Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Akbar di Simpang Dusta

12 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENANG jangan putus, tapi tepung jangan terserak. Sebagai dua politisi ulung, Akbar Tandjung dan Rahardi Ramelan tentu tahu benar arti peribahasa itu. Setidaknya, tindak-tanduk mereka seperti mengikuti peribahasa itu tatkala dugaan penyelewengan dana Rp 40 miliar dari Badan Urusan Logistik (Bulog) terungkap ke muka publik, sekitar Februari tahun 2000. Saat itu, kita tahu, keduanya seperti menjadi satu: seia sekata, segendang sepenarian. Keduanya sama-sama motor penggerak Partai Golkar. Akbar, bekas Menteri Sekretaris Negara, dan Rahardi Ramelan, bekas Kepala Bulog, berusaha keras agar benang jangan putus dan tepung jangan berserakan. Mereka seakan sepakat untuk menyelesaikan kasus itu dengan sangat hati-hati. Yang penting, sama-sama selamat.

Keduanya berhasil dalam jangka waktu yang cukup lama. Orang mengira semuanya berjalan seperti yang diceritakan Akbar Tandjung. Bahwa Presiden Habibie, yang menimbang terjadinya krisis ekonomi di negeri ini, pada Februari 1999 menginstruksikan tiga pejabat tinggi— Menteri Sekretaris Negara Akbar Tandjung, Kepala Bulog Rahardi Ramelan, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Haryono Suyono—untuk menyalurkan sembilan bahan pokok ke berbagai daerah senilai Rp 40 miliar. Dana itu dipinjam dari kas Bulog. Orang masih percaya saja ketika Akbar mengatakan sembako disalurkan lewat sebuah yayasan bernama Raudatul Jannah.

Semakin hari semakin terang bahwa cerita Akbar tentang yayasan itu reka-rekaan belaka. Indikasinya muncul satu demi satu. Yang pertama sekitar Februari 2000, ketika Abdurrahman Wahid masih menjabat presiden. Menteri Pertahanan Mahfud Md. berbicara tentang dana Rp 90 miliar dari Bulog yang mengalir ke kas Partai Golkar. Mahfud mengaku mendengar kabar ini di sidang kabinet. Sumber yang dikutip Mahfud juga tak kurang kuat bobotnya: Rizal Ramli, ketika itu Kepala Bulog. Yang kedua, investigasi majalah ini mendapatkan fotokopi dua lembar cek senilai Rp 20 miliar bertanggal 2 Maret 1999 yang ditandatangani M.S. Hidayat dan Fadel Muhammad, keduanya adalah wakil dan bendahara Partai Golkar. Yang ketiga, Dadang Sukandar, Ketua Yayasan Raudatul Jannah, ternyata mengaku punya hubungan kerja dengan M.S. Hidayat. Suatu kebetulan yang sangat mencurigakan.

Semua indikasi itu seakan mengantar kita pada satu muara: dana sembako yang kata Akbar disalurkan oleh yayasan ternyata nyelonong ke kas Partai Golkar. Petunjuk itu kian jelas setelah pertemuan di Hotel Gran Mahakam diungkap dalam persidangan Rahardi Ramelan, Selasa pekan lalu. Rahardi dibujuk untuk mengakui bahwa dana Bulog itu sudah dibagikan lewat Yayasan Raudatul Jannah. Rahardi menolak ikut "Skenario Hotel Mahakam" untuk menyelamatkan Akbar. Jelas kongsi sudah pecah.

Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Kalau dana tak mengalir lewat yayasan, apa benar dikirim ke kas Golkar? Sangat di-sayangkan, jaksa penuntut umum dan hakim membuang peluang emas untuk menggali jawaban atas pertanyaan ini. Keduanya tidak menggali lebih jauh ketika Akbar ditanya penasihat hukum Rahardi tentang kemungkinan dana dikucurkan ke kantong Partai Golkar. Entah karena jaksa dan hakim tak menangkap peluang itu, entah karena sengaja menghindarkan bola lari ke arah Partai Golkar.

Jaksa penuntut umum bisa saja berdalih bahwa dia harus fokus kepada dakwaan yang disusun berdasarkan berita acara pemeriksaan polisi. Di berita acara memang tak disinggung soal Partai Golkar. Jelas, jaksa memasang "kacamata kuda", dia tidak mau melirik hal-hal di luar berita acara. Di satu sisi, jaksa seolah-olah benar. Tapi harus diingat bahwa jaksa semestinya bertindak atas dasar kepentingan publik. Publik menghendaki kebenaran ditegakkan. Artinya, semua kemungkinan seharusnya dieksplorasi, setidak-tidaknya dilacak. Jika dugaan dana mengalir ke Partai Golkar sudah tersiar jauh hari sebelum sidang dibuka, mengapa pula jaksa mendakwa Akbar hanya soal yayasan yang justru jauh kaitannya dengan Golkar? Tidaklah mengherankan jika bermunculan dugaan bahwa jaksa sudah mengikuti skenario untuk tidak menyentuh Partai Golkar.

Hakim pun setali tiga uang. Walaupun tidak implisit mencegah pertanyaan yang bergulir ke pangkuan Partai Golkar, hakim tidak mencoba mengejar Rahardi Ramelan agar ia mengungkapkan lebih jauh "Skenario Mahakam". Padahal, hakim punya kewenangan untuk itu. Selain harus mengejar hal-hal yang mencurigakan di berita acara pemeriksaan, hakim punya wewenang untuk mengejar soal baru yang berkembang di ruang pengadilan. Kalau perlu hakim bisa memerintahkan jaksa untuk memberkas sebuah kasus baru atas temuan di sidang.

Semua itu, sekali lagi sangat disayangkan, tidak dilakukan jaksa dan hakim. Kita merasa ada something wrong di sana. Sesuatu yang salah itu bisa diduga ada di sekitar jaksa, hakim, atau polisi yang menyusun berita acara, dan mungkin saja para politisi yang terlibat dalam kasus ini. Ada gejala yang cukup untuk mengatakan bahwa proses persidangan ini tidak berjalan seperti seharusnya.

Kalau begitu, proses hukum yang mulai tidak lempang jalannya ini, harus dikontrol. Dewan Perwakilan Rakyat yang menunda pembentukan panitia khusus kasus Bulog II sekarang bisa memikirkan kembali pembentukan panitia khusus ini. Pansus bisa membuat hakim dan jaksa merasa mendapat sokongan politik dari rakyat, sekaligus semacam lembaga pengawas jalannya proses yustisial itu.

Jangan-jangan hakim dan jaksa memang memerlukan pansus, agar bisa lebih bebas dari tekanan politik satu kelompok yang terlibat kasus Bulog II ini. Jangan-jangan pula dengan terbentuknya pansus, hakim dan jaksa bisa lebih bebas dari jangkauan tangan sang sutradara yang sejak awal "menyetir" skenario kasus ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus