Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syahdan, sebuah "obituari" ditulis pada tahun 1993. Saat itu, secara resmi perfilman Indonesia dinyatakan "mati" karena Festival Film Indonesia ditiadakan. Karena itu, bagaimanakah sikap kita dengan lahirnya (kembali) festival ini, yang diselenggarakan akhir pekan silam?
Setiap kelahiran, setelah kematian panjang, tentu harus disambut dengan gembira. Tetapi, agar jangan lagi kita terlalu sering menulis obituari, marilah kita pelajari penyakit-penyakit kita. Pada "obituari" itu dinyatakan festival ini ditiadakan karena jumlah produksi film nasional tak cukup layak untuk mendukung sebuah festival. Gejala "penyakit kanker" itu sudah lama terasa di penghujung tahun 1986, ketika terdapat berbagai persoalan konflik organisasi perfilman: warga film yang ricuh, persoalan dominasi film Hollywood dan juga problem antara produser (di zaman itu, produser artinya: pemilik duit) dan para sineas, soal peredaran film, dan seterusnya.
Dengan kata lain, film Indonesia sudah lama mati jauh sebelum pemerintah Orde Baru runtuh pada 1998. Ia runtuh karena persoalan di dalam dirinya, di dalam batang tubuh organisasi-organisasinya, pertengkaran antara para pelaku bisnis dan seniman yang tak berkesudahan, dan belum lagi pemerintah yang cuma pandai mengeluarkan puluhan regulasi yang begitu represif di masa Orde Baru. Mau dengar peraturan yang lucu-lucu di masa itu? Seseorang harus tiga kali dulu menjadi asisten sutradara sebelum menjadi sutradara; atau, skenario harus dibaca dulu oleh Departemen Penerangan sebelum sebuah izin film dikeluarkan (pihak Departemen Penerangan akan mengembalikan dengan berbagai saran pergantian judul, orat-oret adegan, dan seterusnya, seolah-olah mereka sudah jadi ahli film). Absurd.
Sejarah telah mencatat bagaimana kuartet sutradara Mira Lesmana, Riri Riza, Nan T. Achnas, dan Rizal Manthovani pada tahun 1997 menabrak peraturan-peraturan itu dengan pembuatan film Kuldesak secara diam-diam. Tanpa izin, tanpa biaya besar, mereka merekam film ini secara gerilya seiring dengan jatuhnya rezim Orde Baru. Sesudahnya, lahirlah gerombolan sineas baru berikutnya yang kemudian melahirkan film-film Indonesia yang baru. Yang segar. Yang kemudian akhirnya meniupkan roh ke dalam tubuh perfilman Indonesia yang mati 12 tahun silam. Yang kemudian akhirnya ikut menghidupkan Festival Film Indonesia kembali.
Lalu, cukupkah kelahiran ini dinyatakan dengan sebuah festival yang glamor, dengan karpet merah dan serangkaian lampu-lampu sorot ribuan watt itu ? Tidak. Ingat, FFI tahun ini mensyaratkan film produksi tahun 2000 hingga September 2004, dan yang masuk dalam kategori itu hanya 34 buah film. Artinya, FFI tahun depan hanya akan memperhitungkan produksi satu tahun saja. Belum tentu film Indonesia setahun ke depan berjumlah lebih dari 15 buah. Ini problem jangka pendek.
Persoalan jangka panjang perfilman kita adalah langkanya infrastruktur. Pemerintah wajib membangun infrastruktur penting dalam dunia ini, yang tak mungkin dipegang pihak swasta, misalnya laboratorium film dan lembaga pendidikan film yang serius. Pemerintah tak perlu lagi terjebak dalam urusan kreativitas, misalnya soal penciptaan, seperti di masa Orde Baru. Hal yang jauh lebih penting adalah, komunitas perfilman sendiri harus mampu bekerja dalam lingkungan yang damai dan meminimalkan konflik internal. Badan-badan seperti BP2N (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional), KFT (Karyawan Film dan Televisi), Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia), dan GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia) sudah harus mengadakan penyegaran dalam tubuh organisasi. Organisasi apa pun di dunia ini pasti selalu mengalami regenerasi, pembaruan, dan penyegaran. Jika penyakit ribut-ribut antar-warga komunitas perfilman ini tak kunjung berhenti, niscaya yang menjadi korban hanya dua pihak: perfilman dan penonton Indonesia. Dan pada ujungnya, kita akan mengalami sebuah kematian lagi. Dan kita terpaksa menulis sebuah "obituari" lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo