Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Agar ekonomi tak lesu darah

24 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROGRAM pengampunan pajak yang diselenggarakan hingga Maret 2017 merupakan harapan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi kita. Pemerintah boleh bungah terhadap tambahan pendapatan dari dana tebusan, tapi prestasi itu hendaklah tidak membuat kerja berhenti.

Hingga akhir September lalu, Rp 93,6 triliun dana tebusan sudah terkumpul. Angka ini masih jauh dari target Rp 165 triliun yang dipatok pemerintah. Seraya mengejar sasaran, Direktorat Jenderal Pajak selayaknya memanfaatkan perluasan basis pajak untuk peningkatan pendapatan pada tahun depan.

Pemerintah rencananya menggunakan tambahan dana dari amnesti pajak untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur—andalan untuk mengerek pertumbuhan ekonomi. Dalam situasi ekonomi dunia yang cenderung landai, target pertumbuhan 5,1 persen pada 2017 memang cukup realistis. Tentu angka ini masih di bawah janji Presiden Joko Widodo meningkatkan pertumbuhan ekonomi 7 persen pada akhir pemerintahannya.

Percepatan pembangunan infrastruktur tentu berdampak positif pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, pemerintah selayaknya membuka peluang lebih lebar kepada swasta melalui skema public private partnership. Kebijakan ini akan membuka peluang bagi pemanfaatan dana repatriasi yang didapat dari program pengampunan pajak. Kita tahu, masuknya dana yang sebelumnya diparkir di luar negeri itu membutuhkan banyak instrumen investasi baru.

Pelibatan swasta ini memerlukan konsistensi pemerintah. Sayangnya, ketidakpastian justru dirasakan para pelaku bisnis—seperti dicatat oleh sejumlah survei persepsi investasi. Tanpa kepastian, swasta ogah berinvestasi.

Tanpa investasi baru, dana repatriasi hanya akan mengendap di bank—sesuatu yang akan meningkatkan inflasi. Jika ini terjadi, program pengampunan pajak tidak akan banyak memberikan manfaat bagi orang ramai.

Agar semakin banyak investasi swasta masuk, pemerintah harus adil: tidak membedakan perlakuan bagi swasta dan perusahaan negara. Berlaku adil dan transparan akan menciptakan persaingan terbuka. Hasilnya, proyek pembangunan infrastruktur menjadi lebih efisien.

Pelibatan swasta yang lebih besar akan menciptakan peluang pertumbuhan baru. Anggaran pemerintah yang terbatas bisa diarahkan untuk membangun proyek-proyek yang memiliki banyak efek ganda. Dengan kata lain, pemerintah perlu masuk ke proyek dengan leverage besar agar menciptakan banyak lapangan kerja serta mendorong tumbuhnya usaha kecil dan menengah. Pekerjaan yang bersifat padat karya atau proyek yang melibatkan pemasok dan kontraktor lokal harus diperbanyak. Strategi ini akan bisa mengatasi kelemahan proyek infrastruktur yang cenderung tidak fleksibel, rumit, dan memakan waktu lama.

Birokrasi sudah selayaknya diperbaiki. Pemerintah sepatutnya memangkas sebanyak mungkin perizinan. Rezim kuota dan tata niaga yang memunculkan pemburu rente dan membuat harga barang lebih mahal seharusnya dihapus.

Konsistensi kebijakan harus diterapkan di pusat dan daerah. Selama ini, banyak peraturan yang menghambat bisnis dihapus di Ibu Kota tapi tumbuh subur di provinsi dan kabupaten. Aturan lama dicabut, tapi aturan baru yang tak kalah rumit diciptakan.

Hal lain yang semestinya dilakukan adalah memberantas korupsi. Penghapusan petty corruption, berupa pungutan liar di berbagai lini, memang penting. Namun crony corruption tak boleh dibiarkan. Banyak kroni menguasai bisnis strategis bermodal katebelece. Para kroni menambah panjang rantai biaya dan membuat ekonomi terseok-seok.

Contoh nyata korupsi jenis ini adalah perdagangan gas hanya bermodal izin. Mereka menarik untung besar tanpa berbuat apa-apa. Meminjam pernyataan ekonom Faisal Basri, harga gas di Indonesia mahal karena bidang ini dijadikan bancakan oleh pemburu rente.

Praktek itu telah berlangsung bertahun-tahun, tapi pemerintah tak segera bertindak. Perintah Jokowi untuk menurunkan harga gas diterjemahkan hanya dengan menekan harga pembelian di hulu. Pembenahan di hilir mesti juga dilakukan secara paralel.

Di atas semua itu, tiga tahun ke depan, sudah selayaknya Presiden berfokus hanya pada upaya menyejahterakan rakyat—bukan yang lain. Presiden sepatutnya tidak mengulang kejadian masa lalu: semakin dekat ke pemilihan umum, semakin fokus Presiden pada upaya memenangi kembali pemilihan. Konsolidasi sumber daya dan dana menyambut Pemilu 2019—sesuatu yang kerap berkonotasi negatif—sepatutnya dihindari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus