Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak orang mengeluhkan pelayanan aplikasi yang mempertemukan pengutang dan pemberi pinjaman (peer-to-peer lending). Mereka dikenai bunga yang mencekik, ditagih secara kasar, bahkan diteror.
Ratusan korban pelayanan pinjaman online mengadu ke sejumlah lembaga dalam sebulan terakhir. Misalnya, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menerima sekitar 800 pengaduan. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia pun mendapat pengaduan dari 72 nasabah layanan pinjaman digital. Sebagian pengadu sebelumnya telah melapor ke OJK. Bukan cuma soal bunga dan cara penagihan, sebagian peminjam juga mempersoalkan perlindungan data -pribadi.
Banyaknya keluhan itu menunjukkan OJK belum mengawasi sungguh-sungguh para pemain financial technology (fintech) untuk pelayanan pinjam-meminjam. Padahal otoritas ini telah membentuk Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum di Bidang Penghimpunan Dana Masyarakat dan Pengelolaan Investasi atau Satgas Waspada Investasi. Tim ini melibatkan antara lain pejabat dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Tindakan yang perlu dilakukan secara terus-menerus adalah menertibkan perusahaan fintech yang belum terdaftar. Sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016, semua pelayanan pinjam-meminjam berbasis teknologi informasi harus memenuhi sejumlah persyaratan dan terdaftar di OJK. Hingga kini, baru 72 penyelenggara aplikasi terdaftar dan satu yang mengantongi izin. Di luar pemain resmi ini, ratusan aplikasi pinjam-meminjam beroperasi secara liar.
Kementerian Komunikasi dan Informatika sebetulnya telah memblokir 341 aplikasi pinjam-meminjam ilegal. Tapi langkah ini kurang efektif karena dengan mudah mereka membuat aplikasi baru dengan nama lain. Itu sebabnya, kepolisian perlu turun -tangan untuk menindak pemain fintech liar. Lemahnya pe-nindakan polisi menunjukkan kurangnya koordinasi sesama anggota Satgas.
Pengawasan ketat perlu dilakukan lantaran bisnis baru ini berdampak besar bagi perekonomian dan bersentuhan langsung dengan khalayak ramai. Sampai September lalu saja OJK mencatat transaksi pinjaman online mencapai Rp 13,84 triliun. Di satu sisi, bisnis ini menjanjikan kemudahan dalam urusan pinjam-peminjam, tapi di sisi lain bisa menimbulkan banyak mudarat jika tidak diatur dan diawasi serius.
OJK harus rutin mempublikasikan para pengelola fintech yang telah terdaftar ataupun yang mendapatkan izin operasi. Satgas Waspada Investasi mesti aktif pula melayani pengaduan masyarakat. OJK perlu pula mencatat pemain fintech terdaftar dan berizin yang memiliki reputasi buruk. Soalnya, sebagian masyarakat juga mengeluhkan pelayanan fintech tersebut.
Masyarakat pun sebaiknya lebih cermat memanfaatkan pelayanan pinjam-meminjam secara online. Baik pemberi pinjaman maupun pengutang harus memastikan perusahaan fintech itu sudah terdaftar dan memiliki rekam jejak yang bagus. Kita mesti membaca secara teliti perjanjian yang dibuat sebelum menanamkan duit ataupun meminjam. Jangan lupa pula memastikan apakah perusahaan fintech itu berkomitmen melindungi data pribadi yang kita berikan.
Sikap hati-hati diperlukan karena ladang bisnis baru ini belum mempunyai aturan baku dan banyak yang beroperasi secara liar. Jangan sampai kita menjadi korban rentenir digital atau penipuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo