Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Arus bawah pun bisa dimanipulasi

Wawancara Tempo dengan mensesneg moerdiono tentang berbagai hal: kehidupan sosial, politik, dan budaya di masa depan

8 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Sekretaris Negara Moerdiono tak mau berbasa-basi. Sebagai pembantu dekat Presiden, ia toh berani terbuka dan blak-blakan. Ia suka bergaul dengan siapa saja. Politikus, ilmuwan, wartawan, seniman, atau lapisan masyarakat lainnya. Ia acap ikut bertanding tenis dengan wartawan, dan juga suka hadir di acara kesenian. Pekan lalu, misalnya, mengenakan celana jins dan kaus hitam, Moerdiono berada di tengah-tengah para seniman. Ia tampil membuka "Bienniale Seni Rupa 1993" di Taman Ismail Marzuki, Jakarta suatu pameran akbar seni rupa dua tahunan. Maka, tidaklah mengherankan bila Moerdiono bisa mengungkapkan wawasannya mengenai berbagai segi dari kehidupan sosial, politik, dan budaya. Untuk mengevaluasi tahun lalu dan melihat prospek ke depan, Moerdiono bersedia berbicara terbuka mengenai berbagai hal itu. Berikut petikan wawancara khusus akhir tahun dengan wartawan TEMPO Linda Djalil: Dalam perjalanan New DelhiJakarta, Presiden Soeharto memperingatkan adanya gangguan bagi stabilitas. Apa yang melatarbelakangi itu semua? Pak Harto mengingatkan kita tentang pentingnya stabilitas nasional agar dipelihara. Stabilitas nasional merupakan kebutuhan mutlak suatu bangsa, lebih-lebih pada tahap awal seperti yang kita alami. Negara yang tak bisa menciptakan stabilitas nasional tentu akan terganggu pembangunannya. Pak Harto juga menyebut adanya gejala demokratisasi yang kurang bernapaskan Pancasila. Bagaimana Anda mengevaluasi desakan demokrasi selama 1993? Proses kehidupan politik demokrasi kita sepanjang 1993 berkembang ke arah yang membesarkan hati. Ada kegairahan dari kalangan luas di masyarakat kita untuk menyoroti berbagai masalah yang dihadapi, dan menyatakannya secara lebih bebas, lebih terbuka. Tahun 1993 ini, demokratisasi kita cukup segar. Yang diingatkan Presiden, agar kebebasan, keterbukaan yang lebih segar tadi, jangan sampai mengurangi, menghilangkan tanggung jawab kita bersama, keselamatan dan kesatuan bangsa kita. Bagaimana penilaian Anda tentang peran pers dalam hal isu-isu demokratisasi dan hak asasi manusia? Peran pers cukup positif. Di lain pihak, secara pribadi saya agak risau. Kadang-kadang pers kita tak akurat dalam mengedepankan isu-isu tadi. Saya khawatir kehidupan pers sekarang atau usaha penerbitan pers sekarang menjadi usaha bisnis semata. Saya melihat kecenderungan kuat bahwa berita sebagai komoditi yang dihasilkan pers, atau berita menjadi komoditi ekonomi yang dihasilkan pers? Tiap penerbitan seolah-olah bersaing, bagaimana menjual komoditi itu agar laku. Yang diharapkan, jangan sampai pers terjerumus ke dalam persaingan komoditi berita, sehingga etika pemberitaan atau akurasi dikorbankan untuk kenaikan tirasnya. Dalam dua kali kongres PDI, Pemerintah dianggap kurang bersikap demokratis, kurang mengakomodasi aspirasi arus bawah. Akhir-akhir ini saya kok melihat ada kata politik baru yang sedang in, yakni "arus bawah". Kita harus hati-hati betul dengan pengertian "arus bawah" ini. Semua proses politik itu adalah sebuah rekayasa. Bukankah kalau seseorang mengemukakan pandangan politiknya, juga rekayasa? Dalam proses politik, pasti ada orang-orang yang ingin mengemukakan pandangannya secara terbuka dan gigih. Ada juga yang cenderung diam, kurang terbuka, dan kurang gigih. Nah, kalau proses politik belum jalan dengan sempurna, yang dibilang "arus bawah" itu bisa saja dimanipulasi. Jadi, kita harus hati-hati melihat suatu pemikiran, itu "arus bawah" atau bukan. Karena itu, bisa saja segelintir orang saja didukung orang banyak, dan menganggap sama dengan pandangan atau kesan media massa. Lantas itu di-blow up secara sistematis, terus-terusan. Nah..., bisa saja ini yang dianggap "arus bawah". Kalau itu terjadi dalam dalil "arus bawah", orang bisa memanipulasi politik. Bagaimana sikap Indonesia menghadapi desakan negara maju dalam hal pelaksanaan demokratisasi dan hak asasi manusia? Indonesia akan bertahan pada pendirian bahwa punya penafsiran sendiri yang sesuai dengan budaya setempat? Demokrasi dan hak asasi, secara konsep makro, tak ada masalah bagi kita. Sejak Indonesia berdiri, sudah didasarkan pada kedaulatan rakyat. Dan cukup banyak pasal yang mencerminkan kehidupan demokrasi dan hak asasi. Persoalan yang kita hadapi, wujud kongkretnya dari hak asasi manusia itu. Ini bisa berbeda dengan negara lain. Ada negara yang memakai sistem pemerintahan presidensial, ada pemerintah parlementer. Keduanya menyatakan pemerintah yang demokratis. Lalu, apa salahnya kita juga mempunyai sistem sendiri, dengan napas demokrasi? Ada negara yang wakil presidennya bahkan menjadi ketua salah satu lembaga perwakilan rakyatnya. Toh negara itu tetap dianggap demokratis. Tentang hak asasi manusia, juga sama. Mungkin ada satu negara yang mengakui homoseksual sebagai salah satu wujud hak asasi manusia, tapi ada negara yang tak bisa menerimanya karena pertimbangan kultural atau agama. Apa kalau tidak mengakuinya lantas negara itu tak melaksanakan hak asasi manusia? Wujud nyata pelaksanaan demokrasi dan hak asasi manusia dari satu negara ke negara lain tidak sama. Dalam pandangan negara maju, Demokrasi Pancasila sering dianggap belum demokrasi penuh. Institusi semacam DPR dan parpol dianggap kurang independen. Bagaimana Anda melihat masalah ini? DPR dan parpol-parpol dinilai belum independen? Ya..., terserah. Mau dilihat dari sudut mana? Kalau DPR dan parpol belum sempurna dan belum menjalankan fungsi sebaik-baiknya, apa adil, demokrasi di suatu negara itu lantas dicap tak berjalan? Demokrasi membutuhkan proses. Dengan terbentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, adakah jaminan bahwa pelanggaran hak asasi akan bisa ditekan? Pelanggar akan dijatuhi sanksi lebih tegas? Saya dapat membayangkan, dengan adanya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia itu, tentu pelaksanaan hak asasi lebih mendapat perhatian. Tapi tidaklah berarti bahwa sebelumnya itu tidak diperhatikan. Dengan adanya komisi ini, diharapkan ada perhatian yang lebih besar dari pelaksanaan hak asasi manusia itu. Soal sanksi tegas, saya mengembalikannya ke peraturan perundangan yang berlaku. Kalau dalihnya hanya melanggar hak asasi, tapi pelanggaran itu sendiri masih bisa diperdebatkan, lalu yang diduga pelaku melanggarnya tergesa-gesa diberi sanksi, saya khawatir kalau demikian itu. Sebab, kita akan menghadapi masalah-masalah yang lebih rumit. Ukuran dan patokannya tidak jelas. Jangan buru-buru memvonis komisi nasional tidak bisa independen. Kita tunggu saja perkembangannya, jangan berprasangka buruk. Kita lihat saja kerjanya nanti, tokoh-tokoh masyarakat yang duduk di komisi nasional. Komisi ini bisa independen. Dengan adanya komisi tersebut, apakah Pemerintah tak merasa perlu lagi membentuk Komisi Penyelidik Nasional (KPN) seperti untuk peristiwa Dili? Pembentukan KPN tak ada hubungannya dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. KPN itu tergantung keadaan dan kebutuhannya. Bagaimana kalau hasil kerja komisi nasional itu tak diakui dunia internasional? Komisi ini bukan badan peradilan. Komisi nasional ini tugasnya memberikan nasihat kepada Pemerintah tentang hak asasi manusia, menyebarluaskan pemahaman dan memantau pelaksanaan hak asasi manusia. Apakah Pemerintah berkeyakinan bahwa pengurangan personel militer di posisi pemerintahan bisa membuat suasana lebih demokratis? Persoalan demokratisasi tidak bergantung pada personalia militer atau sipil. ABRI kita secara doktrin tegas-tegas menjunjung tinggi Pancasila. Salah satu silanya tentang demokrasi. Jadi, ABRI juga menjunjung tinggi demokrasi. Bagaimana tanggapan Anda atas pernyataan Menteri Sarwono bahwa tak sedikit orang sipil yang diktator dan otoriter ketimbang militer? Saya setuju sepenuhnya. Orang-orang militer, kalau bertugas di organisasi, belum tentu bersikap diktator. Sebaliknya, sipil tidak menjamin bersikap demokratis. Ada organisasi-organisasi sipil atau dipimpin orang sipil yang suasananya diktator dan otoriter. Tapi banyak pula tokoh militer yang berpikir demokratis. Bagaimana Anda melihat tumbuhnya kelas menengah di Indonesia? Mereka akan menjadi pendorong demokratisasi atau justru mempertahankan status quo? Kelas menengah kita sekarang belum sesuai dengan besarnya tubuh bangsa kita, belum sesuai dengan kebutuhan untuk kemajuan kita di masa depan. Apakah kelas menengah ini menjadi kekuatan pro demokrasi atau penjaga status quo? Saya belum bisa meramalkan dari sekarang. Saya kira, semua kalangan lapisan masyarakat kita perlu menjadi kekuatan yang mendorong kehidupan demokrasi itu. Bagaimana Pemerintah mengantisipasi adanya potensi konflik yang bermotif primordial seperti etnis, agama, dan juga pusat- daerah? Kita semua mempunyai kewajiban untuk menghindar dari konflik- konflik yang bermotif primordial, seperti suku, agama, pusat- daerah. Sebab, sifat ini merugikan perkembangan kita sebagai bangsa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus