Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Majalah Tempo edisi 4 Juni 1994 menurunkan artikel membahas Salim Group yang hendak membuka lahan perkebunan sawit di Provinsi Riau. Artikel dengan judul ”Dari Kedelai ke Sawit” itu menyebutkan Salim memiliki lahan 549 ribu hektare lebih di Riau, yang membuat orang terperangah.
Apalagi ada kabar lahan itu diberikan sebagai balas budi pemerintah kepada Salim Group, yang menyuntikkan dana segar US$ 500 juta untuk Bapindo. Benarkah?
Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad dan Menteri Kehutanan Djamaludin Surjohadikusumo membantah berita itu. ”Masalah pelepasan lahan itu tak ada sangkut pautnya dengan soal Bapindo,” kata Djamaludin. Dia mungkin benar. Soalnya, pencadangan lahan sudah disetujui ketika Menteri Kehutanan masih dijabat Hasjrul Harahap.
Selain dikaitkan dengan kasus Bapindo, belakangan diisukan bahwa lahan yang membentang dari Kabupaten Kampar hingga Bengkalis itu akan dikonversikan menjadi perkebunan kelapa sawit. Nah, berita ini lebih masuk akal. Menurut Gubernur Riau Soeripto, area itu sebagian berupa lahan bergambut dengan ketebalan 5-10 meter.
”Secara ekonomis sulit membudidaya-kan kacang kedelai di situ. Memerlukan waktu dan biaya yang cukup besar,” ujar Soeripto. Maksudnya, sebelum bisa dijadikan lahan produktif, kawasan itu perlu dibersihkan dari gambut. Dan ini bukan pekerjaan gampang. Tanaman yang cocok di lahan bergambut, menurut Soeripto, adalah kelapa sawit atau hibrida.
Budi daya ini pernah dirintis PT Pulau Sambu dan berhasil. Adapun lahan bergambut itu, seperti kata Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Titus Sarijono, sudah dikonsesikan kepada Salim sejak 1989. Semula akan dijadikan lahan bu-di daya kacang kedelai dan proyek penjernihan air ber-sih bagi penduduk Singa-pura. Tapi, bela-kangan, proyek air bersih dialihkan ke Pulau Bintan.
Dengan ber-ubah---nya pe-run-tu-kan, menurut Titus, ”Jenis tana-mannya juga mesti berubah.” Tapi sebuah sumber memastikan, Salim akan menggarap lahan itu menjadi perkebunan sawit, Agustus depan. Hal ini erat kaitannya dengan rencana pengembangan industri minyak sawit Salim Group.
Bos Liem Sioe Liong, yang memiliki perkebunan kelapa sawit di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, dewasa ini mencatat total produksi minyak sawit lebih dari 100 ribu ton per tahun. Tapi jumlah itu belum mencukupi seluruh kebutuhan semua industri Salim Group, sehingga sebagian harus dipasok dari PTP-PTP. Hasil perkebunan itu sebagian dipakai untuk minyak goreng dalam negeri, sebagian lagi diekspor, antara lain ke Moskow.
Adapun biji kelapa sawit (kernel) diolah menjadi fatty alcohol oleh PT Aribhawana Utama, anak perusahaan Salim Group di Belawan, Sumatera Utara. Pabrik ini menghasilkan 30 ribu ton fatty alcohol per tahun. Namun berdirinya pabrik serupa di Batam dan Jerman, dengan kapasitas 80 ribu ton fatty alcohol per tahun, mengharuskan Salim memperluas lahan kelapa sawitnya.
Bahan baku detergen, pelumas, kos-metik, dan obat-obatan ini sebagian besar diekspor ke anak-anak perusahaannya di Jerman, Singapura, Filipina, dan Australia. Sebegitu jauh, isu perluasan kebun sawit sampai 549 ribu hektare itu belum memperoleh konfirmasi dari Salim Group. Tapi, kalau isu itu benar, dari kawasan bergambut tersebut Salim juga memperoleh kayu log.
Menurut perhitungan Himpunan Pelestarian Alam dan Lingkungan (Hipalhi) Riau, hutannya masih perawan, dengan volume di atas 50 meter kubik. Berarti, dari hutan setengah juta hektare, bisa diperoleh 8,5 juta kubik kayu. Katakanlah satu meter kubik harganya US$ 18, maka paling sedikit Salim akan mengaut Rp 1 triliun lebih.
Jadi? ”Suntikan Salim ke Bapindo itu dibayar dengan hasil dari penjualan kayu,” ujar Ketua Hipalhi Riau Andreas Kahuripan. Mana yang benar, agaknya hanya Mar’ie Muhammad yang tahu.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 15 Januari 1994. Dapatkan arsip digitalnya di:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo