Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Jalan Tikus Mencuci Uang  

Investigasi global mengungkap lemahnya sistem deteksi dini pencucian uang di banyak bank. Kerugian publik baru terungkap belakangan.

19 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI BALIK nama besar bank-bank dunia, terselip catatan buruk kegagalan sistem finansial global dalam mencium jejak kejahatan lintas negara. Tanpa kemauan politik dan peta jalan yang disepakati bersama, berbagai celah dalam sistem keuangan kita tak bakal mudah dibenahi. Dengan kata lain, jejaring perbankan masih rawan disalahgunakan menjadi mesin cuci uang raksasa para penjahat kelas kakap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kelemahan mendasar itu terungkap dalam investigasi global sepanjang 16 bulan yang dipimpin jejaring jurnalis investigasi internasional atau International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) dan BuzzFeed News bersama 108 media dari 88 negara, termasuk Tempo. Sebelum investigasi kali ini, konsorsium yang sama mengungkap peran negara-negara suaka pajak dalam menyembunyikan kekayaan para petinggi dan pesohor, lewat publikasi Panama Papers dan Paradise Papers.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kali ini, sumber datanya adalah lalu lintas transaksi mencurigakan yang dilaporkan lembaga intelijen kejahatan keuangan pemerintah Amerika Serikat atau Financial Crimes Enforcement Network (FinCEN). Kolaborasi investigatif ini mendapati kegagalan sistem perbankan dunia melaporkan aktivitas keuangan para nasabahnya yang berpotensi melanggar hukum. Bocoran dokumen yang dinamai #FinCENFiles ini menghimpun 2.100 transaksi mencurigakan sejak 2000 hingga 2017 dengan nilai lebih dari US$ 2 triliun.

Dari dokumen itu, ada 496 transaksi yang menyangkut 20 bank di Indonesia, seperti Bank Mandiri, BNI, dan BCA. Lembaga-lembaga keuangan itu tercatat dalam laporan transaksi mencurigakan yang diungkap empat bank asal Amerika Serikat, yakni JPMorgan Chase & Co, Standard Chartered Bank, Deutsche Bank AG, dan Bank of New York Mellon. Laporan mereka soal lalu lintas fulus sejak Desember 2008 hingga Juli 2017 itu mencatat dana masuk ke Indonesia sebesar kurang-lebih Rp 3,2 triliun dan pengiriman dana ke luar Indonesia setidaknya Rp 4,2 triliun.

Tentu keberadaan laporan mencurigakan itu tak serta-merta berarti ada kejahatan keuangan yang tersangkut di dalamnya. Seperti tugas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di Indonesia, FinCEN hanya mendeteksi potensi kriminal dari transaksi perbankan, kemudian meneruskannya kepada lembaga penegak hukum. Namun beberapa dokumen menunjukkan ada sejumlah transaksi yang diduga terkait dengan suap ataupun kejahatan lain, yang terbukti luput ditindaklanjuti secara hukum.

Di Indonesia, transaksi itu terkait dengan dugaan penggelembungan harga (markup) dalam pembelian enam pesawat tempur Sukhoi Su-30MK2 dari Rosoboronexport, Rusia, pada 2012. Harga per unit Sukhoi diduga melambung dari US$ 55 juta pada 2010 menjadi US$ 83 juta pada 2011. Ketika hal ini diungkap pertama kali oleh Indonesia Corruption Watch, Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat dan Komisi Pemberantasan Korupsi pernah menyatakan siap menelusuri dugaan korupsi yang nilainya diduga sekitar Rp 1,5 triliun itu. Namun kasus itu menguap begitu saja, hingga sekarang.

Padahal, kalau saja sistem deteksi dini perbankan kita terkoneksi dengan baik pada lembaga penegak hukum, penyelidikan kasus ini sebenarnya bisa bergulir lebih cepat. Dokumen FinCEN sejak pertengahan 2011 hingga awal 2012—bersamaan dengan transaksi pembelian pesawat Sukhoi pada 2011—menunjukkan ada 14 pengiriman uang sebesar total US$ 10 juta dari perusahaan pembuat pesawat tempur Rusia, Rosoboronexport, kepada pengusaha bernama Sujito Ng alias Djin Tjong di Indonesia. Sujito adalah pemilik PT Trimarga Rekatama, makelar pembelian Sukhoi untuk Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara ketika itu.

Selain Sujito, sejumlah individu dan perusahaan lokal tersangkut dalam #FinCENFiles, termasuk pebisnis batu bara Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam dan perusahaan sawit terkemuka, Musim Mas. Isam, misalnya, dilaporkan karena menerima kiriman uang total hampir Rp 700 miliar dari sebuah perusahaan cangkang di kawasan suaka pajak British Virgin Islands pada 2014. Dibutuhkan sistem penegakan hukum yang baik untuk memastikan ada-tidaknya potensi pelanggaran aturan dalam laporan FinCEN itu.

Masalahnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa mitra kerja FinCEN di Indonesia, yakni PPATK, kerap mengeluhkan lambannya tindak lanjut laporan mereka ke lembaga penegak hukum. Selain itu, ketaatan bank di Indonesia masih menjadi persoalan. Selama kelemahan mendasar itu tak diperbaiki, sulit menampi sistem keuangan negeri ini dari fulus kotor hasil kejahatan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus