Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBIJAKAN menurunkan harga Premium dan solar jelas merupakan kabar baik pembuka tahun 2015 dari pemerintah Presiden Joko Widodo. Ini tergolong langkah berani pada saat berbagai macam subsidi masih membebani anggaran belanja negara. Tapi sesungguhnya pemerintah mendapat momentum: memasang harga bahan bakar lokal sesuai dengan harga internasional. Bila hal ini konsisten diterapkan, anggaran negara akan jauh lebih sehat.
Penurunan harga ini—Premium dari Rp 8.500 menjadi Rp 7.600 dan solar dari Rp 7.500 menjadi Rp 7.250—seolah-olah tak berarti banyak. Tapi dampaknya pada anggaran sangat signifikan. Angka subsidi bahan bakar minyak langsung kempis. Pemerintah tak lagi mengeluarkan dana untuk subsidi Premium. Dengan mematok subsidi hanya Rp 1.000 per liter solar, dan membatasi penjualan solar hanya 17 juta kiloliter tahun ini, subsidi solar setahun hanya Rp 17 triliun. Angka ini jauh di bawah anggaran subsidi yang dipatok pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015 sebesar Rp 276,1 triliun.
Dengan mengikuti harga internasional, masyarakat akan terbiasa dengan naik-turunnya harga bahan bakar. Di banyak negara, pergerakan harga itu sangat lumrah. Sedangkan di sini, bertahun-tahun harga bahan bakar dianggap benda sakral yang tak boleh disentuh. Akibatnya, setiap ada kenaikan, demonstrasi pecah di mana-mana—dan tak jarang para petualang politik ikut menungganginya.
Masyarakat terlalu lama dimanjakan oleh subsidi bahan bakar minyak yang salah kaprah. Akibat buruknya, rakyat seperti tak peduli terhadap kondisi keuangan negara yang sedang teruk. Bahkan kelas menengah pun tetap saja ingin "disuapi" subsidi. Data Sensus Ekonomi Nasional pada Maret 2014 membuktikan itu: masyarakat miskin hanya "minum" 16 persen dari total konsumsi Premium dan sembilan persen dari konsumsi solar. Bagian terbanyak subsidi justru dinikmati orang-orang mampu. Betapa konyolnya kebijakan subsidi di masa lalu!
Pemangkasan subsidi membuat pemerintah seperti mendapat injeksi energi berlipat-lipat. Anggaran subsidi bisa dialihkan untuk membangun infrastruktur yang selama ini sangat tak memadai, juga buat memperbaiki sistem transportasi. Sebagian dana subsidi bisa dimanfaatkan untuk mendorong upaya penemuan energi baru dan terbarukan.
Untuk urusan energi terbarukan, Indonesia selama ini hanya punya seribu janji. Contohnya, pengembangan bioetanol dan biosolar, yang ditargetkan mencapai 10 persen konsumsi bensin dan solar, hingga kini juga tak tercapai. Kausa kegagalan pengembangan energi baru dan terbarukan itu berbagai macam, tapi kesimpulannya satu jua: salah urus.
Indonesia seharusnya belajar dari Brasil, yang sepuluh tahun lalu juga amat bergantung pada impor minyak. Sekarang Brasil sudah keluar dari krisis karena mengembangkan bioetanol. Separuh kebutuhan bahan bakar mobil pribadi telah digantikan bioetanol.
Pekerjaan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said masih setumpuk. Ia perlu merancang sistem untuk mencegah penyalahgunaan solar bersubsidi, yang banyak terjadi di wilayah perkebunan dan pertambangan. Ia juga harus menyiapkan infrastruktur industri gas sehingga pemanfaatannya bisa meluas. Selama ini, konversi energi dari minyak ke gas mandek sehingga ketergantungan Indonesia pada minyak impor semakin besar.
Konversi energi membutuhkan waktu tak sebentar. Bila ingin terhindar dari krisis energi, pemerintah Joko Widodo harus memulainya sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo