Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Akal-akalan Izin Sawit

KONVERSI kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit—dengan tujuan mendatangkan devisa dan menyejahterakan masyarakat—

23 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
KONVERSI kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawi—dengan tujuan mendatangkan devisa dan menyejahterakan masyarakat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejatinya menyimpan problem lingkungan yang serius. Hutan jadi porak-poranda—tragedi lingkungan yang tak mudah dipulihkan—tapi tak ada jaminan perkebunan sawit serta-merta terbangun.

Problem inilah yang terjadi di Boven Digoel, Papua. Penyebab utamanya adalah ketamakan pengusaha dan aturan yang longgar. “Perkebunan” kelapa sawit milik Menara Group di Boven Digoel adalah contoh tragedi lingkungan akibat aturan yang goyor itu. Hingga hari ini, sejak menerima izin pelepasan kawasan hutan (IPKH) pada 2011-2013, Menara tak kunjung menanam sawit dan ingkar membangun infrastruktur di kabupaten itu.

Menara malah menjual izin-izin tersebut kepada perusahaan lain. Ada tujuh anak usaha Menara yang memiliki IPKH seluas 280 ribu hektare di hutan produksi Boven Digoel. Dua perusahaan dijual ke Tadmax Resources Bhd senilai US$ 80 juta dan empat perusahaan ke perusahaan asal Timur Tengah.

Bagi Menara, selain mendatangkan uang, penjualan itu menyelamatkannya dari sanksi pencabutan izin akibat melanggar luas maksimal kepemilikan kebun 200 ribu hektare per grup usaha. Bagi Tadmax, pembelian itu mengerek nilai sahamnya di bursa Malaysia karena mendapat pemasukan dari penebangan kayu. Tadmax mengumumkan nilai kayu di lahan tersebut senilai Rp 12 triliun.

Tanpa izin Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (2009-2014), transaksi itu tentu tak akan terjadi. Politikus Partai Amanat Nasional ini memberikan kemudahan kepada Menara dengan memanfaatkan aturan yang longgar. Aturan tak mempersoalkan IPKH berpindah tangan sepanjang pemiliknya perusahaan yang sama. Maka Menara menjual anak usaha pemegang IPKH agar lolos dari aturan ini. Lebih buruk lagi, ketika transaksi itu terjadi, Indonesia belum memiliki aturan pemilik manfaat akhir (beneficial ownership) sehingga pemegang saham sesungguhnya dari sebuah perusahaan tak perlu mendeklarasikan diri.

Hingga hari ini, Menara Group tetap mengaku menjadi induk enam perusahaan yang telah dijual itu—satu perusahaan tidak dilego. Penelusuran majalah ini terhadap transaksi jual-beli anak usaha Menara kian menguak praktik kelam korupsi izin konversi hutan. Nama-nama yang menjadi direktur atau komisaris anak usaha Menara, sebagai syarat mendapatkan izin, ternyata fiktif.

Mereka yang tercantum dalam akta perusahaan adalah orang kecil, sopir atau petugas kebersihan di gedung perkantoran, yang tak tahu namanya dipakai. Kementerian Kehutanan tak memeriksa latar belakang sebuah perseroan ketika memberikan izin membuka lahan. Kementerian itu hanya memeriksa secara administratif dengan alasan urusan pendirian perusahaan ada di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Kasus Menara Group mesti menjadi pembelajaran bagi pemerintah pada masa moratorium izin kebun sawit yang berlaku September lalu hingga tiga tahun mendatang ini. Selain mendata izin-izin perkebunan yang diperjualbelikan, pemerintah mesti mereformasi tata kelola perizinannya agar tak dimanfaatkan pengusaha culas yang hanya mengejar untung lewat lisensi mengeruk sumber daya alam Indonesia.

Salah satunya dengan menegakkan hukum penikmat manfaat korporasi supaya negara bisa melacak pemilik sebenarnya dari pemegang lisensi pengelola sumber daya alam—agar bisa memaksimalkan -pendapatan pajak. Kebijakan Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2018 tentang penerapan prinsip mengenali penikmat manfaat korporasi pada Maret lalu layak diapresiasi.

Saat ini, aturan soal keterbukaan informasi penikmat manfaat baru berlaku di perbankan. Agar lebih kuat, Indonesia mesti meniru tiga negara yang sudah memiliki aturan ini di pelbagai jenis usaha. Spanyol, Singapura, dan Italia mengatur beneficial ownership dalam bentuk undang-undang sehingga kedudukannya sangat kuat.

Kebijakan lain yang mesti diperketat adalah aturan teknis pemberian izin membuka hutan. Pengganti Zulkifli, Siti Nurbaya, memang mengubah aturannya dengan menurunkan batas maksimal kepemilikan lahan dalam satu grup dan menerapkan kewajiban evaluasi atas izin sebelumnya. Revisi ini bagus, tapi mesti diikuti paradigma pengelolaan sumber daya alam yang adil dan lestari.

Apa yang dilakukan Zulkifli, yang mengobral izin sawit seluas 1,6 juta hektare, sangat berbahaya karena tak menimbang aspek lingkungan. Menurut laporan World Wild Fund akhir Oktober lalu, deforestasi akibat konversi lahan adalah penyebab utama punahnya 60 persen satwa di dunia akibat kehilangan habitat sejak 1970.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus