Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin harus segera mencabut daftar mubalig yang direkomendasi kementeriannya. Pendataan itu tak berfaedah dan hanya mengundang kontroversi. Langkah itu juga memperlihatkan campur tangan pemerintah yang berlebihan terhadap urusan agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alasan Lukman bahwa daftar itu untuk mempermudah masyarakat mencari mubalig terkesan mengada-ada. Di era digital sekarang, orang tentu tak sulit mencari nama-nama mubalig, termasuk kiai yang berada di daerah terpencil sekalipun. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat sesungguhnya juga gampang berhubungan dengan dai karena umat dan ulama selalu memiliki kedekatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Daftar mubalig yang dirilis Kementerian Agama tampak dibuat asal-asalan. Ada nama dai yang ternyata sudah meninggal tapi dicantumkan dalam daftar. Bekas terpidana korupsi, Said Agil Husin Al Munawar, juga dimasukkan ke daftar. Ia pernah divonis lima tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi dana haji saat menjadi Menteri Agama.
Masuknya nama Said Agil memperlihatkan bahwa Kementerian Agama tidak konsisten terhadap parameter yang dibuatnya sendiri. Ada tiga kriteria untuk memilih nama-nama mubalig itu, yakni kompetensi atas ilmu keagamaan, reputasi yang baik, dan komitmen kebangsaan yang tinggi. Sulit untuk mengatakan Said Agil memiliki reputasi yang baik karena dia jelas dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Rilis 200 nama mubalig itu justru membingungkan masyarakat. Muncul kesan seolah-olah hanya ada 200 ulama di Indonesia yang layak berceramah. Padahal, di luar nama-nama yang dipilih pemerintah, masih banyak ulama yang mumpuni dalam soal ilmu agama dan berintegritas.
Pemerintah seharusnya cukup menetapkan kriteria mubalig yang layak menyampaikan ceramah. Peran pemerintah hanya bisa mendorong organisasi keagamaan agar tidak memberikan ruang bagi mubalig yang menyebarkan paham radikal atau menimbulkan keresahan masyarakat. Negara tak seharusnya mengintervensi terlalu jauh kehidupan beragama.
Itu sebabnya, sikap Menteri Agama yang berkukuh tidak mau membatalkan rilis nama mubalig patut disesalkan. Walau kebijakannya dikecam, ia ngotot hanya akan merevisi atau menambahkan nama mubalig yang direkomendasi. Menteri Lukman seharusnya tak mengulang kesalahan yang pernah dibuat ayahnya, Saifuddin Zuhri. Ketika menjadi Menteri Agama di era Orde Lama, Saifuddin melarang 167 kitab masuk pondok pesantren.
Presiden Joko Widodo sebaiknya turun tangan untuk meluruskan kebijakan yang mudarat itu. Langkah Menteri Agama jelas bertentangan dengan kebebasan beragama dan beribadah yang dijamin konstitusi. Jaminan atas kebebasan beragama ini juga diatur dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia.
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi negara kita menguatkan hal yang sama. Kebebasan menjalankan kegiatan agama, termasuk pengajaran nilai agama, hanya bisa dibatasi oleh ketentuan hukum atau demi ketertiban negara. Negara cuma bisa campur tangan ketika suatu kegiatan atau ajaran agama sudah mengarah pada pelanggaran hukum ataupun mengganggu ketertiban atau hak orang lain.
Menteri Agama semestinya memahami prinsip universal itu. Pemerintah bisa mendorong penegak hukum bertindak terhadap mubalig yang menabrak tatanan hukum positif. Tapi Kementerian Agama tidak perlu repot memilah nama-nama mubalig, hal yang sepantasnya diurus kalangan ulama sendiri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo