Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENTERI Pertahanan Juwono Sudarsono baru saja meletakkan sesuatu yang bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hak asasi manusia di negeri ini. Ia menganjurkan para pensiunan TNI—khususnya yang diduga pernah terlibat pelanggaran hak asasi— mengabaikan panggilan Komnas HAM. Entah kebetulan atau tidak, beberapa hari sebelumnya sang menteri bertemu dengan mantan Panglima TNI Wiranto dan Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Laksamana Muda Henry Willem di kantornya di Departemen Pertahanan.
Semua bisa menyaksikan kondisi para purnawirawan dalam usia enam dasawarsaan itu. Sebagian diliputi rasa terancam bahwa sewaktu-waktu mereka bisa dipaksa menjalani hari-hari yang panjang di penjara. Ada pula yang memiliki hasrat tinggi terjun ke dunia politik tapi terganjal reputasi hak asasi manusia di masa lalunya. Mereka hidup dengan ”karma” masing-masing. Wiranto, 60 tahun, misalnya, sering disebut sebagai salah satu calon presiden 2009.
Dunia perlahan berubah: semakin terbuka. Setiap orang juga menyaksikan makin lunturnya perlakuan istimewa bagi para pelanggar hak asasi. Dua bulan lagi tim Komisi Hak Asasi Manusia PBB akan berkunjung dan memberikan evaluasi terhadap kondite Indonesia di bidang hak asasi. Tahun lalu, Panglima TNI Djoko Suyanto menunjukkan dukungannya atas penyelidikan kasus Alas Tlogo, Pasuruan, Jawa Timur. Kekerasan itu menewaskan empat orang dan mencederai delapan lainnya. Dalam situasi seperti itulah Menteri Juwono memutuskan ”pasang badan” membela para purnawirawan.
Sukar menghindari kesan betapa keputusan itu seperti ”menginterupsi” proses susah payah mengadili para pelanggar hak asasi, yang telah dirintis sejak Mahkamah Konstitusi membukakan pintu untuk mengadili pelanggaran berat di luar kasus Tanjung Priok dan Timor Timur. Padahal, ”pintu” inilah yang memungkinkan terselenggaranya pengadilan ad hoc yang diusulkan oleh lembaga legislatif berdasarkan penyelidikan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Mengabaikan panggilan Komnas HAM tak ubahnya menghambat langkah awal penegakan keadilan atas kasus pelanggaran yang selama ini tak tersentuh.
Kasus Talangsari, misalnya. Sejak awal tahun ini, Komnas HAM mengerahkan segenap upaya untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi di Lampung pada 1989 itu. Komnas memanggil empat purnawirawan: Try Sutrisno, Wismoyo Arismunandar, Sudomo, dan Hendropriyono. Yang berani muncul hanya Sudomo seorang.
Juwono, akademisi sipil yang hidup dan berkarya di lingkungan militer, praktis telah melupakan sosok lain dalam berbagai tragedi pelanggaran hak asasi manusia: korban. Merekalah yang menderita, dan kini berhak mendapat keadilan. Para korban itu tersebar dalam kasus G30S 1965, Tanjung Priok, Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh, Talangsari, dan seterusnya. Ironinya langsung terasa: Indonesia negeri dengan banyak kasus pelanggaran hak asasi, tapi semua malapetaka itu seperti terjadi dengan sendirinya, dan seakan-akan tanpa pelaku. Pengadilan hampir tidak pernah menunjuk, apalagi menghukum, para pelanggarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo