Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CARA pemerintah menata industri gula nasional benar-benar tak seperti rasa komoditas pangan strategis ini. Berbagai target dan program untuk mengembalikan kejayaan gula Nusantara hanya manis di bibir. Prahara justru tengah dihadapi sejumlah pabrik gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah, yang sebagian besar berstatus badan usaha milik negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga pekan terakhir, empat pabrik gula milik PT Perkebunan Nusantara X mematikan mesin giling lebih cepat, yakni Pabrik Gula (PG) Lestari di Nganjuk, PG Tjoekir di Jombang, PG Meritjan di Kediri, dan PG Kremboong di Sidoarjo. PG Pakis Baru, yang dikelola Grup Salim di Pati, Jawa Tengah, melakukan hal serupa. Beberapa pabrik gula dikabarkan menyusul pekan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika mengacu pada pakem 150 hari giling agar balik modal, mesin-mesin itu semestinya tetap menyala hingga akhir Oktober nanti—musim giling dimulai Juni lalu. Namun, apa daya, tak ada tebu yang bisa digiling. Pabrik-pabrik tua itu kalah bersaing dalam perebutan bahan baku dengan pabrik-pabrik gula baru di Jawa milik swasta. Petani yang biasa menggiling tebu di pabrik-pabrik itu kini memilih pabrik baru yang menawarkan harga tinggi.
Fenomena “tebu wisata” pada 1990-an pun berulang beberapa bulan terakhir. Disebut wisata karena petani rela mengirim tebu mereka ke pabrik di luar daerah. Mesin giling di pabrik gula baru, seperti PG Rejoso di Blitar, Jawa Timur, bisa menghasilkan rendemen lebih tinggi. Makin tinggi volume gula yang dihasilkan dari setiap kuintal tebu, makin besar pula duit yang bisa dibawa pulang petani. Pabrik baru ini juga menawarkan sistem beli putus, tak seperti pabrik gula pemerintah yang membayar dengan skema bagi hasil setelah gula dilelang.
Sistem baru ini memang lebih menarik bagi petani karena mereka punya opsi mendapatkan cuan lebih besar. Tapi fenomena di hulu usaha gula itu sekaligus merupakan sinyal adanya masalah besar di industri gula yang terus menumpuk. Masalah tersebut menambah berbagai persoalan yang muncul lebih dulu, terutama kegagalan swasembada gula 2019 akibat prediksi produksi nasional yang meleset. Ujungnya adalah naiknya volume impor gula.
Pemerintah harus segera mengevaluasi seluruh rencana revitalisasi pabrik gula. Tahun ini, program revitalisasi menjadi dalih pemerintah untuk memberikan penyertaan modal negara ke induk BUMN perkebunan sebesar Rp 4 triliun. Padahal program yang sama sudah menghabiskan triliunan rupiah selama lima tahun terakhir. Hasilnya, pabrik gula milik negara tak kunjung sehat dan gagal menjalankan misi pemerintah menopang swasembada gula.
Masalah di pabrik gula pelat merah bukan hanya gara-gara mesin yang uzur, melainkan juga model bisnis yang tak transparan dan cenderung melayani kepentingan kroni. Selama puluhan tahun para petani harus ikut menanggung inefisiensi ini melalui sistem bagi hasil, yang nyata-nyata mencekik kesejahteraan mereka. Jangan salahkan petani tebu yang memilih pabrik swasta. Mereka berhak meraih kehidupan yang lebih baik.
Pembangunan pabrik baru seharusnya juga difokuskan ke luar Jawa dengan tetap memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Lahan di Jawa sudah sangat sempit sehingga tak mampu mendukung industri gula dengan kapasitas yang cukup untuk memenuhi skala keekonomian. Tahun lalu, luas area tebu di pulau terpadat ini diperkirakan tersisa 257 ribu hektare, menyusut rata-rata enam persen per tahun. Pembangunan pabrik baru di Jawa tanpa sokongan luasan perkebunan tebu yang memadai akan memicu persaingan tak sehat.
Lebih dari itu semua, pemerintah sebaiknya berhenti menjadi pemain. Tinggalkan lapangan dan jadilah wasit yang adil dalam membuat regulasi dan mengawasinya. Pemerintah juga harus pandai membuat perencanaan. Akurasi yang payah membuat pasar gula sering goyah: harga naik-turun tidak pada saat yang tepat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo