Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WIRANTO mendadak bertamu ke kantor Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Senin pekan lalu. Mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia itu datang bersama Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Laksamana Muda Henry Williem.
Dalam pertemuan itu, kata Juwono, Wiranto menjelaskan keputusan Mahkamah Konstitusi yang membenarkan asas retroaktif dalam pengadilan hak asasi manusia. Juwono berjanji mengkaji putusan itu. Satu jam bertemu, mereka bubar menjelang sore.
Setelah tamunya pulang, kepada wartawan, Juwono menjelaskan isi pertemuan itu. Dia mengimbau para purnawirawan agar ”jangan datang bila dipanggil Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.”
Petinggi sejumlah lembaga swadaya masyarakat berang dengan pernyataan Juwono. Mereka menuduh Pak Menteri melindungi pelaku pelanggaran HAM. Kesal dengan pernyataan itu, Usman Hamid, Ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), langsung menelepon Juwono keesokan harinya. Mereka lalu sengit berdebat.
Pak Menteri berpegang pada pasal 28 huruf I konstitusi kita yang menyebutkan sebuah undang-undang tidak bisa diberlakukan surut ke belakang. Yang dimaksudnya adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Usman kukuh pada pendirian bahwa yang diadili pelaku kejahatan kemanusiaan. Sebelum gagang telepon ditutup, keduanya sepakat bertemu akhir Maret ini.
ADALAH mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi Timor Timur Eurico Guterres yang mengajukan judicial review atas Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, awal Juni 2007.
Lelaki yang dihukum sepuluh tahun penjara karena pelanggaran HAM di bekas provinsi Indonesia itu mendesak Mahkamah Konstitusi melakukan uji materi atas pasal 43 ayat 2 undang-undang tersebut. Beleid itu menyebutkan pengadilan HAM ad hoc dibentuk oleh presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat. Guterres curiga pengadilan terhadapnya disetir oleh anggota DPR. ”Hak konstitusional saya,” kata Guterres, ”dirugikan oleh intervensi politik anggota Dewan.”
Agustus 2007, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan Guterres, walau itu tidak berpengaruh terhadap hukumannya. Mahkamah memutuskan bahwa pengadilan ad hoc bisa diusulkan legislatif, tapi harus berdasarkan penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Kejaksaan Agung.
Keputusan itu tak hanya menyenangkan Guterres, tapi juga keluarga korban pelanggaran HAM lainnya. Selama ini, cuma kasus Timor Timur dan Tanjung Priok yang diputuskan sebagai pelanggaran HAM berat oleh DPR. Dengan keputusan Mahkamah konstitusi itu, terbuka peluang bagi Komnas HAM untuk mengusut kasus lain.
Komnas HAM lalu bergerak. Komisi ini memberkas sejumlah kasus, di antaranya penghilangan aktivis 1998, kerusuhan Mei 1998, kasus Semanggi, dan kasus Trisakti. Empat kasus itu sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung.
Sejak Januari 2008, misalnya, Komisi menyelidiki kasus pelanggaran HAM di Talangsari, Lampung. Tragedi 19 tahun lalu itu terjadi saat Warsidi, seorang penduduk lokal, dituduh anti-Soeharto, anti-asas tunggal Pancasila, dan hendak mendirikan negara Islam. Subuh, 7 Februari 1989, aparat militer menyerbu kelompok Warsidi. Korban berjatuhan.
Pengusutan kasus ini timbul-tenggelam. Akhir bulan lalu, Komnas HAM memanggil Sudomo (bekas Menteri Koordinator Politik dan Keamanan), Try Sutrisno (bekas Kepala Staf Angkatan Darat), Wismoyo Arismunandar (bekas Komandan Komando Pasukan Khusus), dan Hendropriyono (bekas Komandan Resor Militer 043 Garuda Hitam, Lampung).
Kecuali Sudomo, semua jenderal mangkir datang. Kini komisi itu berencana mengirimkan panggilan kedua. ”Sebaiknya mereka datang karena ini baru penyelidikan awal,” kata Yoseph Adi Prasetyo, anggota Komnas HAM.
Belum lagi panggilan kedua itu dikirimkan, Juwono sudah membentengi para jenderal. Komnas HAM, kata Juwono, tidak punya kewenangan paksa karena penyelidikan lembaga itu tak berkekuatan hukum. Kalau mau menyelidiki, silakan mengirimkan pertanyaan tertulis, ”Dan tidak perlu memanggil-manggil.”
Ifdal Kasim, Ketua Komnas HAM, menyesalkan pernyataan Juwono itu. Pernyataan Juwono, protes Ifdal, ”Sama saja menganjurkan kepada orang agar tidak patuh pada undang-undang.”
Wenseslaus Manggut, Wahyu Titiyoga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo