Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

"Kita Baru Memberikan Obat Flu"

13 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA terbilang sosok yang gampang ketiban sampur. Pernah menjadi Menteri Keuangan pada era Presiden Abdurrahman Wahid, kini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempercayainya untuk memimpin De-partemen Pendidikan Nasional. Dukungan yang kuat dari Partai Amanat Nasional yang dipimpin oleh Amien Rais membuat posisinya di kabinet tidak mudah digoyahkan.

Hanya, kali ini Bambang Sudibyo diragukan kemampuannya mengurus pendidikan. Kendati telah bergelar doktor dan menjadi guru besar di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dia bukanlah ahli pendidikan. Lelaki 52 ini lebih dikenal sebagai seorang ekonom. Dia mendapat gelar doktor ekonomi, tepatnya bidang business administration, dari Universitas Kentucky, Amerika Serikat, pada 1985. Selama ini Bambang juga menjadi konsultan di sejumlah perusahaan besar, termasuk PT Djarum, Kudus.

Tentu dia berupaya menepis keraguan itu. Apalagi Bambang bukanlah ekonom pertama yang menangani pendidikan. Daoed Joesoef yang pernah jadi Menteri Pendidikan di era Soeharto juga dikenal sebagai seorang ahli ekonomi. "Saya sendiri seorang guru dan sangat memahami betul dunia pendidikan," katanya.

Bambang bertekad melaksanakan subsidi silang untuk meringankan beban biaya pendidikan bagi kalangan miskin. Dia juga ingin menjadi guru sebagai profesi terhormat seperti halnya dokter dan akuntan. Tapi mengapa ia memecah Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah? Dua pekan lalu, wartawan Tempo Eni Saeni, Utami Widowati, dan fotografer Arif Fadillah mewawancarai Bambang Sudibyo di kantornya di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Berikut petikannya:


Apa saja yang akan Anda lakukan untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia?

Yang paling mendasar adalah menyelesaikan peraturan pemerintah dulu. Sekarang kita sudah punya Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang itu harus dilengkapi dengan peraturan pemerintah. Sesuai dengan amanat undang-undang tersebut, ada 35 peraturan yang mengaturnya lebih lanjut. Kita sudah sepakat dengan DPR, 35 peraturan pemerintah itu akan diringkas menjadi 14. Dan itu harus selesai pada Juli 2005. Jika perangkat hukum itu sudah ada, dampaknya akan luar biasa mendasar bagi sistem pendidikan nasional.

Selama peraturan itu belum selesai, apa yang akan dilakukan dalam waktu dekat?

Kita ingin aturan itu menjadi kerangka penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Sehingga tidak ada lagi orang bilang, ganti menteri ganti kebijakan. Kalau mau ganti kebijakan, harus mengganti peraturannya. Supaya tidak mudah berganti kebijakan, saya akan meminimumkan kebijakan Menteri Pendidikan.

Banyak orang berharap terjadi perubahan besar dalam 100 hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk di bidang pendidikan.

Saat ini kita seperti menghadapi penyakit. Dalam 100 hari, kita baru memberikan obat penurun panas atau obat flu, bukan antibiotik. Antibiotiknya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan dan 14 PP, yang tidak mungkin diselesaikan dalam 100 hari.

Kini buku pelajaran diberlakukan selama lima tahun. Apakah kebijakan ini bisa efektif memberantas penyelewengan proyek buku?

Intinya justru bukan perubahan menjadi lima tahun. Yang paling mendasar, tidak ada lagi monopoli perbukuan. Pemerintah tidak lagi menunjuk buku tertentu untuk dijadikan buku wajib di sekolah. Karena, ketika menunjuk, itu sudah monopoli. Monopoli itu terkait dengan abuse of power (penyalahgunaan kewenangan), yang ujung-ujungnya menumbuhkan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Jika ada yang melanggar, saya akan minta Komisi Pemberantasan Korupsi meneliti oknum itu. Untuk pengawasannya, harus ada keputusan presiden mengenai buku yang ditunjuk lima tahun. Kalau ada perubahan, harus ada alasan yang masuk akal. Prinsipnya tidak boleh diganti tanpa persetujuan direktur jenderal.

UU Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan, pemerintah menjamin pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Kapan itu bisa terealisasi?

Memang betul pendidikan wajib itu gratis. Itu jika APBN dan APBD minimal mengalokasikan 20 persen untuk pendidikan, di luar gaji guru dan pendidikan kedinasan. Dengan begitu, kita bisa memberikan pelayanan pendidikan wajib secara gratis. Karena anggaran itu belum tercapai, ketentuan wajib belajar gratis belum bisa dipenuhi.

Apakah ada solusi lain?

Biaya pendidikan masih harus ditutup oleh kontribusi masyarakat. Caranya melalui sistem subsidi silang. Pada sistem itu terjadi sharing beban yang tidak sama, yang kaya diminta menanggung beban lebih banyak daripada yang miskin.

Banyak kalangan menilai subsidi silang bukanlah solusi dan itu juga bukan hal baru.

Memang betul, saya tidak pernah mengatakan bahwa dengan subsidi silang persoalan pendidikan selesai. Kalau diurut logikanya, harusnya anggaran pendidikan 20 persen dari APBN, tapi itu belum tercapai. Terpaksa peran kontribusi masyarakat yang berwatak sosial itu harus ada. Jadi subsidi silang hanya untuk mengurangi beban yang miskin, bukan untuk menyelesaikan seluruh beban pendidikan. Dibilang itu kuno, tidak apa-apa. Lebih baik menggunakan kebijakan yang sudah dieksperimen, daripada saya terlalu eksperimental.

Anda berkeinginan mengembangkan guru sebagai profesi. Bukankah selama ini guru adalah sebuah profesi?

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional mengatakan guru dikembangkan menjadi sebuah profesi. Di masyarakat, pengertian profesi bisa macam-macam, seperti dokter, akuntan, lawyer, apoteker. Tapi ada juga yang bilang bahwa tukang ledeng, tukang batu juga profesi. Untuk guru, kita mau menginterpretasikan profesi dalam pengertian terhormat seperti akuntan dan dokter.

Apakah peningkatan derajat guru itu sekaligus akan meningkatkan kesejahteraan mereka?

Harapannya ya, kalau mereka bisa mandiri. Jika mereka bisa perform seperti akuntan, lawyer, dan dokter, kesejahteraannya akan selevel dengan itu. Mereka akan meng-upgrade kualitasnya sehingga akan dihargai. Masyarakat mau membayarnya sebagaimana mereka membayar dokter, akuntan, atau apoteker.

Bukankah hal itu justru akan membuat pendidikan cenderung bersifat komersial?

Apakah membayar sebagaimana pantasnya dibayar itu komersialisasi? Dalam ajaran Islam itu namanya menyempurnakan timbangan. Apakah berbakti kepada nusa bangsa itu harus dibayar lebih rendah dari yang seharusnya? Kan tidak. Yang benar, orang yang mengabdi kepada negara dan masyarakat harus diberi hak-haknya yang pas.

Untuk menjadi guru profesi, apakah mereka harus belajar lagi?

Undang-Undang Pendidikan Nasional menganut pendidikan sepanjang hayat. Tidak harus guru, kita semua didorong terlibat dalam pendidikan. Menjadikan guru sebagai profesi itu tak semudah membalikkan telapak tangan, karena ada persyaratan mutu. Pendidikan profesi diatur oleh organisasi profesi itu, dan lembaga itulah yang akan memberikan sertifikat, seperti halnya yang sudah dilakukan Asosiasi Akuntan Indonesia, di mana saya terlibat di dalamnya.

Dengan pemberian sertifikat itu, apakah guru menjadi terspesialisasi seperti dokter?

Sebetulnya guru sudah terspesialisasi, mulai tingkat SMP sampai perguruan tinggi. Guru umum itu hanya di SD. Nanti ada guru matematika, kimia, sejarah, yang betul-betul ahli di bidangnya. Sekolah bermutu akan mencari guru bermutu. Sumber daya paling penting di sekolah adalah guru. Itu yang nanti akan diperebutkan.

Bagaimana dengan sekolah di bawah standar yang tidak mampu memilih guru bersertifikat?

Peran pemerintah mendorong sekolah itu untuk mandiri. Sekolah yang bisa mandiri baru 9-15 persen. Sebagian besar sekolah itu masih menyusu kepada pemerintah. Kita akan mendorong supaya sekolah itu menjadi lembaga yang mandiri.

Bagaimana soal rencana memecah Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah?

Itu wacana yang saya lontarkan. Kritik masyarakat juga banyak. Semua saya pertimbangkan, saya baca, dengarkan, dan cermati. Tujuan pemisahan itu adalah untuk menata departemen menjadi lebih baik.

Apa keuntungan dan kerugian dari pemisahan tersebut?

Banyak orang mengkritik soal ini. Padahal tujuannya untuk mempermudah span of control (rentang kendali). Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah itu terlalu lebar. Dari sisi ilmu manajemen itu tidak efektif. Nanti tidak ada lagi pejabat yang memiliki area kendalinya terlalu lebar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus