Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Korupsi Struktural Bukan Kultural

Pencurian uang publik di negeri ini sudah menjadi masalah struktural di berbagai instansi negara. Presiden Yudhoyono tak mungkin memberantasnya tanpa berkoalisi dengan rakyat.

13 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Almarhum Bung Hatta pernah mengeluh tentang sulitnya memberantas korupsi di Indonesia. Ia bahkan sempat berkesimpulan kegiatan perampokan uang negara ini sudah menjadi budaya bangsa. Namun, hasil survei Transparency International yang melibatkan 50 ribu responden di 64 negara di dunia agaknya tak mendukung pandangan ini. Setidaknya rakyat di 36 negara berpendapat partai politik dan parlemen adalah institusi yang paling korup.

Di Indonesia, salah satu dari 36 negara itu, masyarakat menempatkan polisi dan pengadilan sebagai lembaga yang menduduki posisi berikutnya dalam urusan kegiatan haram menjual wewenang mereka. Sementara itu, organisasi masyarakat seperti institusi agama, lembaga swadaya masyarakat, dan media dianggap jauh lebih bersih dibandingkan dengan semua instansi pemerintahan. Ini menyimpulkan bahwa penyakit korupsi di Indonesia adalah problem struktural, bukan masalah kultural.

Kesimpulan ini terbukti dalam kasus penyidikan terhadap Abdullah Puteh, Gubernur Aceh yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan helikopter. Ia ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi hanya beberapa bulan setelah lembaga itu menerima laporan masyarakat dan hanya beberapa pekan setelah pemerintahan berganti. Bandingkan dengan kinerja polisi dan kejaksaan, yang telah menerima laporan serupa jauh sebelumnya. Bahkan kasus dugaan penggelapan pengadaan pembangkit listrik, yang tak diambil alih KPK karena pembuktiannya dianggap jauh lebih mudah dan masih diproses polisi, tak juga kedengaran kemajuannya.

Ini memberikan indikasi bahwa aparat penyidik mungkin ikut tertular virus korupsi. Apakah ini berarti semua anggota polisi dan jaksa sudah tak dapat dipercaya? Fakta di lapangan tidak mendukung kecurigaan ini. Keberhasilan lembaga masyarakat antikorupsi dan KPK mendapatkan bukti-bukti kegiatan penggerogotan uang publik tak mungkin diraih tanpa dukungan polisi, jaksa, dan birokrat sipil maupun militer yang ingin skandal ini diproses secara hukum. Bahwa sebagian dari mereka kemudian dipindahkan ke daerah terpencil, bahkan dicopot dari jabatan, menunjukkan bahwa para atasan merekalah yang berada di posisi struktural yang telah tercemar.

Kini pemerintahan baru yang berjanji akan memberantas korupsi telah resmi bertugas. Apa yang harus dilakukannya? Jika Presiden Yudhoyono ingin sukses melaksanakan amanah pemilihnya, ia harus berani melakukan perubahan total pada jalur struktural di birokrasi sipil dan militer, terutama yang berhubungan dengan pelaksanaan hukum. Ia juga harus siap menghadapi kemungkinan perlawanan dari partai politik dan parlemen yang sudah terkena kanker korupsi. Karena itu, Presiden Yudhoyono harus kembali mengulang sukses yang membawanya ke istana, yaitu menggalang koalisi dengan rakyat untuk menghadapi gabungan para politisi dan kekuatan korup lainnya.

Ia harus merapatkan barisan dengan kelompok masyarakat sipil yang aktif melakukan perang terhadap para pencoleng dana publik. Misalnya, dengan memastikan polisi dan jaksa tidak mengganggu mereka dengan memproses aktif laporan pencemaran nama baik atau fitnah dari para pejabat dan orang kuat yang marah karena dilaporkan diduga terlibat korupsi. Pemerintahan ini harus membalik keadaan yang berlangsung pada pemerintahan sebelumnya, yang gemar menghentikan penyidikan (SP3) terhadap mereka yang diduga melakukan korupsi dalam jumlah besar dan malah memerintahkan polisi dan jaksa supaya memenjarakan anggota masyarakat yang melaporkan dugaan itu. Justru SP3 harus diberikan kepada para aktivis antikorupsi, dan penahanan dilakukan terhadap mereka yang diduga kuat menilap miliaran bahkan triliunan uang rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus