SETIAP instansi masyarakat pada dasarnya adalah pelaku perubahan sosial. Hanya, setiap bidang punya pelaku utamanya sendiri. Ekonomi, misalnya, dengan swasta, koperasi, BUMN politik dengan PDI, PPP, Golar informasi dengan segenap media massa cetak maupun elektronik. Namun, siapa penggerak utama perubahan sosial? Kalangan Toronto School semisal Harold Innis dan Marshal McLuhan hakulyakin menyebut media massa. Di sinilah magma perubahan sosial berada. Bukan sekadar karena media massa efektif menghadirkan pilihan-pilihan hingga masyarakat luas tinggal mengukur mana yang disenanginya, tapi juga lantaran merekalah yang paling ampuh mempengaruhi kebijakan publik, berhubung kemampuan media membentuk opini yang tak terbatas "wilayah" operasinya. Lagi pula, para pembentuk opini yang lain, yang juga pelaku perubahan sosial, punya ketergantungan tertentu pada media. Jadi, singkatnya, medialah prime mover perubahan sosial dalam arti luas. Termasuk perubahan tatanan, proses dan praktek demokrasi sosial, ekonomi dan politik ke arah keadilan sosial yang merata. Pakar lain semacam Gerbner kurang sepakat. Bukan media, tapi masyarakat luas itu sendirilah prime mover. Sebab semandiri- mandiri media, dari sudut manajemen dan ekonomi informasinya, ia toh "dikontrol" oleh faktor politik, ekonomi, budaya, dan hankam. Media di negara bersistem pers liberal pun tempo-tempo mesti takluk pada kehendak penguasa. Berita Perang Teluk di media massa Amerika Serikat tempo hari, misalnya, yang resmi mesti lulus di Pentagon dulu. Jadi, media bukan prime mover dan pengaruh langsungnya bagi demokrasi tidaklah terlalu mewarnai. Karena itu, maraknya media tak dengan sendirinya menyehatkan demokrasi. Namun, agenda ekonomi dari kehadiran media massa, misalnya, boleh jadi lebih dominan. Apalagi kita tahu, industri media kian mengukuhkan informasi sebagai komoditi bernilai ekonomi. Sebenarnya, tidaklah penting benar klaim penggerak utama perubahan sosial, khususnya demokrasi. Sebab dalam diri penguasa selalu ada komitmen demokrasi. Dan komitmen perjuangan demokrasi pun secara intrinsik dimiliki oleh media massa. Jauh lebih layak dicermati adalah persepsi dan visi demokrasi kita. Dan khususnya bagi media massa, bagaimana mentransmisikan itu dalam perencanaan dan manajemen informasi. Sehingga (akan) terbukanya keran investigative reporting dalam pemberitaan bagi televisi swasta, misalnya, tidak justru ditanggapi dengan asal beda tayangan. Atau asal sumber beritanya vokal. Di sinilah kelihatan mutlaknya visi dan persepsi demokrasi tadi tentu dalam konteks pendidikan dan sosialisasi politik dalam mengadaptasi perubahan. "Pesona" asal beda tayangan (dan materi tulisan) maupun asal sumber beritanya vokal memang bisa meninggikan rating bagi televisi dan pelanggan bagi koran. Tapi sejak demokratisasi tak identik dengan kevokalan dan keasalbedaan, media massa ada baiknya mendidikkan demokrasi dengan menampilkan keseimbangan antara berbagai bidang dan kepentingan. Orientasinya tak lain dari perluasan partisipasi riil masyarakat, terhargainya pluralitas, terakomodasinya kebebasan memilih dan berekspresi tanpa menafikan etika sosial, me-nyata-nya kesetaraaan dan pemerataan dalam segala dimensinya, serta maraknya keteraturan dan kepastian. Terlalu normatif, atau barangkali kelewat ideal kedengarannya. Tapi, bila media massa kita tidak meminggirkan tujuan keadilan sosial, niscaya profesionalisme dan etiknya tak bakal termakan pragmatisme informasi sebagai komoditi ekonomi. Profesionalisme dan etiknya akan memandu perilakunya ke orientasi itu. Namun, untuk itu pasti ada harganya. Misalnya media tak bisa memelihara apalagi membesarkan sumber berita permanen. Apalagi bila itu adalah tokoh, subsistem sosial tertentu, yang justru mengesankan media tak berperilaku demokratis, tak independen. Sebaliknya, masyarakat luas tak lagi pantas menilai kredibilitas media dengan kemampuan mereka mengakses mesin- mesin industri informasi di mancanegara, melobi petinggi negara. Tapi bersama dengan itu, juga sensitivitas media menangkap isyarat-isyarat demokrasi, isyarat-isyarat kemodernan di tengah lautan kehidupan rakyat, yang boleh jadi selama ini bersifat publicity shy. Dan itu terbilang muatan lokal yang amat pantas diinvestigasi, diangkat, dalam kerangka orientasi tadi. Baru kalau begitu media massa lebih beralasan dipersepsikan sebagai aset demokrasi. Jadi, terpulang pada media dan kita semua, ternyata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini