DASAR bangunan Orde Baru adalah kelembagaan politik dengan daur berkala. Tiap lima tahun ada pemilihan umum, kemudian dilanjutkan dengan Sidang Umum MPR. Puncaknya adalah pemilihan presiden dan wakil presiden, disusul kemudian dengan pembentukan kabinet baru. Untuk melengkapi daur ini, biasanya dilakukan peremajaan infrastruktur politik lewat kongres Golkar dan partai politik. Tahun ini daur berkala itu genaplah sudah, paling tidak dari sisi kelembagaan suprastruktur. Bahkan daur itu diikuti dengan langkah peremajaan. Dalam lembaga kepresidenan telah dipilih wakil presiden dari generasi pasca-45. Dalam kabinet tak ada lagi teknokrat generasi pertama. Sementara itu, jajaran ABRI dan Hankam pun telah sepenuhnya dipimpin oleh generasi baru. Bahkan di Golkar, untuk pertama kalinya tampil tokoh sipil sebagai ketua umum. Kalaupun peremajaan infrastruktur yang lain PDI dan PPP masih menunggu perkembangan, hal itu tak akan mengubah keseimbangan yang sudah mapan. Daur itu sudah berlangsung teratur sejak 1977, setelah putaran pertamanya (1971-1976) diundur satu tahun karena pertimbangan keamanan dan situasi yang belum mengizinkan. Keteraturan daur kelembagaan ini perlu agar percaturan politik nasional berlangsung tertib dan dapat diramalkan karena perencanaan hanya mungkin apabila perkembangan keadaan dapat diramalkan. Untuk suatu bangunan politik yang dasar legitimasinya terletak pada perencanaan dan performance pembangunan, keteramalkan (predictability) itu hampir-hampir merupakan syarat mutlak. Suatu keadaan dapat lebih mudah diramalkan bila terdapat banyak faktor tetap yang sudah ditentukan. Kecuali dasar konstitusional yang tak boleh lagi diubah, faktor tetap dalam Orde Baru adalah kepemimpinan Presiden Soeharto, dwifungsi ABRI, ditambah tiga organisasi politik untuk mengisi dan meramaikan lembaga perwakilan. Semua faktor itu merupakan konstanta yang tak akan berubah sekalipun siklus politik sudah berputar lima kali. Daur politik, dengan demikian, hanya berfungsi untuk memberi siraman penyegaran terhadap pokok pohon Orde Baru itu. Atau paling jauh, membuat akar meruyak, ranting mengembang, dan daun baru merimbun pada pohon lama. Karena dalam konvensi politik kita konstanta itu tak dapat menjadi perbincangan publik, perhatian kita pun banyak tertuju kepada faktor dinamika: hal-hal yang masih dapat berubah. Tidak mengherankan jika kongres Golkar dan PDI tahun ini mendapat perhatian penuh dari media massa. Orang mengharapkan perubahan walaupun masih terbatas pada ranting dan daun. Lagi pula, dinamika yang terjadi di dalamnya diduga merupakan pencerminan permainan tolak-tarik antara dua unsur konstanta, yang ibarat dua magnet yang berlainan sedang memperebutkan wilayah untuk membentuk medan magnet masing-masing. Wilayah ini adalah wilayah yang penuh rahasia, karena itu hanya dapat diraba lewat desas-desus. Dan karena sulitnya dihitung dan diramalkan, dari sini memang sering timbul kejutan. Justru karena itulah wilayah ini menjadi amat menarik perhatian. Tetapi wilayah itu termasuk papan atas. Kejutan apa pun yang muncul dari sana, pada dasarnya tak akan membawa perubahan yang mendasar. Maka, orang pun mencari-cari arus bawah yang mungkin akan menjadi faktor pembawa perubahan. Pada kasus Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya, arus bawah itu memang muncul. Namun, ia bertemu dengan jalan buntu. Pada kasus SDSB arus bawah itu memperoleh tanggapan yang positif mungkin karena risiko politiknya cukup tinggi. Sebab, kecuali melibatkan anak-anak muda, isu ini mungkin juga dapat menggerakkan arus yang lebih besar, terutama dari kalangan umat Islam. Sudah menjadi anggapan umum bahwa potensi Islam sebagai penggerak massa memang besar. Kecuali daya panggil isu-isu keagamaan memang kuat, Islam juga memiliki berbagai institusi yang mampu menghimpun massa, dari jamaah masjid, majelis pengajian, sampai ke berbagai perayaan keagamaan. Di samping itu, tradisi gerakan, bahkan yang bersifat politis, sudah lama dikenal umat. Karena itu, kiat yang lazim adalah mencegah transformasi isu keagamaan menjadi isu politik. Salah satu cara yang klasik adalah menggelorakan syiar agamanya, merangkul tokoh-tokohnya, sambil memangkas jurus-jurus politiknya. Hal ini amat dibantu oleh kemajemukan umat Islam dan beragamnya sikap mereka terhadap kekuasaan. Maka, potensi politik umat, yang diduga amat besar itu, dalam praktek sesungguhnya terbatas. Ironis, memang, ketika seorang tokoh Katolik sesudah letih membahas daur politik yang tak kunjung mengisyaratkan perubahan itu mengatakan bahwa satu-satunya harapan terletak pada umat Islam. Setelah menarik napas, seorang tokoh santri pun menyahutnya dengan pertanyaan, "Umat Islam yang mana?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini