederhanaan tarif. Dia memberi contoh PPn (Pajak
Penjualan), yang kini tarifnya 10 macam, kelak akan
disederhanakan menjadi dua macam: untuk pajak barang umum dan
barang mewah.
Dengan pembaharuan itu, pemerintah tampaknya berusaha
menghindari terjadinya pemungutan pajak berganda yang biasanya
terjadi pada suatu industri perakitan yang masih perlu mengimpor
bahan baku. Sebab, sesudah terkena bea masuk dan pajak impor,
para pengusaha itu biasanya dikenai pula PPn dan MPO yang tinggi
(pada kendaraan bermotor) ketika menjual hasil rakitannya.
Pengenaan pajak yang cukup rumit itu sudah sejak lama dikeluhkan
para pengusaha.
Dalam ketentuan baru kelak, pelaporan dan pembayaran pajak akan
dilakukan sepenuhnya oleh waiib pajak. Dengan cara itu, demikian
Menteri Radius, Kantor Inspeksi Pajak bisa punya waktu lebih
banyak untuk melakukan pengawasan.
Apakah dengan pola baru itu pemerintah bisa meningkatkan jumlah
wajib pajak yang dianggap masih sedikit, belum jelas benar.
Menurut Menteri, jumlah wajib pajak PPd (Pajak Pendapatan)
usahawan: 317 ribu, PPd buruh 85 ribu, MPO 31 ribu, PPn 105
ribu, PPs swasta 73 ribu, dan PPs perusahaan negara 236 buah.
"Mereka merupakan wajib pajak terdaftar yang sudah diverifikasi
dan ditetapkan pajak-rampungnya," kata Radius.
Bagaimana koperasi? Koperasi, menurut Radius, hakikatnya juga
wajib pajak. "Kalau labanya tidak besar, kami punya tarif
rendah. Tapi kalau labanya sampai Rp 100 miIyar, tentu koperasi
harus membagi keuntungan pada negara," jawabnya. Kemungkinan
seperti itu jelas ada mengingat bisnis koperasi kini sudah
rupa-rupa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini