Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIAPA sih yang tak ingin duduk di parlemen? Tidak cuma gengsi dengan julukan wakil rakyat yang bisa didapat, tapi juga pelbagai kenikmatan beragam bentuk. Bisa menempati rumah dinas yang rekening listrik, air, dan teleponnya ditanggung negara. Belum lagi jatah mobil Kijang yang cicilannya juga dibantu kas pemerintah. Urusan pakaian kotor pun tak usah repot-repot. Ada mesin cuci antitikus yang baru saja mereka terima sebagai kado khusus dari negara.
Rezeki lain bisa datang tanpa diundang. Ada uang saku meninjau proyek, uang sidang ini, rapat itu. Cukup asal teken, meski nyatanya cuma nongol sebentar. Dan jangan lupa: mereka bisa menakut-nakuti pejabat pemerintah, terutama kalau ikut rapat dengar pendapat. Banyak menteri yang grogi menghadapi serangan pertanyaan maut para wakil rakyat yang terhormat ini. Kalau mereka bermasalah, polisi tak bisa menyentuh tanpa seizin presiden.
Ini baru sekadar anggota biasa. Kalau menjadi ketua fraksi, ketua komisi, lain lagi ceritanya. Apalagi kalau masuk dalam lingkup pemimpin DPR. Tentu saja kantong bisa lebih menggelembung. Mobil resminya bisa sedan Volvo hitam berkilap yang tak kalah dengan tumpangan seorang menteri. Rumah juga bisa di kawasan mentereng, berdampingan dengan kompleks menteri. Bisa pilih di kawasan segi tiga emas Kuningan atau Gatot Subroto.
Mungkin faktor macam ini yang dijadikan alasan orang saling berebut kursi. Habis, enak sih, begitu kata iklan. Maka, setiap ada peluang menduduki kursi parlemen yang melompong karena berbagai sebab dan alasan, sikap para wakil rakyat itu jadi tampak "manusiawi": saling rebut, bahkan kalau perlu saling sikut. Itu pernah terjadi ketika 10 anggota DPR harus diganti karena diangkat menjadi menteri dalam kabinet Presiden Megawati.
Perdebatan mencuat ihwal pengisian anggota di kursi melompong itu. Dalam peraturan perundangan, proses ini masuk dalam ketentuan yang kerap disebut "pergantian antarwaktu". Saat itu, di penghujung tahun lalu, Komisi Pemilihan Umum dan dewan pemimpin pusat partai saling beradu argumen: apatah penggantinya harus berasal dari kabupaten di daerah pemilihan yang sama ataukah bisa diambilkan dari daftar calon tetap dari kabupaten atau kota lainnya asalkan masih satu provinsi?
Silang pendapat soal ini juga mengemuka menyangkut pergantian antarwaktu bagi anggota yang dalam Pemilu 1999 lalu tak berhasil meraih kursi berdasarkan bilangan pembagi. Pengangkatan anggota yang mendapat kursi dari sisa suara diklaim menjadi wewenang partai politik. Komisi Pemilihan Umum akhirnya cuma bisa geleng kepala. Ini akibat sistem politik masa lalu, yang menggunakan sistem campuran, bukan distrik. Dengan sistem ini, partai politik lebih berkuasa dan paling menentukan dalam penempatan para "wakil rakyat" di Senayan itu.
Bukan konteks politisnya yang kini menarik dicermati. Sistem coblosan model begitu memang mengandung banyak kelemahan. Bahwa ada yang masih enggan digantikan, alasannya mungkin soal rezeki dan seabrek privilese tersebut. Ketua MPR Amien Rais lalu menyerahkan kepada "suara hati nurani" mereka. Ia cuma bisa mengimbau agar anggotanya legowo jika harus memenuhi kesepakatan tertulis di masa lalu tentang pergantian separuh waktu itu.
Justru di sinilah letak masalahnya. Sebab, ternyata diam-diam di antara sejumlah anggota dewan yang akan saling menggantikan ituterutama dari Fraksi Golkar dan Reformasisudah dibikin perjanjian rahasia. Di atas kertas segel, mereka sepakat berganti tugas di setengah periode. Perjanjian dilakukan karena suara yang mereka dapat di daerah pemilihan tak cukup untuk meraih satu kursi, sehingga harus digabung dengan calon lain dari daerah pemilihan lain yang juga kurang dari satu kursi.
Komitmen selembar kertas itu ada yang khusus diberi judul pernyataan mengundurkan diri. Ini dibuat jauh-jauh hari, namun tanggalnya dikosongi, bahkan disaksikan sang pemimpin partai. Perjanjian itu kini telah jatuh tempo. Jelas, rakyat dikibuli karena mereka tahunya si A yang terpilih, akan bertugas sampai tuntaskecuali berhalangan tetap, meninggal dunia, misalnya. Tapi, faktanya, partai enak saja mengganti dengan si B dari daerah pemilihan tingkat dua lainnya, dengan dalih kesepakatan terselubung itu.
Jadi, urusan publik ini haruslah transparan. Jangan malah dientengkan seperti perkara perdata. Selingkuh kepada rakyat bisa kualat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo