Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELAIN berharap keampuhan Bank Indonesia, pemerintah perlu segera menjalankan berbagai kebijakan untuk mengatasi turbulensi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Aneka kebijakan populis yang diambil tanpa perhitungan ekonomi dan sekadar dipakai untuk meningkatkan kepentingan politik elektoral semestinya tidak diambil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketergantungan pada investasi portofolio merupakan akar rentannya perekonomian Indonesia. Gejolak nilai tukar rupiah sebenarnya telah diprediksi jauh-jauh hari dan kali ini bukan yang pertama. Rupiah gampang terjungkal begitu investasi asing jangka pendek berbondong-bondong keluar dari pasar keuangan. Turbulensi menjadi-jadi lantaran neraca transaksi berjalan yang defisit sejak 2012 justru ditopang oleh "duit panas" tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhir tahun lalu, tak lama setelah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018 diketuk dengan asumsi kurs Rp 13.400 per dolar Amerika, banyak ekonom-termasuk anggota kabinet, juga mantan menteri-melontarkan kekhawatiran soal besarnya potensi pasar keuangan kembali goyang seperti pada 2013 dan 2015. Risalah rapat The Federal Reserve, bank sentral Amerika yang mempengaruhi pasar global, ketika itu menyebutkan normalisasi kebijakan moneter berlanjut secara bertahap pada tahun ini.
Kenaikan suku bunga acuan The Fed Funds Rate pada Maret lalu, ditambah pulihnya imbal hasil surat utang negara Amerika, akhirnya menambah kuat keputusan investor asing untuk melepas portofolio mereka di Indonesia. Lima bulan terakhir, modal asing keluar secara neto dari bursa saham sebesar Rp 40 triliun, melampaui total aliran dana keluar sepanjang tahun lalu. Sebagian besar terjadi tiga bulan terakhir. Kondisi serupa di pasar obligasi yang mencatat foreign net sell hingga Rp 10 triliun.
Rupiah pun terus melemah hingga tersungkur di atas level 14.200 per dolar Amerika pada Senin pekan lalu. Rekor level terendah dalam tiga tahun terakhir ini dicetak hanya empat hari setelah Bank Indonesia menaikkan bunga acuan BI 7-Day (Reverse) Repo Rate. Stabilisasi kurs dengan kucuran cadangan devisa senilai Rp 50 triliun tampak tak berguna.
Kembali menyesuaikan bunga acuan dan mengintervensi pasar, seperti yang diisyaratkan gubernur baru Bank Indonesia, Perry Warjiyo, pekan lalu, bisa jadi akan mencegah rupiah terjungkal lebih dalam. Tapi kebijakan jangka pendek ini tak menyelesaikan akar persoalan. Bisa jadi masalah baru justru muncul. Suku bunga tinggi akan mencekik perekonomian yang lima tahun terakhir tumbuh stagnan di kisaran 5 persen.
Itu sebabnya strategi yang komprehensif diperlukan untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan. Defisit mungkin belum bisa dihindari. Sebab, upaya pemerintah memulihkan ekspor tak akan membuahkan hasil dalam waktu dekat. Kalau sudah begitu, defisit anggaran semestinya perlu dipastikan produktif dan berkualitas-defisit yang dirancang buat mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah harus mengkaji ulang kebijakan yang tak konsisten dan kontraproduktif. Menahan harga bahan bakar minyak bersubsidi dan mewajibkan pasokan Premium kepada Pertamina, misalnya, justru menaikkan konsumsi bahan bakar minyak yang dipenuhi oleh impor. Pada triwulan 2018, minus transaksi berjalan minyak mencapai US$ 4 miliar, dua kali lipat dibanding periode yang sama dua tahun lalu. Kebijakan semacam ini tak ubahnya rezim anggaran yang ditekan pos belanja subsidi.
Presiden Joko Widodo harus menghapus kebijakan populis yang tak realistis semacam itu. Langkah kecil tapi mendasar perlu dilakukan di antara strategi mencegah risiko besar lainnya, seperti utang luar negeri sektor swasta yang makin menggelembung. Bank sentral Amerika baru-baru ini kembali menyalakan sinyal akan lebih agresif mengetatkan kebijakan moneter tahun depan. Potensi guncangan yang sama, atau lebih buruk, harus diantisipasi di tengah agenda politik 2019.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo