Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN pemerintah melarang operasi maskapai penerbangan Adam Air sudah tepat. Dalam tempo kurang dari tiga tahun, maskapai itu sudah mengalami delapan kali kecelakaan—angka yang terbilang tinggi dalam sejarah penerbangan kita. Sebuah mala berupa jatuhnya pesawat Boeing 737-400 di perairan Majene, Sulawesi Barat, bahkan membuat 102 penumpang dan awak pesawat hilang ditelan laut.
Kecelakaan beruntun menandakan ada yang salah pada maskapai penerbangan ini. Bersama pemberian sanksi, Departemen Perhubungan membuka borok yang selama ini tertutup rapat. Disebutkan bahwa pelatihan pilot dan kopilot di maskapai itu tidak sesuai dengan standar perusahaan. Bagian mekanik kurang memahami prosedur perbaikan. Departemen penjamin kualitas pun tidak berfungsi dengan baik karena sering diintervensi pihak lain. Bahkan ada bukti beberapa suku cadang tak memiliki dokumen kelaikan.
Sulit rasanya mengharapkan jaminan keselamatan penumpang dari industri penerbangan yang dikelola serampangan. Sebab itulah, pengumuman itu merupakan langkah maju. Sebelumnya kita tak pernah ditempa menyelesaikan investigasi kecelakaan udara hingga tuntas. Sekadar memaparkan kronologi terjadinya kecelakaan pesawat saja belum pernah dilakukan. Apa saja bentuk perbaikan sistem dan prosedur pengamanan di udara juga tak gamblang.
Kalau ada pihak yang ketahuan bersalah, selama ini juga tak jelas sanksinya. Belum pernah pula kita mendengar ada asosiasi pilot yang menerbitkan panduan operasional atau panduan etika yang baru setelah terjadi kecelakaan pesawat. Apalagi mendengar ada Menteri Perhubungan mengundurkan diri atau direktur maskapai penerbangan yang melakukan ”harakiri” sebagai bentuk tanggung jawab.
Mengingat kecelakaan juga sering menimpa maskapai lain, patut dicurigai kondisi serupa terjadi pula pada mereka. Maka penindakan terhadap Adam Air perlu dijadikan momentum untuk membenahi industri penerbangan nasional secara menyeluruh. Periksa kembali secara berkala semua maskapai penerbangan. Jangan biarkan pesawat kita menjadi ”peti mati terbang” yang siap mengantar nyawa penumpang demi meraup laba semata.
Sering kali terjadinya kecelakaan pesawat sesungguhnya merupakan cermin lemahnya regulasi dan penerapan standar keselamatan pada maskapai penerbangan kita. Angka kecelakaan kita dalam setahun jauh lebih mencengangkan ketimbang di negara Asia lainnya. Hal itu pula yang membuat industri ini sering diejek bak ”orang sakit di Asia Tenggara”. Uni Eropa bahkan masih melarang pesawat kita menjejakkan roda di bumi mereka.
Sudah saatnya regulatory body dan operator dibenahi dengan sungguh-sungguh. Aturan untuk menjamin keselamatan penerbangan harus ditegakkan tanpa kompromi. Jangan lagi kita mendengar ada izin pendirian dan operasional maskapai diterbitkan tanpa memperhatikan dengan seksama jumlah pesawat yang dimiliki dan rencana kerja perusahaan. Pembinaan sumber daya manusia dan pemeriksaan fisik pesawat hendaknya tak bisa dirundingkan, apalagi ditawar dengan imbalan fulus.
Audit laporan keuangan maskapai penerbangan pun sudah saatnya dilaksanakan, bukan cuma diomongkan. Pesan tegas harus dikirim, bahwa bisnis maskapai penerbangan bukan semacam usaha kelontong. Ini memerlukan teknologi tinggi, modal besar, dan sumber daya manusia yang andal. Jadi, hanya pengusaha yang benar-benar serius yang boleh masuk. Cuma dengan langkah tegas dan profesional seperti itulah, pelbagai kesalahan fatal dalam industri jasa penerbangan kita bisa dicegah sejak dini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo