Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Dicopot!

24 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEHARUSNYA Jaksa Agung Hendarman Supandji bertindak lebih tegas terhadap Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman, dan Direktur Penyidikan, M. Salim. Kalau mereka bersalah, kedua petinggi di Gedung Bundar itu mestinya tak cukup hanya dimutasi ke gedung lainnya—entah ke ”gedung persegi” yang sama sekali tak mengurusi perkara korupsi. Jika memang bau amis tercium, Hendarman tak perlu ragu menonaktifkan mereka sebagai jaksa.

Selama proses peradilan dugaan suap Artalyta Suryani terhadap Urip Tri Gunawan belum tuntas, kedua petinggi itu tak boleh lagi punya akses sedikit pun di kantornya. Namun, dengan hanya diberi sanksi administratif berupa pemindahan ke posisi tak penting, bukan berarti mereka tak bisa bergerak sama sekali. Dengan pengaruh yang masih ada, keduanya pastilah bisa gentayangan untuk mereduksi kesalahan, semisal menghilangkan barang bukti dan mengunci saksi —mereka masih punya meja buat ngantor.

Bahwa baru kali ini terjadi dalam korps adyaksa, dua petinggi strategisnya dicopot secara bersamaan, memang tak bisa dimungkiri. Mereka dinilai lalai melakukan pengawasan terhadap anak buahnya yang tertangkap basah menerima US$ 660 ribu dari Artalyta. Aparat Komisi Pemberantasan Korupsi yang mencokok jaksa Urip dan Ayin kuat menduga, duit sekardus itu bagian dari upaya memuluskan perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang dikucurkan kepada bos Artalyta, taipan Sjamsul Nursalim, melalui Bank Dagang Negara Indonesia.

Sanksi untuk Urip sudah tepat dan adil. Penyelia kasus BLBI untuk Nursalim ini dibebastugaskan sebagai jaksa. Sedangkan Kemas, atasan Urip, malah diganjar lebih ringan. Padahal dialah yang mengontrol semua perkara korupsi dan mengumumkan bahwa tak ditemukan unsur pidana dalam kasus itu. Dasar pencopotan Kemas juga aneh. Ia dinilai tidak kredibel, dan sanksi dijatuhkan untuk meredam tekanan publik yang mengemuka di media massa. Selain tak adil, tampaknya Hendarman hanya berani bermain di ”zona aman”.

Pertimbangan Jaksa Agung haruslah bukan pada kritik yang datang bertubi-tubi, tapi karena hukum mesti ditegakkan tanpa pandang bulu. Tak terkecuali jika memang harus menimpa Kemas dan Salim, orang yang dipromosikan Hendarman hingga menduduki jabatan strategis. Jika kedua petinggi tadi dinyatakan tidak kredibel, sehingga kalau terus menjabat tak akan dipercaya masyarakat, haruslah diperjelas maksudnya. Janganlah jurus menggusur mereka dari jabatan ”basah” tadi dijadikan pengusir rasa gentar lantaran dikritik sana-sini.

Transparansi ini penting agar masyarakat menjadi tahu, apa sesungguhnya kesalahan mereka. Apakah sebatas lalai mengawasi Urip, membiarkan Artalyta kasak-kusuk di Gedung Bundar—sehingga saban datang tak perlu mengisi buku tamu—ataukah ada sesuatu di balik ”akrab”-nya Kemas-Artalyta yang sudah saling mengenal sejak 2003? Hendarman harus memerintahkan tim pengawasan Kejaksaan Agung terus menyidik kasus ini. Penolakan Artalyta diperiksa tim jaksa jelas mengundang tanda tanya besar. Bukan mustahil ini sengaja dilakukan untuk memutus mata rantai hubungannya dengan para petinggi di Kejaksaan Agung.

Sikap tegas dalam memberikan sanksi, sekaligus mengungkap kasus ini, penting jika Hendarman serius memperbaiki citra dan kinerja kejaksaan. Ini bisa memberikan efek jera bagi semua anak buahnya. Sudah menjadi rahasia umum, ada saja jaksa yang nekat memeras terperiksa. Alih-alih menyelidiki dan menyidik, di balik itu mereka ternyata main mata dan main duit. Mottonya, ada uang, habis perkara. Semua bisa diatur, begitu ujar para mafia kejaksaan dan makelar kasus—populer dengan singkatan ”markus”.

Majalah ini berpendapat, apa yang terjadi di balik skandal Urip-Artalyta haruslah dibongkar habis. Jangan lagi ditutup-tutupi, termasuk sejauh mana kaitan skandal ini dengan siapa pun di negeri ini. Kejaksaan Agung harus membantu dan bahu-membahu dengan Komisi Pemberantasan Korupsi membuka aib yang memperburuk citra penegakan hukum ini. Serahkan saja semua hasil temuan tim pengawasan yang telah memeriksa dan mendengar kesaksian Kemas, Salim, dan sembilan anggota tim penyelidikan BLBI obligor Sjamsul Nursalim.

Keberanian ini bisa dijadikan pintu masuk membongkar modus kejahatan yang jauh lebih dahsyat, ibarat tersimpan kukuh dan tak tersentuh di bawah puncak gunung es, yakni kongkalikong antara para obligor kakap—lewat makelarnya—dan petinggi Kejaksaan Agung. Rada aneh tentunya kalau tujuh perkara megaskandal BLBI yang dipegang kejaksaan tak juga tuntas berbilang tahun. Kalau upaya ini tak bisa dilakukan secara maksimal, atau takut menerima risiko, ada baiknya Hendarman memilih mundur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus